Kamis, November 03, 2011

"Legal Standing", Sisi Lain Pengujian UU di MK

Prof. DR. H.M. Laica Marzuki, S.H.


MENCERMATI putusan-putusan yang telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi, akan terpampang beberapa fakta menarik tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam merumuskan putusannya. Dari keputusan "kontroversial" berupa pembatalan keberlakuan klausul Pasal 60 huruf g maupun putusan yang menyatakan NO (niet ontvankelijke verklaard) hingga beberapa jenis putusan lain akan memperlihatkan betapa krusial masalah pemenuhan legal standing pemohon. Suatu pokok persoalan yang menjadi inti karena dengan legal standing yang benar, akan mengesahkan seorang pemohon untuk mengajukan permohonannya.

DALAM perkara pengujian undang- undang (UU), legal standing (lazim dibahasakan "kedudukan hukum") merupakan hal yang mendasari pembenaran subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian UU ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Legal standing adalah suatu entitle atau dasar hak subyektum hukum untuk mengajukan permohonan pengujian UU.

Menurut Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara. Sedangkan pada Ayat (2) digariskan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Adapun penjelasan Pasal 51 Ayat (1) UU ini mengemukakan, yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Dengan demikian, legal standing ini punya titik berangkat yang jelas, yakni adanya pemberlakuan UU yang karena pemberlakuan itu mengakibatkan orang perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dan karena ia dirugikan, ia berkepentingan. Karena itu, untuk legal standing, berlaku adagium hukum dalam bahasa Perancis, yakni point d’etre point d’action, artinya tanpa kepentingan, tidak ada suatu tindakan.

"Legal standing"

Redaksional Pasal 51 UU tentang Mahkamah Konstitusi akan memetakan beberapa unsur penting legal standing. Pertama, unsur "hak dan/atau kewenangan konstitusional". Hak dan kewenangan konstitusional adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi sehingga harus merupakan hak yang diatur dalam UUD. Hal ini hampir secara aklamasi diterima oleh setiap pemikir hukum. Hanya saja, hal yang sering dipersoalkan adalah apakah "ruh" dari pasal ini dapat digunakan dan bukan sekadar susunan tekstual. Saya sendiri berpendapat, "ruh" pasal itu juga dapat digunakan sebagai landasan mendalilkan suatu hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan.

Kedua, unsur kata "menganggap". Kata ini melahirkan dua jenis arti yang berangkat dari ranah pemikiran yang juga berbeda. Dari sisi gramatikal, kata ini beraliran subyektif. Karena itu, tiap orang yang menganggap dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan permohonan oleh perasaan yang dirugikan itu sehingga dapat mengajukan permohonan. Sementara dari penafsiran hukum, kata ini bukan diartikan dalam bingkai subyektivitas, tetapi include di dalamnya keharusan untuk membuktikannya sehingga kata-kata yang lebih tepat adalah "mendalilkan".

Pilihan menggunakan kata-kata "menganggap" pada proses legal drafting UU (menurut saya) tidak lebih dari sekadar ketergesa-gesaan legislator yang dibatasi untuk menyelesaikan UU Mahkamah Konstitusi sebelum 17 Agustus 2003 sehingga ada kesan terburu-buru dan tidak berhati-hati dalam merumuskan kata "menganggap" ini.

Ketiga, unsur kata "dirugikan". Ini unsur penting karena merasa dirugikan, subyek hukum merasa berkepentingan. Zonder belang, het is geen rechtsingang. Kepentingan ini lahir karena adanya kerugian tadi sehingga ia harus merupakan kerugian yang telah aktual dan bukan sekadar potensial. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengajukan permohonan perkara jika hanya bersandarkan pada adanya peluang untuk dirugikan.

Namun, dari hal ini muncul peluang perbedaan pendapat tentang batasan peluang dirugikan. Ada perbedaan dalam memahami manakah yang merupakan kerugian potensial dan manakah yang merupakan kerugian aktual. Misalnya, terhadap pemberlakuan Pasal 60 huruf g UU No 12/2003 mengenai Pemilu, ada yang berpendapat hanya bekas anggota PKI atau partai terlarang yang telah lebih dulu mengajukan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg), barulah ia dianggap memiliki legal standing.

Menurut saya, tidak perlu bekas anggota PKI atau partai terlarang itu mengajukan diri sebagai caleg baru dapat dikatakan dirugikan, berkepentingan, lalu memiliki legal standing. Namun, dengan berlakunya UU tersebut, sudah tertutup jalan baginya untuk menjadi caleg dan itu sudah merupakan wujud kerugian yang nyata dan bukan sekadar peluang kerugian.

Keempat, harus ada causal verband, hubungan sebab akibat yang jelas untuk memperlihatkan hubungan antara keberlakuan UU dan kerugian yang pemohon derita.

Bukan menghindari tumpukan perkara

Ada "guyonan", kewajiban memenuhi legal standing hanya sekadar bentuk apologia dari para hakim konstitusi dengan tujuan untuk menghindari tumpukan perkara. Saya pikir hal ini tidak tepat dan cenderung menyesatkan. Meski jika ditambahkan dengan ketentuan bahwa berperkara di MK secara "gratis", bukan tidak mungkin dapat menjadi pemicu bagi termassalkannya permohonan perkara ke MK. Akan tetapi, bukan hal itu yang paling penting. Sudah jelas, ada asas yang menentukan hakim tidak boleh menolak suatu perkara. Karena itu, ada semacam kewajiban bagi hakim untuk membantu dengan memberi saran kepada pemohon untuk dapat memenuhi legal standing-nya dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan menjadi bukti "otentik" ketidaktepatan guyonan tersebut.

Adalah benar, hakim harus tetap dalam posisi netral ketika melakukan pemeriksaan perkara, tetapi pemberian saran-saran untuk melengkapi beberapa hal urgen yang dibutuhkan seorang pemohon sama sekali tidak akan mengurangi netralitas hakim dalam menilai perkara itu. Pemberian saran-saran perbaikan harus dilihat dalam kerangka bagaimana hakim "membantu" urusan prosedural bagi pemohon yang mendalilkan kerugian hak konstitusionalnya. Suatu hal yang seharusnya dipandang sebagai penegakan konstitusi itu sendiri.

Terakhir, haruslah dilihat, MK juga merupakan ijtihad bangsa dan merupakan salah satu dari upaya penegakan konstitusi. Karena itu, menutup amela kelemahan harus diperankan MK dalam memperkaya dan "meluruskan" pasal-pasal yang masih dianggap lemah dalam UU No 24/2003, termasuk terhadap aturan legal standing ini. Pelaksanaan tugas ini dapat dilakukan oleh hakim melalui yurisprudensi-yurisprudensi karena MK adalah lembaga penafsir konstitusi. MK adalah the guardian of constitution. Harapan saya, MK harus mampu menciptakan hukum. Judges makes law! Selaku salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MK merupakan the last bastion of justice, het laatste bolwerk, yang menjadi tumpuan terakhir dari rakyat banyak selaku justiciabelen. Dengan hal ini, semoga peran MK dapat menjadi lebih baik dan bernilai di kemudian hari.

HM Laica Marzuki Guru Besar Hukum Tata Negara; Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/08/opini/1369103.htm

Selasa, September 13, 2011

Putusan Hakim Tak Bisa Jadi Acuan Tutup Kasus Tarbiyah


Headlines - 12 September 2011 | 1 Komentar

Banda Aceh | Harian Aceh – Salinan putusan hakim tak bisa menjadi acuan penyidik untuk tidak menetapkan tersangka baru pada perkara korupsi Yayasan Tarbiyah. Sebaliknya, keterangan saksi di persidangan juga tak bisa diterima bulat-bulat oleh penyidik untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.

“Saya tidak setuju jika salinan putusan hakim dijadikan pedoman penyidik untuk menetapkan atau tidak tersangka baru dalam sebuah perkara pidana,” kata Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, Minggu (11/9).

Hal senada juga dikemukakan praktisi hukum J Kamal Farza. Menurut Kamal, kebijakan penyidik
Kejati Aceh tidak menetapkan tersangka baru dalam kasus Yayasan Tarbiyah adalah hal wajar. Tetapi, jika keputusan itu diambil merujuk salinan putusan hakim, adalah kebijakan yang keliru.
“Aturan dari mana kalau menetapkan tersangka baru dalam kasus korupsi harus disebutkan dalam salinan putusan hakim. Kami menilai di kasus Yayasan Tarbiyah ini seperti ada upaya perlindungan terhadap pelaku utama kasus ini,” kata J Kamal Farza.

Keterangan Saifuddin dan Kamal ini menyikapi ditutupnya penyelidikan kasus korupsi Yayasan Tarbiyah oleh penyidik Kejati Aceh, setelah dalam salinan putusan dua terdakwa (Nurmasyiatah dan M Saleh Yunus) hakim tidak menyebut keterlibatan orang lain.

Sebelumnya, aktivis anti korupsi Aceh menyatakan bahwa kebijakan penutupan kasus yang merugikan negara Rp3,083 miliar (versi BPKP) oleh pihak Kejati Aceh, meruapkan kebijakan melihara terhadap pelaku korupsi di Aceh.

Menurut Saifuddin Bantasyam, tidak ada aturan yang menyebut penyidik harus merujuk keputusan hakim dalam menetapkan tersangka baru dalam perkara pidana, penyidik juga tidak bisa menetapkan seseorang yang diduga terlibat hanya dari keterangan saksi. Tetapi, lanjutnya, dalam perkara ini penyidik tidak bisa mengabaikan begitu saja keterangan seorang saksi yang diungkap di persidangan. “Penyidik harus menguji keterangan saksi itu. Dari pengujian, maka penyidik dapat menilai keterangan saksi itu layak diterima atau tidak,” jelasnya.

Perlunya pengujian keterangan saksi atau terdakwa yang sudah ditetapkan, tambah Saifuddin, karena ada juga saksi/terdakwa yang keterangannya belum tentu benar alias keterangan bela diri. Tapi, tidak tertutup kemungkinan juga keterangan saksi/terdakwa itu sangat benar.

Terkait kasus Yayasan Tarbiyah, katanya, mestinya penyidik Kejati Aceh menguji terlebih dahulu sejumlah keterangan saksi yang pernah terungkap di sidang. Sebab, sejak awal perkara ini banyak menyebut-nyebut keterlibatan orang lain selain dua terdakwa yang sudah diadili. “Harapan kita penyidik menguji itu dulu sebelum menghentikan sebuah kasus,” katanya.

Sementara J Kamal Farza menyatakan mendukung pernyataan aktivis anti korupsi yang menyebut upaya Kejati Aceh menutup kasus ini adalah kebijakan perlindungan terhadap koruptor. Dia menilai pelaku utama kasus Yayasan Tarbiyah belum tersentuh hukum.

“Maka sangatlah tidak berdasar kalau Kejati tidak menetapkan tersangka baru di kasus ini hanya merujuk salinan putusan hakim terhadap dua terdakwa sebelumnya. Ini sama saja membodohi hukum di balik tujuan melindungi pelaku utama kasus ini dengan mengorbankan orang-orang kecil yang sebenarnya tidak berdosa,” katanya.

Kamal menilai, dari sejumlah kasus korupsi yang terjadi di Aceh selama ini hanya orang-orang kecil yang kerap dikorbankan untuk meringkuk dalam penjara. Sementarapelaku utamanya tertawa bebas di luar. “Dari fakta yang terungkap di sidang pada kasus Yayasan Tarbiyah, menjadi salah satu contoh kalau penumpasan korupsi masih tebang pilih. Mereka yang kecil yang menjadi korban,” jelasnya.

Sebelumnya diberitakan, kasus korupsi Yayasan Tarbiyah IAIN Ar-raniry Banda Aceh sudah berakhir setelah dua terdakwa sebelumnya divonis hakim PN Banda Aceh. Kejaksaan Tinggi Aceh memastikan tidak ada lagi tersangka baru dalam kasus tersebut.

Kajati Aceh Muhammad Yusni SH MH mengatakan dalam salinan putusan (poin pertimbangan) majelis hakim terhadap terdakwa Nurmasyitah Syamaun dan M Saleh Yunus, tidak menyebut ada pihak lain teribat di kasus Tarbiyah. “Setelah dipelajari salinan putusan dua terdakwa sebelumnya, hakim tidak menyebut ada pihak-pihak yang layak ditetapkan menjadi tersangka lagi,” kata M Yusni, didampingi Kasipidsus Raja Ulung Padang dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus Tarbiyah, M Indra M Nasution, Rabu (7/9).(min)

SUMBER: http://harian-aceh.com/2011/09/12/putusan-hakim-tak-bisa-jadi-acuan-tutup-kasus-tarbiyah

Kamis, Juli 14, 2011

Hak-Hak Anda dalam KUHAP

Disadur dari Website LBH ACEH www.lbhaceh.org

Sebagai Negara Hukum, Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara dilindungi oleh negara baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai warga negara yang bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama dan lain-lain. Hak warga negara merupakan hak asasi manusia yang dijamin didalam ketentuan UUD 45 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selain didalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin didalam Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) serta beberapa Undang-undang lain yang relevan.

Tulisan ini akan membahas mengenai hak warga negara yang diatur didalam KUHAP. Tulisan ini akan lebih fokus kepada perlindungan terhadap hak warga negara yang terlibat didalam peristiwa pidana, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana dan juga perlindungan terhadap hak saksi atau korban tindak pidana.

Disamping itu tulisan ini akan mengutip hak-hak warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang diatur oleh Undang-undang lain selain KUHAP yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang lainnya.

Didalam pertimbangan huruf a KUHAP atau menyebutkan bahwa :
“a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Ketentuan diatas memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara tanpa ada kecualinya.. KUHAP sebagai pedoman pengatur Acara Pidana Nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah didalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara. Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia telah diletakkan didalam Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dibuah menjadi Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, harus ditegakkan dengan KUHAP.

Adapun asas tersebut antara lain adalah :

* Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
* Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
* Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
* Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
* Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
* Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
* Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
* Warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana tidak lagi dipandang sebagai “obyek” tetapi sebagai “subyek” yang mempunyai hak dan kewajiban dapat menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila petugas salah tangkap, salah tahan, salah tuntut dan salah hukum.

Tulisan ini akan membahas mengenai hak warga negara yang diatur didalam KUHAP. Tulisan ini akan lebih fokus kepada perlindungan terhadap hak warga negara yang terlibat didalam peristiwa pidana, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana dan juga perlindungan terhadap hak saksi atau korban tindak pidana.

Disamping itu tulisan ini akan mengutip hak-hak warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang diatur oleh Undang-undang lain selain KUHAP yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang lainnya.

PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Hak Tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum
Warga negara yang menjadi tersangka berhak untuk didamping oleh Penasehat Hukum. Untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seorang warga negara yang menjadi tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54 KUHAP).Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 55 KUHAP).

Bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (pasal 56 ayat (1) KUHAP). Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum tersebut diberikan kepada tersangka atau terdakwa secara cuma-cuma (pasal 56 ayat (2) KUHAP).

Jika tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana dikenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasehat hukumnya ( Pasal 57 KUHAP ayat (1) KUHAP). Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 37 Undang –Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum dalam pasal ini diberikan oleh seorang penasehat hukum atau saat ini lebih dikenal dengan “advokat”. Dan menurut ketentuan pasal 38 Undang –Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

Penangkapan
Definisi penangkapan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.

Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup”ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Disamping itu ada pendapat lain mengenai “bukti permulaan yang cukup” , yaitu menurut Darwan Prints,SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek, Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi tahun 2002, halaman 50-51, bukti permulaan yang cukup adalah :

Menurut Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.
Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:

* Laporan Polisi;
* Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
* Laporan Hasil Penyelidikan;
* Keterangan Saksi/saksi ahli; dan
* Barang Bukti.

Yang telah disimpulkan menunjukan telah terjadi tindak pidana kejahatan (Din Muhamad, S.H.1987 : 12)

Menurut drs. P. A. F Lamintang, SH
Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan (drs.P.A.F.Lamintang,SH.1984 : 117).

Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21 Maret 1984
Bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal: Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya (Din Muhamad, S.H.1987 : 12).
Adapun pihak yang berwenang hak melakukan penangkapan menurut KUHAP adalah :
Penyidik yaitu :

* Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
* Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu).

Penyidik pembantu, yaitu :

* Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda).
* Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).

Kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana, warga negara berhak menolak penangkapan atas dirinya yang dilakukan oleh pihak diluar ketentuan diatas.

Warga negara yang diduga sebagai tersangka dalam peristiwa pidana berhak melihat dan meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyatakan :

“Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.

Saat dilakukan penangkapan terhadap tersangka, tersangka berhak bebas dari segala tindakan penyiksaan ataupun intimidasi dalam bentuk apapun dari aparat yang menangkapnya.

Keluarga tersangka berhak untuk mendapat tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) KUHAP, segera setelah penangkapan terhadap tersangka dilakukan.

Penahanan
Definisi Penahanan sebagaimana ketentuan pasal 1 butir (21) KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-undang ini. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.

Namun, penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.

Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan pasal 20 KUHAP antara lain :

1. Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik;
2. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum;
3. Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah Hakim.

Syarat-syarat untuk dapat dilakukan penahanan dibagi dalam 2 syarat, yaitu:
1. Syarat Subyektif. Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu:
a. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
b. Berdasarkan bukti yang cukup;
c. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa:

* Akan melarikan diri
* Merusak atau menghilangkan barang bukti
* Mengulangi tindak pidana.

Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa Laporan Polisi ditambah dua alat bukti lainnya, seperti: Berita Acara Pemeriksaan Tersangka/Saksi, Berita Acara ditempat kejadian peristiwa, atau barang bukti yang ada.

2. Syarat Obyektif. Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif Ini diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yaitu:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi ditentukan dalam:

* Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
* Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;
* Pasal 1, 2 dan 4 Undang-undang No. 8 Drt Tahun 1955 (Tindak Pidana Imigrasi) yaitu antara lain: tidak punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;
* Tindak Pidana dalam Undang-undang No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Dari uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (4) dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis.

Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa.

Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam pasal 22 ayat (1) KUHAP adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sedangkan Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diripada waktu yang ditentukan.


Pengecualian dari jangka waktu penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24, 25, 26, 27, 28 KUHAP, untuk kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka/ terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:

* Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
* Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana 9 tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (1) KUHAP).

Kamis, Juli 07, 2011

TENTANG SURAT KUASA


Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum, dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi saat ini surat kuasa bahkan sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam kehidupan masyarakat. Apa sebenarnya definisi surat kuasa ? Ada banyak pihak mendefinisikan tentang surat kuasa :

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga keluaran Balai Pustaka mendefinisikan surat kuasa sebagai “Surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu”.
gramatikal bahasa Inggris, definisi surat kuasa atau Power of Attorney adalah sebuah dokumen yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk bertindak atas nama seseorang lainnya (a document that authorizes an individual to act on behalf of someone else).

Rachmad Setiawan dalam bukunya berjudul “Hukum Perwakilan dan Kuasa” mengatakan pengaturan tentang surat kuasa di KUHPerdata sebenarnya mengatur soal latsgeving yang terjemahan harafiahnya ‘pemberian beban perintah’.

A. Definisi

Definisi tentang surat kuasa sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan. Pada dasarnya tidak ada aturan hukum apapun yang memberikan definisi tentang surat kuasa, sehingga untuk lebih memahami perlu diketahui terlebih dahulu apa itu pemberian kuasa :

PEMBERIAN KUASA

Pasal 1792 BW menyatakan “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Dalam prakteknya, banyak sarjana hukum yang menerjemahkan surat kuasa sebagai pemberian kuasa. Akan tetapi dalam perkembangan hukum di negeri Belanda melalui Nieuw BW, sebuah kitab revisi BW, telah diatur pengertian tentang kuasa (volmacht) dan pemberian kuasa (lastgeving).
Pada prinsipnya, volmacht berbeda dengan lastgeving. Kuasa (volmacht) merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (Hoge Raad 24 Juni 1938 NJ 19939, 337).

Tindakan hukum sepihak adalah tindakan hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatan satu pihak saja, misalnya pengakuan anak dan pembuatan wasiat.

Lastgeving merupakan suatu persetujuan sepihak, di mana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak. Pasal 1792 BW merupakan lastgeving dan pada dasarnya pemberian kuasa ini bersifat cuma-cuma (Pasal 1794 BW).

Jadi, lastgeving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa, sedangkan volmacht merupakan kewenangan mewakili. Suatu pemberian kuasa (lastgeving) tidak selalu memberikan wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Dalam lastgeving dimungkinkan adanya wewenang mewakili (volmacht), akan tetapi tidak selalu volmacht merupakan bagian dari lastgeving. Apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan persetujuan pemberian kuasa, maka akan terjadi perwakilan yang bersumber dari persetujuan.

Pada Negara common law/anglo saxon, pemberian kuasa (Power of Attorney) yang muncul juga merupakan perbuatan sepihak. Cirinya adalah penerima menyebut suatu nama pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum yang disebut perwakilan langsung. Namun diakui juga adanya perwakilan tidak langsung yakni apabila penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri seperti makelar.

Pada umumnya kuasa diberikan secara sepihak, dan hanya menimbulkan wewenang bagi penerima kuasa (substitutor), tapi tidak menimbulkan kewajiban bagi penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa itu sehingga tidak memerlukan tindakan penerimaan dari penerima surat kuasa, akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kejadian seputar surat kuasa yang menimpa advokat-advokat di pengadilan. Bahkan sebagian hakim masih menjalankan ‘rutinitas’
memeriksa kelengkapan surat kuasa yang digunakan Advokat ketika bersidang, khususnya tentang kewajiban para pihak menandatangani surat kuasa untuk menyatakan sahnya surat kuasa tersebut.

Trimoelja D. Soerjadi berpendapat bahwa tindakan hakim itu merupakan tindakan salah kaprah, karena menurutnya tidak ada ketentuan yang mensyaratkan penerima kuasa untuk menandatangani surat kuasa. Kewajiban ini muncul pada tahun 80-an dan sebelumnya tidak pernah ada penerima kuasa harus tanda tangan. Beliau memperkuat argumennya dengan mendasarkan pada Pasal 1793 KUH Perdata yang menyatakan bahwa penerimaan kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa. Akan tetapi sampai saat ini, untuk kepentingan di pengadilan, pemberian kuasa harus dibuktikan dengan adanya tindakan pemberian dan penerimaan dari si pemberi maupun penerima kuasa berupa tanda tangan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa pemberian kuasa merupakan suatu bentuk perikatan hukum yang lahir karena kesepakatan kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 BW, dan bukti lahirnya kesepakatan dalam perikatan hukum tertulis adalah kedua belah pihak harus menandatanganinya.

Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 BW itu mengandung unsur :
1. Persetujuan; Unsur persetujuan ini harus memenuhi syarat-syarat persetujuan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW :
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu hal tertentu; dan
- suatu sebab yang halal.

2. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

3. Atas nama pemberi kuasa : Unsur atas nama pemberi kuasa berari bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.

Bentuk-bentuk kuasa bisa diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan (Pasal 1793 ayat 1 KUHPerdata), dan sejumlah ketentuan Undang-Undang mewajibkan surat kuasa terikat pada bentuk tertentu, antara lain Pasal 1171 KUHPerdata yang menyatakan kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik, kuasa Pasal 85 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa kuasa yang mewakili pemegang saham ketika menghadiri RUPS harus didasarkan pada surat, Pasal 1683 KUHPerdata menyatakan si penerima hibah dapat memberi kuasa kepada seseorang lain dengan suatu akta otentik untuk menerima penghibahan-penghibahan.
Sehingga pada dasarnya, memberikan kuasa dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan.

Pemberian kuasa secara tertulis pada umumnya merupakan syarat formal yang harus dipenuhi, akan tetapi dalam hal tertentu pemberian kuasa secara lisan dibenarkan. Contoh pemberian kuasa lisan dapat dilihat pada tingkat pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan. Di hadapan sidang
(setelah hakim ketua membuka sidang) terdakwa menyampaikan maksudnya dengan menunjuk seorang atau beberapa penasihat hukum yang sudah hadir dalam sidang. Kemudian ketua majelis menanyakan kepada penasihat hukum tentang kebenaran pernyataan terdakwa. Jika benar, para
penasihat hukum baru dapat mengambil tempat di kursi yang telah disediakan, dan terdakwa boleh diminta sekali lagi untuk mengucapkan pemberian kuasa kepada penasihat hukum secara tegas dengan dibimbing oleh ketua majelis. Pemberian kuasa lisan wajib dicatat oleh panitera sidang
dalam berita acara persidangan.

Pemberian kuasa lisan bisa juga terjadi dalam keadaan mendesak, dan selanjutnya surat kuasa akan dibuat dan diajukan pada sidang berikutnya. Jika hal itu terjadi, maka kuasa lisan tidak dapat dianggap berlaku hanya pada sidang yang lalu saja, kecuali apabila memang secara tegas pemberian kuasa lisan itu diucapkan hanya untuk kepentingan pada sidang hari itu. Jika hal itu tidak dilakukan, maka kuasa lisan itu harus dianggap telah berlaku untuk sidang hari itu dan sidang-sidang berikutnya, walaupun kemudian diberikan juga kuasa dengan surat.

SURAT KUASA

Pemberian kuasa secara tertulis ini yang disebut sebagai surat kuasa. Surat kuasa digunakan dalam lapangan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administratif.

Pemberian surat kuasa dapat dilakukan secara khusus atau secara umum, Secara khusus berarti kuasa yang diberikan hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, sedangkan secara umum meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.

Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan dalam surat kuasa, ada kalanya penerima kuasa berhalangan karena sesuatu sebab yang mendesak. Dalam surat kuasa dikenal juga adanya hak substitusi, yakni hak untuk mengalihkan sebagian maupun seluruhnya kuasa yang diberikan kepada si penerima kuasa kepada pihak ketiga. Surat kuasa substitusi dapat diterbitkan apabila dalam surat kuasa semula diberikan klausula tentang hal itu.

Pengalihan hak dari penerima kuasa semula pada pihak ketiga dapat dilakukan untuk seluruhnya atau sebagian saja, bergantung pada bunyi klausula pada surat kuasa tersebut. Jika isi klausula memberikan sebagian saja, maka harus ditegaskan dalam surat kuasa semula. Demikian juga apabila kewenangan itu dapat dilimpahkan seluruhnya, maka harus disebutkan pula dalam surat kuasa. Apabila telah terdapat pengalihan kuasa substitusi seluruhnya, maka si pemberi kuasa substitusi tidak dapat menggunakan kembali kuasanya, kecuali pengalihan kuasa tersebut hanya sebagian.

Pada umumnya pemberian kuasa di pengadilan adalah secara khusus yang dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis. Surat kuasa khusus ini diberikan kepada Advokat untuk mewakili (dalam perkara perdata) atau mendampingi (dalam perkara pidana) pihak yang memberikan kuasa
kepadanya dalam suatu perkara baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Surat kuasa khusus ini yang akan digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan, harus dibubuhi materai untuk memenuhi ketentuan UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Bea Tarif Materai dan Besarnya Batas Pengenaan tentang Nominal yang Dikenakan Bea Meterai. Selain itu surat kuasa khusus ini harus memenuhi ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, yang menyatakan :

1. Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-Undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya :
a. dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.

b. dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.

2. Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Akan
tetapi bilamana surat kuasa khusus tersebut hanya mencakup pemeriksaan pada tingkat pertama, harus dibuatkan kembali surat kuasa khusus untuk pemeriksaan pada tingkat kasasi. Hal ini terlihat dalam salah satu putusan MA bernomor 51 K/Pdt/1991: “Yang mengajukan kasasi ialah Ansori berdasar surat kuasa tanggal 8 Maret 1990. Akan tetapi surat kuasa tersebut hanya dipergunakan dalam pemeriksaan tingkat pertama sedang menurut Pasal 44 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 untuk mengajukan kasasi dalam perkara perdata oleh seorang kuasa HARUS SECARA KHUSUS dikuasakan untuk melakukan pekerjaan itu”.

Dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985, Pasal 44 ayat (1) dinyatakan bahwa :
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud Pasal 43 dapat diajukan oleh:

a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara tata usaha Negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat
Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;

b. terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.

Surat kuasa khusus ini pada pokoknya harus memenuhi syarat formil sebagai berikut:
1) Menyebutkan identitas para pihak yakni Pihak Pemberi Kuasa dan Pihak Penerima Kuasa yang harus disebutkan dengan jelas;
2) Menyebutkan obyek masalah yang harus ditangani oleh penerima kuasa yang disebutkan secara jelas dan benar. Tidak disebutkannya atau terdapatnya kekeliruan penyebutan obyek gugatan menyebabkan surat kuasa khusus tersebut menjadi tidak sah. Hal ini terlihat dalam salah satu putusan MA bernomor 288 K/Pdt/1986: “surat kuasa khusus yang tidak menyebut atau keliru menyebut objek gugatan menyebabkan surat kuasa Tidak Sah” dan;
3) Menyebutkan kompetensi absolut dan kompetensi relatif dimana surat kuasa khusus tersebut akan digunakan.

Tidak terpenuhinya syarat formil surat kuasa khusus tersebut, khususnya dalam perkara perdata, dapat menyebabkan perkara tidak dapat diterima. Sehingga walaupun tidak ada bentuk tertentu surat kuasa yang dianggap terbaik dan sempurna, namun surat kuasa pada pokoknya terdiri dari :
a. identitas pemberi kuasa;
b. identitas penerima kuasa;
c. hal yang dikuasakan, disebutkan secara khusus dan rinci, tidak boleh mempunyai arti ganda;
d. waktu pemberian kuasa;
e. tanda tangan pemberi dan penerima kuasa.

Dan untuk penggunaan surat kuasa dalam praktek hukum pidana, perlu juga dicantumkan tempat dan tanggal dibuatnya surat kuasa guna menghindari kerancuan waktu sejak kapan penasihat hukum dapat melakukan pembelaan atau pendampingannya.

Pemberian kuasa ini secara tertulis juga dapat dilihat dalam tata pemerintahan, berupa pemberian kuasa seorang atasan kepada seorang bawahan, atau pelimpahan wewenang dari seseorang atau Pejabat tertentu kepada seseorang atau Pejabat lain. Selain penggunaan surat kuasa sebagai naskah administrasi, surat kuasa terdapat juga dalam kegiatan pemberian bantuan hukum perdata dan administrasi Negara. Bantuan hukum ini merupakan hak dalam menghadapi konflik dan permasalahan hukum kepada sepanjang permasalahan hukum tersebut timbul sebagai akibat pelaksanaan tugas kedinasan.

Berbeda dengan format surat kuasa sebagai salah satu surat dinas, keberadaan surat kuasa dalam tata cara dan proses bantuan hukum dilakukan sesuai dengan format surat kuasa khusus yang umumnya digunakan di pengadilan.

Contoh surat kuasa khusus sebagai berikut :

Pemberian kuasa ini berakhir dengan (Pasal 1813 – 1819 KUH Perdata):
- penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
- pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa dengan

catatan bahwa pemberitahuan penghentian ini bukan karena si
penerima kuasa tidak mengindahkan waktu pemberian kuasa maupun
karena hal lain akibat kesalahan pemegang kuasa yang membawa
kerugian kepada pemberi kuasa;
- meninggalnya baik pemberi maupun penerima kuasa, dan
meninggalnya si pemberi kuasa ini harus diberitahukan oleh ahli waris
kepada penerima kuasa;
- adanya pengampuan atau pailit pemberi maupun penerima kuasa;
- pengangkatan seorang penerima kuasa baru;
- dan kawinnya perempuan yang memberikan maupun menerima kuasa.

Dalam hal berakhirnya kuasa, hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa penerima kuasa tidak hanya mempunyai kekuasaan mewakili tetapi juga memiliki hak mewakili, sehingga hak ini sifatnya dapat dicabut sewaktu-waktu.

Akan tetapi saat ini, telah banyak beredar surat kuasa mutlak, yang ‘melanggengkan’ surat kuasa walaupun si pemberi kuasa telah meninggal. Pemberian kuasa mutlak ini hadir dilatarbelakangi banyaknya pemberian kuasa yang dilakukan dalam rangka suatu perjanjian sehingga tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan.

Namun Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah yang sekarang telah dimuat dalam Pasal 39 huruf d PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, melarang adanya kuasa mutlak, karena kuasa mutlak pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.

Akan tetapi, apakah kuasa mutlak tersebut diperbolehkan ? Karena pemberian kuasa memiliki unsur sebagai suatu perjanjian, maka pemberian kuasa seperti halnya perjanjian menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 BW), berarti pemberi maupun penerima kuasa berhak memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.

Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 1814 BW menyatakan bahwa : Si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa
untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya, yang berarti kuasa tetap dapat ditarik apabila ada alasan misalnya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Namun jika tidak, maka kuasa mutlak tetap diakui keberadaannya.

Jadi pemberian kuasa mutlak ini dibenarkan dengan syarat :
• pemberian kuasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perjanjian yang mempunyai alas hukum yang sah; dan
• kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa.

Referensi :
− www.wikipedia.com;
− www.google.co.id;
− www.hukumonline.com;
− KUH Perdata;
− Buku Asas Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik;
− Buku Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek;
− Buku Contoh-Contoh Bentuk Surat Bidang Kepengacaraan Perdata;
− Buku Contoh-Contoh Kontrak, Rekes, & Surat Resmi Sehari-hari Jilid 2;
− Buku Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang kenotariatan;
− Buku Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana;
− Surat Edaran Menpan No : SE/26.1/M.PAN/10/2004; dan
− PL VI.4 tentang Pedoman Administrasi Umum di Lingkungan BPK RI.

Sumber: Sie Infokum – Ditama Binbangkum 1 jdih.bpk.go.id/informasihukum/Surat_Kuasa.pdf

Selasa, Mei 24, 2011

Mantan Direktur RS Fakinah Dilapor ke Polisi


Terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Siti Maryam, wartawan Harian Aceh Juli Amin ikut diperiksa polisi sebagai saksi. Pemeriksaan terhadap dirinya dalam perkara pasal 310 dan 311 KUHPidana itu, kata Juli Amin, berlangsung di ruang penyidik Reskrim Polda Aceh, Senin (23/5).



Wartawan Ikut Diperiksa

Banda Raya - 24 May 2011 | Harian Aceh – Mantan Direktur RS Fakinah Banda Aceh, M Saleh Suratno, dilapor ke Polda Aceh oleh pendiri Yayasan Teungku Fakinah, Dra Siti Maryam Ibrahim Hasan. Saleh dilaporkan dalam dua kasus, yakni pencemaran nama baik dan dugaan penggelapan.

Sumber Harian Aceh di internal Polda Aceh, Senin (23/5), menyebutkan, kedua kasus dugaan tindak pidana itu dilaporkan Siti Maryam yang juga istri mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan ke Polda Aceh pada Kamis 14 April 2011. Kedua kasus itu kini dalam penyelidikan polisi.

“Kasus pencemaran nama baik terhadap saksi pelapor Siti Maryam yakni terkait pernyataan M Saleh yang menyatakan ‘persengkokolan’ dalam sebuah berita di Harian Aceh edisi 14 April 2011, berjudul ‘Istri Mantan Gubernur Aceh Digugat Rp24,650 M,” kata sumber itu.

Sedangkan untuk kasus dugaan penggelapan, lanjut dia, terkait keuangan Yayasan Teungku Fakinah selama M Saleh menjadi direktur di RS Fakinah. “Kasus ini sedang dalam penyelidikan dan sedang memintai keterangan sejumlah saksi,” kata sumber itu.

Sementara itu, J Kamal Farza, penasehat hukum M Saleh Suratno mengatakan semestinya di saat proses hukum gugatan perdata terhadap Siti Maryam oleh kliennya M Saleh yang kini sedang berlangsung di PN Banda Aceh, pihak tergugat tidak menjalankan laporan-laporan lainnya terlebih dahulu. “Kita selesaikan satu persatu dulu. Perdata ini sedang berjalan, jadi marilah kita hormati proses hukum tersebut, baru melakukan upaya-upaya lain,” kata Kamal yang dihubungi, kemarin.

Kamal mengatakan terkait proses hukum kedua laporan terhadap M Saleh, pihaknya sudah melayangkan surat kepada Kapolda Aceh untuk meminta agar penyidik mengesampingkan dulu kasus-kasus yang dilaporkan Siti Maryam terhadap M Saleh, sebelum selesainya proses perdata di PN Banda Aceh.

Kamal Farza berharap, penyidik dapat mengesampingkan laporan-laporan tersebut karena kasus perdata yang kini ditangani PN Banda Aceh, merupakan penentu juga bagi nasib kliennya yang sudah mengabdi sampai 20 tahun di Yayasan Teungku Fakinah. “Intinya marilah kita hormati proses hukum perdata yang sedang berjalan,” katanya.
Wartawan Diperiksa

Terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Siti Maryam, wartawan Harian Aceh Juli Amin ikut diperiksa polisi sebagai saksi. Pemeriksaan terhadap dirinya dalam perkara pasal 310 dan 311 KUHPidana itu, kata Juli Amin, berlangsung di ruang penyidik Reskrim Polda Aceh, Senin (23/5).

“Saya diperiksa sekitar 2 jam oleh penyidik Polda Aceh. Menurut penyidik saya diperiksa sebagai saksi karena kata ‘persengkoklan’ yang diduga mencemarkan nama baik Siti Maryam itu tertera dalam berita yang dimuat Harian Aceh. Dan, berita itu saya yang liput, sehingga saya diperiksa penyidik,” kata Juli Amin, usai diperiksa kemarin.

Kata ‘persengkokolan’ tersebut, rinci Juli Amin, tertera pada alinea ke empat berita tentang pendaftaran gugatan perdata M Saleh terhadap Siti Maryam di PN Banda Aceh, Rabu (13/4). Berita itu berjudul ‘Istri Mantan Gubernur Aceh Digugat Rp24,650 M’.

Sebelumnya diberitakan, Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan, pendiri Yayasan Teungku Fakinah, digugat ke pengadilan. Istri mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan itu dituntut membayarkan ganti rugi materil senilai Rp14,650 miliar dan inmaterial Rp10 miliar kepada mantan Direktur RS Fakinah Banda Aceh Dr HM Saleh Suratno.

HM Saleh mendaftarkan gugatan perdata itu ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Rabu (13/4), melalui kuasa hukumnya J Kamal Farza dengan nomor register perkara 12/pdt.G/2011/PN-BNA tanggal 13 April 2011 yang diterima bidang perdata PN Banda Aceh.

“Tergugat (Siti Maryam) telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni membuat Yayasan Teungku Fakinah baru dan tergugat juga menggantikan secara sepihak M Saleh dari Direktur RS Teungku Fakinah,” kata kuasa hukum M Saleh, J Kamal Farza kepada wartawan usai mendaftarkan gugatan itu ke PN Banda Aceh, kemarin.

Kamal mengatakan secara pribadi M Saleh tidak ingin mempertahankan jabatannya sebagai Direktur RS Fakinah. Tetapi, lanjut Kamal, karena pemberhentian itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak terhormat sehingga M Saleh melakukan upaya-upaya agar fungsi RS sebagai pelayanan kesehatan masyarakat dapat berfungsi secara baik.

“Tujuannya agar aset daerah yang sudah berkembang selama dalam pengelolaan M Saleh tidak hilang dan musnah begitu saja di kemudian hari,” kata Kamal, didampingi kliennya M Saleh.

Kamal menilai, persekongkolan yang dilakukan Siti Maryam dengan membuat yayasan baru untuk menguasai aset RS Fakinah itu adalah melawan hukum, konsekuensinya bukan hanya mencederai perasaan M Saleh tetapi memiliki implementasi cukup luas, terutama mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelanggaran atas undang-undang kesehatan.bay/min)

SUMBER: http://harian-aceh.com/2011/05/24/mantan-direktur-rs-fakinah-dilapor-ke-polisi

Jumat, Mei 06, 2011

Yayasan di Aceh Banyak Bermasalah


Banda Aceh | Harian Aceh – Lembaga berbadan hukum yayasan di Aceh diduga banyak bermasalah akibat minimnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan tugas yayasan.

“Dalam rapat yayasan, suara pendiri seperti suara tuhan. Padahal, fungsi pendiri hanya menjadi pembina saja yayasan dan tidak bisa jadi pengurus,” kata pakar hukum Dr A. Aziz Muhammad SH Mhum dalam diskusi badan hukum yayasan di Banda Aceh, Rabu (4/5).

Menurut dosen Muhammadiyah Jakarta itu, yayasan bermasalah tidak hanya di Aceh saja, tetapi di seluruh belahan Indonesia. Permasalah itu, kata dia, banyak terjadi ketika penyesuaian Anggaran Dasar (AD) sebuah yayasan dari Undang-Undang No.28/2004 ke PP No 63/2008.

“Karena masa penyesuaian AD itu diberi batas waktu setahun atau hingga 6 Oktober 2008,” ujar Aziz yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Bayangkara Jakarta itu.

Dalam masa penyesuaian aturan ini, lanjut dia, banyak juga yayasan membubarkan diri kemudian membuat yayasan baru dengan AD baru, meski dengan nama semula. Kesalahannya, saat membubarkan yayasan lama asetnya langsung dialihkan ke yayasan baru tanpa musyawarah dengan pihak yayasan lama dan tanpa mengusulkan ke Menkumham.

“Ini kesalahan awal. Dalam aturan disebutkan pengalihan aset sebuah yayasan lama ke yang baru harus diputuskan dalam rapat kedua organisasi itu, kemudian mengusulkan ke Menkumham. Ini sering dilupakan karena yayasan baru tidak berani karena belum ada badan hukum yang kuat dari Menkumham,” kata Aziz yang didampingi penasehat hukum penggugat Yayasan Fakinah J Kamal Farza SH.

Menurutnya, apabila sebuah yayasan sudah bubar maka asetnya hanya bisa dialihkan kepada yayasan lain yang AD-nya sama seperti yayasan lama dan sudah berbadan hukum. Jika tidak, aset itu diserahkan kepada negara dan negara wajib menyalurkan dana itu untuk kebutuhan sosial seperti AD yayasan yang sudah bubar itu.

“Itu semua diatur dalam Pasal 71 UU Nomor 28/2004 jo PP 63/2008. Jika sebuah yayasan mengalihkan begitu saja aset sebuah yayasan lama kepada yayasan baru maka bisa tersangkut pidana. Karena akibat kebijakan itu telah merugikan rakyat atau negara,” jelas dia.
300 Yayasan

Sementara itu, J Kamal Farza dalam diskusi badan hukum yayasan di Aceh tersebut menduga sekitar 300 yayasan di Aceh menyalahi aturan. “Faktor utamanya karena tidak menyesuaikan AD dengan aturan baru dari UU No.28/2004 ke PP 63/2008. Pada awalnya enak bentuk yayasan, tapi pada akhirnya di yayasan itu muncul banyak penjudi-penjudi dan tukang korupsi sehingga yayasan menjadi tidak terkendali,” tutur Kamal tanpa merincikan 300 yayasan dimaksud.

T Abdurrahman, seorang notaris di Banda Aceh mengatakan banyak pendiri yayasan di Aceh yang menganggap yayasan itu adalah hartanya. “Padahal yayasan yang didirikannya itu harta pendiri yang dipisahkan. Artinya, yayasan itu sudah menjadi milik rakyat dan untuk rakyat. Kalau mau menjadi harta dirikan PT jangan yayasan. Yayasan adalah lembaga sosial untuk masyarakat. Kalau bukan lembaga sosial, maka itu bukan yayasan namanya,” katanya.(min)

Sumber: http://harian-aceh.com/2011/05/05/yayasan-di-aceh-banyak-bermasalah

Sabtu, April 16, 2011

Istri Ibrahim Hasan Digugat 14,6 Milyar

BANDA ACEH – Mantan Direktur Rumah Sakit Fakinah dr.Saleh Suratno menggugat Siti Maryam, istri mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, lantaran menguasai Rumah Sakit Fakinah sekaligus memecat dirinya dari jabatan direktur rumah sakit itu.

Dalam gugatan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Rabu (13/4), Suratno menggugat Siti Maryam senilai 14,6 Milar. "Supaya ada kepastian hukum bagi klien kami," ujar J. Kamal Farza, penasehat hukum Suratno.

Menurut Kamal, tindakan Siti Maryam yang membuat Yayasan Teungku Fakinah Baru untuk melegalkan yayasan lama adalah tindakan melawan hukum dan telah menganggu aktivitas rumah sakit.

“Akibat perbuatan Ibu Siti Maryam dan kawan-kawan,telah menimbulkan rasa malu, kehilangan harkat dan martabat dalam masyarakat serta kehilangan kepercayaan dari pihak rekanan dan pasien yang telah dijaga dengan baik oleh klien kami selama ini,” jelas Kamal Farza.

Sebelum menempuh jalur hukum, kata Kamal, pihaknya telah mencoba menempuh jalan lain seperti mengirim peringatan secara hukum dan membujuk Siti Maryam selaku pembina Yayasan Teungku Fakinah agar menghentikan tindakannya.

Selain menggugat perdata, kata Kamal, kliennya juga memasukkan gugatan pembubaran dan likuidasi Yayasan Teungku Fakinah ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 11 April 2011.

Menanggapi gugatan itu Siti Maryam mengatakan, pihaknya tidak memecat saleh Suparno, melainkan karena Saleh sudah 18 tahun menjadi direktur di rumah sakit itu. Apalagi, kata dia, Saleh kini telah berusia 76 tahun.

Meski begitu, karena perkaranya sudah masuk pengadilan, Siti Maryam menyatakan siap meledeninya. "Soal yayasan, kami bukan membentuk yayasan baru, melainkan menyesuaikan dengan aturan baru," ujarnya.[]

http://www.atjehpost.com/nanggroe/hukum/1211-istri-ibrahim-hasan-digugat-146-milyar-.html

Istri Mantan Gubernur Aceh Digugat Rp24,650 M

Banda Raya - 13 April 2011 | 12 Komentar

Banda Aceh | Harian Aceh – Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan, pendiri Yayasan Teungku Fakinah, digugat ke pengadilan. Istri mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan itu dituntut membayarkan ganti rugi materil senilai Rp14,650 miliar dan inmaterial Rp10 miliar kepada mantan Direktur RS Fakinah Banda Aceh Dr HM Saleh Suratno.

HM Saleh mendaftarkan gugatan perdata itu ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Rabu (13/4), melalui kuasa hukumnya J Kamal Farza dengan nomor register perkara 12/pdt.G/2011/PN-BNA tanggal 13 April 2011 yang diterima bidang perdata PN Banda Aceh.

“Tergugat (Siti Maryam) telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni membuat Yayasan Teungku Fakinah baru dan tergugat juga menggantikan secara sepihak M Saleh dari Direktur RS Teungku Fakinah,” kata kuasa hukum M Saleh, J Kamal Farza kepada wartawan usai mendaftarkan gugatan itu ke PN Banda Aceh, kemarin.

Kamal mengatakan secara pribadi M Saleh tidak ingin mempertahankan jabatannya sebagai Direktur RS Fakinah. Tetapi, lanjut Kamal, karena pemberhentian itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak terhormat sehingga M Saleh melakukan upaya-upaya agar fungsi RS sebagai pelayanan kesehatan masyarakat dapat berfungsi secara baik.

“Tujuannya agar aset daerah yang sudah berkembang selama dalam pengelolaan M Saleh tidak hilang dan musnah begitu saja di kemudian hari,” kata Kamal, didampingi kliennya M Saleh.

Kamal menilai, persekongkolan yang dilakukan Siti Maryam dengan membuat yayasan baru untuk menguasai aset RS Fakinah itu adalah melawan hukum, konsekuensinya bukan hanya mencederai perasaan M Saleh tetapi memiliki implementasi cukup luas, terutama mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat dan pelanggaran atas undang-undang kesehatan.

“Selain itu, akibat perbuatan yang dilakukan Siti Maryam dan kawan-kawannya dalam memberhentikan M Saleh dari direktur RS Fakinah, telah menimbulkan rasa malu pada diri M Saleh, kehilangan martabat dalam masyarakat serta kepercayaan dirinya,” ujar Kamal.

Atas dasar itu, ujar Kamal, pihaknya menggugat dan menuntut Siti Maryam untuk membayar kerugian materil terhadap M Saleh senilai Rp14,650 miliar dan inmateril Rp10 miliar.

M Saleh, tambah Kamal, menjadi direktur RS Fakinah berdasarkan SK Yayasan Teungku Fakinah tahun 1987. Pada tahun itu, kata Kamal, aset RS itu hanya senilai Rp1 miliar yakni aset gedung ditambah biaya operasional Rp50 juta. Sementara, atas kerja keras M Saleh Yunus aset RS Fakinah sekarang sudah mencapai Rp42,5 miliar. “Maka kami menganggap pemberhentian M Saleh dari direktur merupakan keputusan Ketua Umum Yayasan Teungku Fakinah Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan bukan atas dasar Yayasan Teungku Fakinah lama, tetapi oleh Yayasan Teungku Fakinah baru yang dibuat tahun 2011,” kata dia.

Dijelaskannya, sebelum melakukan upaya hukum tersebut pihaknya telah melakukan upaya non-litigasi antara lain mengirim surat peringatan hukum kepada Siti Maryam, termasuk membujuk agar ketua yayasan itu berhenti mengganggu operasional RS Fakinah agar tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat. “Bahkan, sehari sebelum direktur RS Fakinah baru dilantik kami sudah ingatkan bahwa yayasan itu saat ini sedang dalam proses hukum. Agar tidak membuat masalah ini semakin menjadi rumit,” kata Kamal Farza.

Selain menggugat perdata ketua yayasan, lanjut dia, pihaknya juga sudah memasukkan gugatan likuidasi Yayasan Teungku Fakinah ke PN Banda Aceh pada 11 April 2011. “Kami ingatkan saja kepada ibu Maryam dari pada nanti pelantikan direktur baru dibatalkan di pengadilan, ada baiknya beliau sadar hukum,” katanya.

Bukan Memecat

Sementara itu, Siti Maryam yang dimintai tanggapannya soal gugatan itu mengatakan dirinya sangat menyayangkan sikap M Saleh itu. Karena pemberhentian M Saleh dari Direktur RS Fakinah bukan dipecat dan bukan pula karena mendirikan Yayasan Teungku Fakinah baru untuk menguasai aset yayasan lama. “Kami menggantikan pak Saleh karena dia sudah 18 tahun menjadi direktur. Dia juga sudah berusia 76 tahun. Jadi, wajarkan jika kami ganti,” kata Siti Maryam yang dihubungi, kemarin.

Namun demikian, lanjut dia, jika masalah itu harus berakhir ke pengadilan juga bukan sebuah masalah baginya. “Kalau pak Saleh sudah mendaftarkan gugatannya ke pengadilan iya diikuti saja upaya hukum itu, yang jelas semuanya punya alasan,” katanya.

Dikatakannya, soal pengurusan terkait yayasan yang dilakukan sekarang ini atau tahun 2011 hanya tuntutan aturan yayasan. “Soal yayasan, sekarang kan ada aturan baru, jadi bukan membentuk yayasan baru. Itupun M Saleh masih masuk dalam struktur perubahan yang ada. Jadi, pak Saleh tetap ada di Yayasan Teungku Fakinah,” ujar dia.

Alasan lainnya, kata dia, M Saleh diberhentikan dari direktur karena sudah ada posisi lain dalam struktur di yayasan tersebut sehingga tidak boleh merangkap jabatan. “Jadi bukan dipecat,” pungkasnya.(min)

http://harian-aceh.com/2011/04/13/istri-mantan-gubernur-aceh-digugat-rp24650-m


NB: Nilai gugatan yang benar Rp 14,650 M, terdiri dari hitungan kerugian materil Rp 4,650M dan Kerugian immateril Rp 10M. Dengan demikian ini sekaligus sebagai perbaikan.

Direktur RS Tgk Fakinah Diberhentikan

Serambi 7 April 2011

BANDA ACEH - Untuk meningkatkan pelayanan di rumah sakit dan kualitas lulusan Akademi Keperawatan Tgk Fakinah, Ketua Umum Yayasan Teungku Fakinah, Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan, sejak 4 April 2011, memberhentikan dengan hormat Dr M Saleh Suratno sebagai direktur. Penggantian itu juga untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor No 28/2004 tentang Yayasan.

Hal itu dikatakan Anggota Pembina Yayasan Tgk Fakinah, Drs H Sanusi Wahab yang juga kuasa Ketua Umum Yayasan, kepada Serambi Rabu (6/4). Didampingi sejumlah pengurus yayasan dan pengelola rumah sakit, Sanusi mengatakan, Ketua Umum Yayasan akan melantik direksi baru untuk rumah sakit dan Akper, pada 12 April ini.

Namun, Sanusi Wahab yang didampingi Sidiq Fahmi SH, Drs Nurdin Ahmad, dan sejumlah pengurus yayasan lainnya menolak menyebutkan nama penggantikan Dr M Saleh Suratno. “Menyangkut nama pengganti direktur baru akan diumumkan langsung Ibu Siti Maryam Ibrahim Hasan,” katanya.

Mantan Bupati Aceh Besar itu menyebutkan, dalam UU No 28/2004, anggota pengurus yayasan dilarang menjadi pengurus badan pelaksana. Sesuai akte notaris yayasan yang baru yang dibuat Sabaruddin Salam SH tanggal 17 Februari 2011, Dr M Saleh Suratno adalah anggota pengurus yayasan. Sementara dalam akte notaris sebelumnya, M Saleh adalah sekretaris yayasan.

Karena itu, agar tidak melanggar UU, Ketua Umum Yayasan memutuskan memberhentikan M Saleh Suratno, baik sebagai direktur rumah sakit maupun direktur Akper Tgk Fakinah, dalam Surat Keputusan Ketua Umum Yayasan Tgk Fakinah No. 022/YTF/KEP/IV/2011, dan Surat No. 23/YTF/KEP/IV/2011 tanggal 4 April 2011. Namun, dia (M Saleh-red) masih tetap sebagai anggota yayasan.(sir)

http://aceh.tribunnews.com/news/view/53383/direktur-rs-tgk-fakinah-diberhentikan

Pemberhentian Direktur Fakinah Ilegal

BANDA ACEH – Kuasa Hukum Direktur Rumah Sakit Teungku Fakinah, J. Kamal Farza membantah bahwa kliennya diberhentikan sebagai direktur rumah sakit itu. “Tidak benar dan tidak berhak sebuah yayasan baru dibentuk tahun 2011 bisa memberhentikan seorang direktur rumahsakit yang sudah dua puluh tahun mengabdi di rumah sakit,” kata Kamal Farza kepada The Atjeh Post.

Pada Kamis (7/4) lalu muncul pemberitaan bahwa Ketua Umum Yayasan Tgk Fakinah Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan, sejak 4 April 2011, telah menerbitkan Surat Keputusan Ketua Umum Yayasan Tgk Fakinah No. 022/YTF/KEP/IV/2011, dan Surat No. 23/YTF/KEP/IV/2011 tanggal 4 April 2011. Dalam surat ini diputuskan memberhentikan Dr M Saleh Suratno, baik sebagai direktur rumah sakit maupun direktur Akper Tgk Fakinah.

Menurut Kamal, Yayasan yang memberhentikan kliennya, adalah yayasan baru dan memiliki nama yang sama dengan nama Yayasan Teungku Fakinah. Yayasan ini baru didirikan tahun 2011 dengan akte notaris Sabaruddin Salam, dengan akte nomor 30 Tahun 2011. Yayasan ini selain tidak punya kaitan dengan rumah sakit, juga belum memiliki keabsahan karena belum dinyatakan sah sebagai yayasan oleh Menteri Hukum dan HAM.

“Bagaimana mungkin, yayasan yang baru dibentuk tahun 2011, bisa memiliki akses kepada rumah sakit, memberhentikan direkturnya, padahal rumah sakit
itu merupakan milik dan aset pemerintah daerah yang sudah dikelola oleh klien kami selama 20 tahun.” tanya Kamal. "Pemberhentian itu tentu saja perbuatan ilegal."

Kamal Farza menjelaskan, kliennya diangkat dengan SK Yayasan Teungku Fakinah yang didirikan tahun 1987 dengan akte notaris Husni Usman. Yayasan itu kuat dugaan sudah invalid dan tidak boleh lagi menyebut diri yayasan, karena tidak menyesuaikan diri dengan Undang-undang Yayasan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 16 Tahun 2001 yang telah di amandemen dengan UU Nomor 28 tahun 2004.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, akhir Oktober tahun 2009 adalah batas waktu terakhir yayasan-yayasan yang ada untuk menyesuaikan diri dengan Undang Undang Yayasan tersebut. Maka, berdasarkan Pasal 71 ayat (4), Undang-Undang No. 28 Tahun 2004: “Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”

Karena itu, tambah Kamal, baik yayasan pertama maupun yayasan kedua, itu ilegal dalam kaitannya dengan Rumah Sakit Teungku Fakinah. “Keduanya tidak memiliki alasan hak yang sah. Maka Surat Keputusan Ketua Umum Yayasan Tgk Fakinah No. 022/YTF/KEP/IV/2011, dan Surat No. 23/YTF/KEP/IV/2011 tanggal 4 April 2011 yang memberhentikan klien kami, adalah surat yang tidak punya dasar yang jelas”.

Kamal menjelaskan, kliennya sudah diminta mengelola rumah sakit dan akademi perawat Tgk Fakinah sejak 1990. Saat itu, kata kamal, aset rumah sakit hanya berupa gedung senilai Rp 1 miliar.

Dari tidak ada apa-apanya, HM Saleh Suratno mengusahakan rumah sakit itu, hingga tahun 2011, asetnya sudah mencapai lebih Rp 42 miliar. “Karena ini aset daerah, Kami telah bertemu dengan Gubernur melalui Sekretaris Pemerintah Aceh, kami mohon segera mengamankan aset rumah sakit ini, termasuk mencatat aset-aset yang ada, sehingga terselamatkan dan terhindarkan dari upaya-upaya penguasaan, pencurian, penjarahan, penggelapan dan gangguan yang mengakibatkan terganggunya aktivitas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan publik.” Jelas Kamal.

Saat ini, tim penasihat hukum RS Fakinah, sedang menyusun langkah-langkah hukum untuk menuntut para pengganggu rumah sakit ke meja hijau. Selain itu, tambahnya, bisa saja pihaknya melaporkan ke polisi, untuk menghentikan kesewenang-wenangan orang-orang terhadap kliennya. “Kami sudah melakukan langkah-langkah hukum, termasuk segera membawa masalah ini ke pengadilan,” ujarnya. ***

www.atjehpost.com@2011
http://www.atjehpost.com/nanggroe/hukum/1128-qpemberhentian-direktur-fakinah-ilegalq.html

Pemberhentian Direktur RS Fakinah Tak Sah

Rakyat Aceh, Sabtu, 9 April 2011 | 10:22

Banda Aceh-Terkait pemberhentian direktur Rumah Sakit Tgk Fakinah dan juga Direktur Akademi Perawat Tgk Fakinah (APTF) tertanggal 4 April 2011, dinilai kuasa hukum Dr HM Saleh Suratno, J.Kamal Farza, SH, tidak punya dasar yang jelas. Pasalnya dua yayasan yang mengeluarkan surat pemberhentian direktur ini, tidak memiliki alas hak yang sah.

“Yayasan itu, ilegal, karena keduanya tidak memiliki alas hak yang sah. Oleh karena itu, Surat Keputusan Ketua Umum Yayasan Tgk Fakinah No. 022/YTF/KEP/IV/2011, dan Surat No. 23/YTF/KEP/IV/2011 tanggal 4 April 2011 yang konon telah memberhentikan klien kami, adalah surat yang tidak punya dasar yang jelas,” kata J Kamal Farza, kuasa hukum Dr.HM Saleh Suratno, Direktur RD Fakinah dan APTF, kepada koran ini, kemarin di Banda aceh.

Kamal mengungkapkan, kalau Yayasan Teungku Fakinah yang didirikan tahun 1987 dengan akte notaris Husni Usman No 61, sudah invalid (tidak boleh lagi disebut yayasan), karena tidak menyesuaikan diri dengan Undang-undang Yayasan yaitu Undang-undang yayasan, sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 16 Tahun 2001 yang telah di amandemen dengan UU Nomor 28 tahun 2004 Tentang Yayasan.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, akhir Oktober tahun 2009 – yang merupakan batas waktu terakhir penyesuaian Yayasan yang lama dengan Undang Undang Yayasan tersebut. Maka, Pasal 71 ayat (4), Undang-Undang No. 28 Tahun 2004: “Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. (rel/ian)

http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=21844&tit=BANDA%20ACEH%20-%20%20%20Pemberhentian%20Direktur%20RS%20Fakinah%20Tak%20Sah

Senin, April 11, 2011

Pemberhentian Direktur RS Fakinah Dinilai tidak Sah



BANDA ACEH - Pemberhentian Direktur Rumah Sakit Tgk Fakinah, Dr M Saleh Suratno oleh Ketua Umum Yayasan Tgk Fakinah, Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan dinilai tidak sah. Pasalnya, tidak berhak yayasan yang baru dibentuk 2011 memberhentikan seorang direktur RS yang sudah 20 tahun mengabdi di rumah sakit itu.

Pengacara Saleh Suratno, J Kamal Farza menyampaikan hal itu menanggapi pemberhentian kliennya dari direktur rumah sakit itu oleh Ketua Umum Yayasan Teungku Fakinah, Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan, sejak 4 April 2011, seperti diberitakan Serambi, Kamis (7/4).

“Pihak yayasan yang memberhentikan Pak Saleh adalah yayasan dibuat tahun 2011 dan nama yayasan itu sama dengan nama Yayasan Tgk Fakinah. Yayasan yang didirikan tahun 2011 dengan akte notaris Sabaruddin Salam, selain tidak berkaitan dengan rumah sakit, juga belum memiliki keabsahan karena belum dinyatakan sah sebagai yayasan oleh Menteri Hukum dan HAM,” tulis Kamal lewat siaran pers kepada Serambi, kemarin.

Menurut Kamal, kliennya diangkat dengan SK Yayasan Tgk Fakinah yang didirikan tahun 1987. Yayasan itu kuat dugaan sudah invalid dan tidak boleh lagi menyebut diri yayasan, karena tidak menyesuaikan diri dengan Undang-undang Yayasan sebagaimana diamanatkan UU Nomor 16 Tahun 2001 yang telah diamandemen dengan UU Nomor 28 tahun 2004.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, akhir Oktober tahun 2009 adalah batas waktu terakhir yayasan-yayasan yang ada untuk menyesuaikan diri dengan Undang Undang tersebut. “Jika tidak, maka tidak boleh menggunakan kata yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan,” tambahnya.

Karena itu, dikatakan Kamal, baik yayasan pertama maupun yayasan kedua itu ilegal berkaitan dengan RS Tgk Fakinah. “Keduanya tidak memiliki alasan hak yang sah. Maka Surat Keputusan Ketua Umum Yayasan Fakinah, 4 April 2011 yang memberhentikan klien kami, adalah surat yang tidak punya dasar yang jelas,” kata Kamal.

Seperti diberitakan, Kamis (7/4), untuk meningkatkan pelayanan di rumah sakit dan kualitas lulusan Akademi Keperawatan Tgk Fakinah, Ketua Umum Yayasan Teungku Fakinah, Dra Hj Siti Maryam Ibrahim Hasan, sejak 4 April 2011, memberhentikan dengan hormat Dr M Saleh Suratno sebagai direktur. Penggantian itu juga untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor No 28/2004 tentang Yayasan.(sal)

Sumber: Serambi Indonesia, 11 April 2011, http://aceh.tribunnews.com/news/view/53704/pemberhentian-direktur-rs-fakinah-dinilai-tidak-sah

Dua Yayasan Berebut Fakinah


BANDA ACEH – Dua Yayasan yang mengklaim sebagai pemilik Rumah Sakit Teungku Fakinah (RSTF) Banda Aceh, kini saling berebut aset rumah sakit itu. Padahal, sebagian aset yang diperebutkan adalah milik pemerintah Aceh, yang dipinjamkan kepada rumah sakit swasta itu.

Kuasa Hukum Saleh Suratno, Direktur (RSTF), J. Kamal Farza, menyebutkan, dua yayasan yang bernama sama itu, tidak punya hubungan dengan kepemilikan rumah sakit. Mereka, kata Kamal, tidak punya dasar yang kuat untuk mengklaim aset rumah sakit.

“Baik yayasan pertama maupun yayasan kedua, itu ilegal dalam kaitannya dengan Rumah Sakit Teungku Fakinah. Keduanya tidak memiliki alas hak (dasar hukum) yang sah.” ujar Kamal Farza, Kamis, (7/4).

Menurut Kamal, rumah sakit itu telah maju pesat, berkat keuletan dan kerja keras kliennya. Dari segi aset misalnya, saat kliennya menerima penyerahan pengelolaan dari yayasan, hanya berjumlah Rp 1,050 miliar. Saat ini, aset rumah sakit itu tidak kurang Rp 42,267 miliar.

“Saleh Suratno telah berhasil memajukan rumah sakit dengan perkembangan cukup signifikan, baik sumber daya maupun jaringan,”ujarnya.

Itu sebabnya, Kamal meminta Pemerintah Aceh mengambil tindakan untuk menyelamatkan aset Pemerintah Aceh yang dipinjamkan kepada rumah sakit itu.

“Karena ini aset daerah, Pemerintah Aceh kami mohon segera mengamankan aset rumah sakit ini, termasuk mencatat aset-aset yang ada, sehingga terselamatkan dan terhindarkan dari upaya-upaya penguasaan,” harapnya

Selain itu, Kamal Farza juga meminta semua pihak atau siapa pun agar tidak membuat gangguan, menguasai sebagian atau seluruhnya dari aset rumah sakit, yang dapat merugikan kegiatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

“Hal itu berlawanan dengan hukum. Jika ada pihak-pihak yang sudah terlanjur menempati, menguasai, kami minta segera meninggalkan area, jika tidak maka akan menerima tuntutan hukum dari klien kami,” sebutnya.

Sumber: The Atjeh Post http://atjehpost.com/nanggroe/daerah/1048-dua-yayasan-berebut-fakinah.html

Senin, April 04, 2011

Tentang Iklan Antikorupsi Partai Aceh

The Atjeh Post http://www.atjehpost.com/saleuem/opini/740-tentang-iklan-antikorupsi-partai-aceh.html

Sebuah iklan kelihatan menonjol di halaman pertama sebuah surat kabar lokal. Iklan tersebut sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi menjadi luar biasa ketika, iklan tersebut dipasang oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Aceh – sebuah partai yang saat ini mendominasi penguasaan kursi legislatif baik di level provinsi, DPRA maupun di level kabupaten/kota, DPRK.

Iklan yang dibuat Muzakir Manaf dan Muhammad Yahya masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Aceh tersebut isinya,

“Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh menyatakan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan mendukung sepenuhnya kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik di tingkat nasional secara umum, maupun di tingkat Aceh secara khusus.

Partai Aceh juga berkomitmen dan akan menindak tegas siapapun kader-kader partai yang terlibat melakukan korupsi.

Partai Aceh juga bersedia melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan pegiat –pegiat antikorupsi baik tingkat Aceh, nasional maupun internasional.”

Iklan itu dibaca luas dan kemudian disebarkan secara luas kepada publik melalui jaringan sosial Facebook. Ada pro dan kontra tentang isi iklan, ada yang memuji tetapi banyak pula yang mencemooh. Bahkan sebagian orang menganggap, itu kampanye menjelang pemilihan kepala daerah.

Saya bisa memahami mereka yang kontra. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir, mereka melihat korupsi terjadi di Aceh dan sepertinya terbiarkan tanpa ada tindak lanjut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misanya, hingga Juni 2010 telah menerima 800 pengaduan tindak pidana korupsi di Aceh. Dari jumlah itu, “KPK telah menindaklanjuti 155 pengaduan. 25 pengaduan ditangani oleh kepolisian, 28 pengaduan ditangani oleh Kejagung," kata Lutfi Ganda Supriadi, staf Litbang KPK.

Dengan 800 kasus yang dilaporkan dan belum ada satu pun yang ditangani, mengesankan, KPK takut masuk ke Aceh, karena Aceh dikawal oleh Partai Aceh – selaku partai dominan yang menguasai pemerintahan dan legislatif. Karena itu, komitmen terbuka yang disampaikan oleh dua petinggi Partai Aceh menjadi signal yang sangat positif bagi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi untuk segera melakukan action, menggebuki para koruptor.

Yang ingin disampaikan oleh Partai Aceh dalam iklan publik itu adalah,

Pertama, Partai Aceh (PA) bukanlah partai korup, dan karna itu, PA komit dan siap membantu kerja-kerja pemberantasan korupsi oleh siapa pun termasuk oleh KPK.

Kedua, Partai Aceh (PA) bukanlah partai korup, dan karna itu, PA komit menyingkirkan kader-kader korup di tubuh partai, di legislatif, dan di eksekutif, dan menyerahkannya kepada aparat penegak hukum.

Ketiga, Partai Aceh membuka diri untuk menerima siapa pun dan kerjasama dengan lembaga-lembaga mana pun, dalam rangka membersihkan Aceh dari korupsi.

Kita tahu, bahwa kejahatan korupsi adalah salah satu dari lima kejahatan besar yang dimusuhi bangsa-bangsa dunia: kejahatan terhadap kemanusiaan (humanrights), perdagangan dan penjualan orang (human trafficking), terorisme, dan narkotika.

Komitmen Partai Aceh itu, merupakan kabar gembira bagi semua kita, seluruh rakyat Aceh, masyarakat Indonesia dan juga masyarakat dunia. Aceh tak mungkin dibangun dengan baik, jika dikelilingi oleh pejabat-pejabat dan parlemen bermental korup. Aceh tak mungkin dikunjungi para investor bila investasi mereka berbiaya tinggi karena harus menyetor miliaran rupiah ke kantong pejabat korup.

Tinggal sekarang, kita tunggu dan lihat, apakah iklan ini akan mendatangkan keberanian bagi penegak hukum untuk menangkap para koruptor?

Saya percaya komitmen Partai Aceh adalah komitmen yang tulus. Dan saya mendukung itu!

| J. Kamal Farza | Praktisi Hukum

Spirit Teungku Lah

J. Kamal Farza - Opini

Serambi Indonesia, Sat, Jan 22nd 2011, 08:25 (http://aceh.tribunnews.com/news/view/47687/spirit-teungku-lah)

KETIKA saya mengunjungi Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, di Gampong Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, dalam liputan persiapan milad Gerakan Aceh Merdeka, awal Desember 2000, saya sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat personal kepada almarhum, “Apa maksud dan tujuan perjuangan yang sedang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka”? Teungku Lah, begitu sapaan akrab Abdullah Syafi’e, menjawab, “Hai nyak, hana lee that yang tapeureulee lam perjuangan nyoe, kecuali lhee boh peukara. Peukara nyang phon, Bansa Aceh beucarong, jeut bek ditipee lee gop. Keudua, Bansa Aceh beukong, supaya bek dipoh lee gop, dan keu lhe, Bansa Aceh beukaya, jeut bek meugadee bak gop” (“Tidak banyak yang kita perlukan dalam perjuangan ini. Pertama, bangsa Aceh harus pintar, supaya tidak ditipu orang lain, Bangsa Aceh harus kuat supaya tidak dilecehkan orang lain, dan Bangsa Aceh harus kaya, supaya tidak mengemis pada orang lain”).

Apa yang disampaikan secara singkat oleh Tgk Lah tersebut, sangat visioner. Siapa pun yang berpikir bagi kemajuan Aceh, dapat menjabarkan lhee boh peukara itu ke dalam bahasa visi yang amat sangat mendasar untuk membuat Aceh lebih baik. Pertama, harus pintar (beucarong). Orang Aceh harus memiliki pengetahuan luas untuk menguasai ilmu dan teknologi, agar mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya dan masyarakat internasional. Harus ada orang Aceh yang cakap menjadi guru, bukan sekadar guru karena tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Orang Aceh harus ada yang menjadi dokter yang hebat, dengan sepesialisasi khusus jantung, bedah, tulang, atau lainnya. Harus ada orang Aceh yang menjadi dokter hewan yang memiliki kemampuan mengembangkan vaksin-vaksin baru guna menyembuhkan ternak-ternak Aceh yang handal, membuat dan mengembangkan sistem peternakan, sehingga kita tidak mengonsumsi lagi daging dan telor impor dari luar Aceh.

Harus ada sarjana atau ahli agama kita yang bukan saja memiliki kehebatan dalam berdebat soal syariah, tetapi bisa diandalkan membuat sistem hukum syariah yang memiliki kekuatan pemberdayaan ekonomi Islam, perbankan Islam, yang membuat si miskin menjadi kaya. Ahli syariah yang berani mengatakan, bahwa sistem syariah yang cilet-cilet, akan membentuk masyarakat dan pemimpin munafik dan hal ini justru merusak dan melecehkan Islam untuk jangka waktu yang lama. Aceh harus memiliki insinyur-insinyur yang handal dalam teknologi, dan universitas tidak hanya bisa menghasilkan insinyur yang hanya berani menjadi pegawai negeri, untuk kemudian menjadi pimpinan proyek, kepala dinas, koruptor, dan akhirnya pensiun atau masuk penjara karena korupsi. Singkatnya, orang Aceh harus carong dan mampu menjadi pengelola sumberdaya yang luar biasa hebatnya di tanah Aceh, dan tentunya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.

Sedangkan bagi kalangan yang memerintah, visi Abdullah Syafi’e ini semakin memperkuat kemauan memajukan pendidikan Aceh. Jika orang yang sekarang memimpin masih teringat pesan ini, pastilah dia malu ketika kualitas pendidikan kita sedemikian buruknya, dari kualitas pendidikan daerah-daerah lain yang kemampuan keuangan daerahnya miskin dan mereka bukanlah daerah otonomi khusus seperti Aceh. Kedua, harus kuat (beukong), ini sangat jelas, bahwa kita disuruh menambah kemampuan menjaga, memperkuat dan mempertahankan diri baik setiap orang maupun secara komunal. Kita harus memiliki waktu untuk berolahraga, dan handal dalam memenej tubuh supaya kuat. Gizi kita harus baik. Dan kita harus menghapus pantangan makan ikan di kalangan anak-anak kita, supaya otak mereka berisi dan mereka tidak mengantuk di sekolah.

Untuk yang lebih luas, kita memiliki kemampuan mengatur kekuatan gampong kita. Memiliki sistem yang kuat dalam menghadapi serangan provokator, dan kita memiliki kemampuan mengelola bencana, baik bencana alam maupun bencana dari para penjahat. Bagi orang yang memerintah, tentunya, sejak awal dilantik langsung berpikir, bagaimana mengelola warganya supaya kuat. Bagaimana membuat dan merancang standard etika baru, sehingga potensi-potensi yang ada bisa dihandalkan, bukan untuk bertinju di luar arena, tetapi memenangkan tinju di ring tinju. Bukan memenangkan debat kusir di warung kopi, tetapi debat ilmiah di forum-forum lobi, sidang parlemen atau sidang di ruang pengadilan.

Ketiga, orang Aceh harus kaya. Dengan kepintaran, dengan kekuatan, kita mampu memperkuat ekonomi kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Aceh, secara eksplisit dalam pesan Teungku Lah, mengharamkan diri menjadi masyarakat pengemis, peminta-minta, tangan di bawah, dan menjadi hina di hadapan orang yang korup dan bertindak bagai dermawan yang memandang pengemis dengan sinis dan jijik. Oleh karena itu, orang Aceh harus lebih keras bekerja, mengelola semua potensi yang ada untuk kemudian mengolahnya secara bertanggungjawab dan berkesinambungan. Setiap dalam diri orang Aceh, harus berpikir, bagaimana ia membangun rumah dengan tidak menebang pohon dan mengunduli hutan. Bagaimana ia membangun pelabuhan tetapi bukan dengan menghancurkan gunung, karena hal ini akan berdampak baik untuk ekonomi jangka pendek tetapi bencana bagi masa depan anak cucu kita.

Andai Pemerintah (orang) Aceh ingat pesan-pesan yang saya sebut sebagai visi Teungku Abdullah Syafi’e, saya memiliki keyakinan, dalam lima tahun pasca-Undang-undang Pemerintah Aceh, atau tiga tahun pasca-pilkada 2006, rakyat Aceh sudah terlihat memiliki kehidupan lebih baik, karena MoU Helsinki dan UU-PA dibuat dengan misi itu. Andai almarhum Teungku Lah masih hidup, tentu kita masih bisa melihat raut wajahnya. Apakah bahagia atau kecewa melihat situasi ini. 22 Januari 2011, Teungku Lah genap 9 tahun sudah meninggalkan kita. Beliau wafat di Gampông Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, bersama istri dan lima pengawalnya. Kita doakan Allah swt menerima segala amal kebajikan almarhum.

Wasiat almarhum yang masih saya ingat adalah, “Meunyo bak saboh uroe ka tadeungo lé gata nyang bahwa lôn ka syahid, bèk tapeuseudéh dan putôh asa. Lantaran jeueb-jeueb watee lôn meulakee bak Po teuh Allah Beuneubri lôn syahid watèë Nanggroë geutanyoë ka toë bak mardéhka, meuseubab hana peurelèë sipeuë jabatan pih meunyo Nanggroë ka mardeka, nyang lon peureulee pemimpin beuamanah rakyat beuseujahtra” (“Jika suatu hari nanti kau dengar aku telah tiada, jangan bersedih dan putus asa, sebab setiap waktu aku berdoa semoga Allah memanggilku saat negeri ini belum merdeka. Aku tak butuh jabatan saat negeri ini merdeka, yang kubutuhkan, para pemimpin menjaga amanah agar rakyat sejahtera”).

Pertanyaannya, siapa yang masih ingat wasiat Teungku Lah. Seberapa tergetarkah kita mendengar wasiat ini, sehingga berjuang keras agar Aceh menjadi lumbung orang carong, orang kuat, dan orang kaya. Merasakan kenyataan sekarang, sungguh saya merasa sedih. Sayup-sayup, dipojok warung kopi saya mendengarkan sindirin sekelompok anak muda yang resah dengan masa depan Aceh, seolah menyindir realita yang ada: “Ureung Aceh beubangai/beu jeut dipropaganda sabe/Ureung Aceh beuleumoh/beu jeut dipeutakot le ureung bangai/ Ureung Aceh beugasim/beujeut dipeulemoh ngen peng grik.”

* J. Kamal Farza adalah Lawyer pada Farza Lawfirm, Banda Aceh. Founder Tengku Hasan Tiro Institute.