Senin, April 05, 2010

Disparitas Diduga Menimpa Terdakwa Irham

RAKYAT ACEH Senin, 5 April 2010 | 10:00

Banda Aceh-Kasus penahanan Irham, terdakwa dugaan pencabulan terhadap muridnya, hingga kini masih berstatus tahanan PN Jantho. Namun dibalik itu semua, ada suatu disparitas dalam memberlakukan seorang terdakwa, termasuk Irham.

Demikian dijelaskan praktisi hukum J. KamaL Farza kepada Rakyat Aceh, Minggu (4/4).
Fakta yang sering terjadi, lanjut Kamal, sering pihak penyidikan, penuntut, atau pengadilan, memutuskan hukuman yang berbeda untuk dua kasus kejahatan yg sama.

Tentu saja, hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada hukum dan pengadilan. Advokat di Aceh ini mengungkapkan, penahanan diatur dalam pasal 1 butir (21) KUHAP, yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu, oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim.

Pada prinsipnya penahanan, merupakan pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara, lanjut salah satu praktisi hukum di Serambi Mekkah ini.
Lalu, terangnya, yang berwenang melakukan penahanan (pasal 20 KUHAP) antara lain:

penyidik untuk kepentingan penyidikan, jaksa penuntut umum untuk kepentingan penuntutan, dan hakim untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Meski pun begitu, urai Kamal, salah satu syarat dilakukan penahanan, yaitu syarat subyektif, tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan.

Menurut KUHAP, seseorang ditahan jika melakukan tindak pidana, ada bukti yang cukup, dan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa: 1 melarikan diri, 2. merusak atau menghilangkan barang bukti dan 3. mengulangi tindak pidana.

Jadi, hak menahan seseorang berada pada tiga pihak tersebut. Hanya saja, mengapa ada tersangka/terdakwa yang di tahan dan ada yang tidak, itu sepenuhnya tergantung pada 3 pihak tersebut.

“Kemungkinan disparitas, bisa jadi dikenakan ke Irham. Pasalnya, pihak PN Jantho pernah menyidangkan kasus pemerkosaan, tetapi terdakwanya tidak ditahan sehari pun,” tukasnya. (ian)

SUMBER: http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=16229&tit=Berita%20Utama%20-%20%20Disparitas%20Diduga%20Menimpa%20Terdakwa

Kuasa Hukum Mantan Kepala BPKS Sampaikan Klarifikasi ; Indikasi Korupsi Tidak Ditemukan

Banda Aceh, (Analisa)

Tudingan adanya indikasi korupsi atau penyimpangan dalam pelaksanaan sejumlah proyek di Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), dibantah keras oleh mantan Kepala BPKS, Ir Drs H. Teuku Syaiful Achmad yang telah mengundurkan diri beberapa waktu lalu.

Melalui kuasa hukummnya, J.Kamal Farza, Saiful menyatakan, laporan adanya indikasi korupsi di BPKS sebagai sesuatu yang tidak berdasar dan menjurus fitnah.

"Setelah diperiksa dan dilakukan audit oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh dan BPK, ternyata tidak ada ditemukan indikasi korupsi di BPKS. Klarifikasi ini bertujuan agar tidak menimbulkan fitnah yang keji bagi orang-orang tidak bersalah dan telah berbuat baik memegang amanah jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar J.Kamal Farza dalam siaran persnya kepada wartawan, Sabtu (3/4).

Klarifikasi tersebut disampaikan menanggapi pemberitaan sejumlah media yang mengutip Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian yang menyebutkan, Tim Khusus KPK akan melakukan penyelidikan kasus korupsi di Aceh. termasuk indikasi korupsi proyek pembebasan lahan untuk pengembangan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Rp7,7 Miliar

Menurut Alfian, indikasi korupsi proyek pembebasan lahan untuk pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang tahun 2009, perkiraan kerugian negara mencapai Rp7,7 miliar.

Sedangkan satu kasus lainnya yang dilaporkan ke KPK namun tidak termasuk prioritas pengusutan, yaitu indikasi korupsi pada proyek pembangunan dermaga bongkar muat BPKS, yang kuat dugaan menyalahi prosedur karena dilakukan dengan penunjukan langsung (PL).

Atas tudingan tersebut, Kamal Farza menyatakan, PL proyek Ct 3/dermaga bongkar muat, dimulai dengan tender bebas tahun 2005, selanjutnya berturut-turut 2006-2009 dilakukan penunjukan langsung.

Dasar hukumnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/2000 pasal 12 ayat 1 (a): Pekerjaan Lanjutan dimaksud harus merupakan satu kesatuan kontruksi yang sifat pertanggungannya terhadap kegagalan bangunan tidak dapat dipecah-pecah. Yang berwenang melakukan PL adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kepala BPKS.

Kamal Farza juga menyebutkan, pada tahun 2008, Kejati Aceh telah membentuk Tim Besar yang melibatkan 2 asisten untuk memeriksa BPKS. Kesimpulannya, tidak ditemukan penyimpangan/indikasi korupsi di BPKS.

Hal ini dibuktikan dengan keluarnya Surat Penghentian Penyidikan (SP 3) dari Kejaksaan Agung Nomor: R-1864/D/Dek.3/12/2008 tertanggal 15 Desember 2008.

Kemudian audit investigasi oleh BPK Pusat dan Perwakilan BPK Aceh akhir tahun 2008, hanya ditemukan ketidaklengkapan administrasi pada dan kelebihan bayar (hampir selesai 100 persen penyelesaiannya) dengan Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh BPK Pusat No: 03/S/VII~XVIII/02/2009 tanggal 6 Februari 2009.

Kemudian terkait dengan pengaduan masyarakat ke Kejati Aceh pada tahun 2009, sudah dilakukan kembali pemeriksaan ulang baru pada Desember 2009 hingga selesai, dan juga hasilnya sama, tidak ditemukan penyimpangan dan indikasi korupsi di BPKS.

"Saya, adalah orang yang anti korupsi. Tetapi saya tidak ikhlas, seseorang dicederai, dianiaya mentalnya dengan sebuah konspirasi jahat yang ingin merongrong kewibawaan orang dan membunuh karakter seseorang. Syaiful Achmad sudah mengundurkan diri, hendaknya semua pihak memahami hal ini dengan cara tidak melakukan fitnah, yang merusak kehormatan dan nama baik seseorang," jelas Kamal. (mhd)

SUMBER: http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=50051:kuasa-hukum-mantan-kepala-bpks-sampaikan-klarifikasi--indikasi-korupsi-tidak-ditemukan-&catid=42:nad&Itemid=112

Minggu, April 04, 2010

Kamal Farza: Menghukum Secara Kejam, Bukan Mendidik dan Beri Keadilan


Perang Opini Memanas

Banda Aceh-Masih seputar Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat yang memunculkan pro dan kontra dalam masyarakat. Ketua Sementara DPRA Hasbi Abdullah mengatakan, bakal merevisi qanun itu. Sementara anggota dewan dari Fraksi PKS, ngotot bilang harus diberlakukan. Elemen sipil pun tak mau kalah perang opini, bahkan mereka langsung melayangkan protes agar aturan itu dikaji ulang.

Salah satu advokat di Aceh, Kamal Farza menilai, persoalan hukum akhir-akhir ini terlihat semakin marak di Aceh. Salah satu persoalan yang paling mendapat sorotan adalah rancangan Qanun Jinayat yang terus mengundang pro-kontra dari berbagai kalangan.
Menurutnya, warga kota yang tergabung dalam berbagai lembaga kemasyarakatan dan lembaga hukum di Aceh yang peduli Syariah. Bahkan ‘melemparkan’ komplain.

Menurut elemen sipil itu, draft Rancangan Qanun yang dibahas di tingkat legislatif, telah berdampak pada lahirnya Rancangan Qanun yang lebih menitik beratkan pada semangat untuk menghukum secara kejam.
Dibandingkan dengan membangun aspek pendidikan dan keadilan, kata mereka serempak. Sepenuhnya diantara mereka mengakui, ada benarnya isi qanun tersebut.

"Tetapi pihaknya belum melihat ada pihak pro akan Qanun ini, yang mau memberikan sedikit argumennya," terangnya lagi. Hanya saja, lanjut lawyer ini, perbedaan pandangan tentang muatan materi rancangan Qanun ini, semoga tidak menyerempet ke arah pembahasan yang non-yuridis, seperti membangkitkan rasa sensitifitas keagamaan yang sarat dengan unsur emosional subjektif.

Dia pun tak menampik, Qanun Jinayat ini tak pernah lepas dari Hukum Agama (Islam), tetapi tidak berarti tertutupnya ruang diskusi dan monopoli pembahasan oleh kalangan tertentu tentang substansi Qanun, sebab pada kenyataannya baik dalam pemahaman hukum maupun Agama sekalipun, terdapat perbedaan pandangan yang tidak dapat dinafikan begitu saja.

Bahkan, terangnya lagi, persoalan hukum dianggap persoalan kemasyarakatan dalam arti luas. Sebab bagaimanapun masyarakat merupakan subjek yang diatur hukum. Makanya, masyarakat berhak menyampaikan pandangannya tentang hukum. (ian)

SUMBER: http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=13811&tit=Berita%20Utama%20-%20Perang%20Opini%20Memanas

Kuasa Hukum Klarifikasi Laporan Korupsi di BPKS

Serambi, 4 April 2010, 10:15

BANDA ACEH - Mantan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), Teuku Syaiful Achmad melalui kuasa hukumnya J Kamal Farza menilai laporan adanya indikasi korupsi di BPKS sebagai sesuatu yang tidak berdasar. “Tidak ada korupsi di BPKS,” tulis Kamal Farza dalam siaran pers-nya.

Pernyataan itu dikeluarkan J Kamal Farza dari Farza Lawfirm yang berkantor di Banda Aceh selaku kuasa hukum mantan Kepala BPKS menanggapi pemberitaan yang dilansir koran ini edisi 1 April 2010 berjudul KPK akan tangani kasus korupsi Aceh. Dalam pemberitaan yang mengutip Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian disebutkan, Tim Khusus KPK akan melakukan penyelidikan kasus-kasus korupsi di Aceh dengan prioritas pada empat kasus besar, yaitu deposito Aceh Utara, penjualan besi jembatan dan alat berat, pengadaan CT-Scan RSUZA, dan indikasi korupsi proyek pembebasan lahan untuk pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Menurut Alfian, menyangkut indikasi korupsi proyek pembebasan lahan untuk pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang tahun 2009, perkiraan kerugian negara mencapai Rp 7,7 miliar. “Dalam anggaran, harga per meter Rp 350 ribu, tapi ini dibeli hanya Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu per meter,” ungkap Alfian.

Sedangkan satu kasus lainnya yang dilaporkan ke KPK namun tidak termasuk prioritas pengusutan yaitu indikasi korupsi pada proyek pembangunan dermaga bongkar muat BPKS. “Menyangkut kasus ini (pembangunan dermaga), tidak bisa dihitung jumlah kerugiannya, tapi kuat dugaan menyalahi prosedur karena dilakukan dengan penunjukan langsung (PL),” ujar Alfian.

Klarifikasi
Menurut Kamal Farza, pihaknya perlu meluruskan laporan indikasi korupsi di BPKS dengan tujuan tidak menimbulkan fitnah yang keji bagi orang-orang yang tidak bersalah dan telah berbuat baik memegang amanah jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dijelaskan Kamal Farza, mengenai penunjukan langsung (PL) proyek Ct 3/dermaga bongkar muat Teluk Sabang dimulai dengan tender bebas pada 2005, selanjutnya berturut-turut pada 2006, 2007, 2008, 2009 dilakukan PL. Dasar hukumnya, kata Kamal Farza adalah PP Nomor 29 Tahun 2000 Pasal 12 ayat 1 (a): Pekerjaan lanjutan dimaksud harus merupakan satu kesatuan kontruksi yang sifat pertanggungannya terhadap kegagalan bangunan tidak dapat dipecah-pecah.

Juga dijelaskan, BPKS adalah lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2000. “Kewenangannya, pasal 6 ayat (2); Kepala BPKS mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan Sabang sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan Sabang,” tulis Kamal.

Sudah diaudit
Kuasa hukum mantan Kepala BPKS menjelaskan, pada 2008, Kejaksaan Tinggi Aceh membentuk tim besar melibatkan dua asisten untuk memeriksa BPKS. Kesimpulannya, tidak ditemukan penyimpangan/indikasi korupsi di BPKS. Bahkan sudah keluar Surat Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung Nomor: R-1864/D/Dek.3/12/2008 tertanggal 15 Desember 2008.

Juga sudah dilakukan audit investigasi oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Pusat dan Perwakilan BPK Aceh pada akhir 2008. Audit investigasi itu hanya menemukan ketidaklengkapan administrasi pada dan kelebihan bayar (hampir selesai 100 persen penyelesainnya) dengan Pengantar Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh BPK Pusat Nomor 03/S/VII~XVIII/02/2009, tanggal 6 Februari 2009.

Terkait adanya pengaduan masyarakat ke Kejaksaan Tinggi Aceh, maka pada 2009 dilakukan pemeriksaan ulang yang hasilnya tidak ditemukan penyimpangan dan indikasi korupsi di BPKS. Di akhir klarifikasinya, kuasa hukum menulis, “Saya adalah orang yang antikorupsi tetapi saya tidak ikhlas seseorang dicederai, dianiaya mentalnya dengan sebuah konspirasi jahat yang ingin merongrong kewibawaan orang dan membunuh karakter seseorang. Teuku Syaiful Achmad sudah mengundurkan diri dari jabatannya, hendaknya semua orang memahami hal ini dengan cara tidak melakukan fitnah yang merusak kehormatan dan nama baik seseorang.”(nas)

SUMBER: http://www.serambinews.com/news/view/27736/kuasa-hukum-klarifikasi-laporan-korupsi-di-bpks

Kamis, Maret 25, 2010

Korban Rakit Lamno Bisa Tuntut Pemerintah

BANDA ACEH - Kasus terbalik rakit Alue Mie di aliran Krueng Lambeusoe, Kecamatan Jaya (Lamno), Kabupaten Aceh Jaya yang menyebabkan tiga tewas mendapat perhatian praktisi hukum di daerah ini. J Kamal Farza dari Farza Lawfirm yang berkantor pusat di Banda Aceh menyatakan pihak korban bisa menuntut Pemerintah Aceh baik secara gugatan perwakilan (class action) maupun gugatan perdata.

J Kamal Farza dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Selasa (23/3) sependapat dengan penilaian banyak pihak bahwa kasus itu memilukan sekaligus memalukan. Secara hukum, kasus itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah. “Untuk menghindari politisasi kasus secara berkepanjangan, warga dan korban bisa menuntut pemerintah secara hukum,” tandas Kamal.

Dijelaskannya, menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2002, gugatan class action dapat diajukan apabila jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan. Yang paling penting, kata Kamal, ada kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya. “Jika penggugatnya sedikit, mungkin bisa menempuh upaya hukum biasa, yakni gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah,” tulis Kamal sambil menyebutkan pihaknya bersedia jadi pengacara korban untuk menuntut pemerintah.

Dalam kasus tenggelamnya rakit di Lamno, menurut Kamal, yang menjadi peristiwa hukumnya adalah tenggelamnya rakit, di mana dalam peristiwa tersebut menyebabkan sejumlah orang meninggal. Walau secara pidana pihak penyelenggara rakit bisa diajukan ke meja hijau oleh jaksa, tetapi itu tak mengurangi hak korban untuk menuntut pemerintah, karena telah melakukan pembiaran rakit itu beroperasi dalam jangka waktu yang lama, tanpa berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menyiapkan infrastrukur jembatan yang memadai demi kelancaran sarana transportasi. “Bahkan, setelah warga berinisiatif membangun rakit pun, tak ada bantuan pemerintah agar rakitnya layak dan memenuhi standar kelayakan,” demikian Kamal Farza.

Seperti diketahui, pada Minggu (21/3), sekitar pukul 15.00 WIB, rakit Alue Mie, salah satu rakit penyeberangan di aliran Krueng Lambeusoe, Kecamatan Jaya (Lamno), yang sedang menyeberangkan lebih 40 orang anggota rombongan pengantin laki-laki (linto) terbalik menyebabkan tiga orang meninggal dunia dan sejumlah lainnya sempat dirawat di puskesmas. Ketiga korban tewas akibat musibah rakit Alue Mie masing-masing Safrizal (40) warga Lammee, Nurdin (45) warga Meunasah Weh, dan Aminah (30) warga Pante Keutapang.

Rakit yang musibah itu merupakan rakit desa yang beroperasi di aliran Krueng Lambeusoe menghubungkan Desa Alue Mie dengan Teumareum. Lebar sungai tersebut sekitar 120 meter dengan kedalaman lebih kurang empat meter. Jika dari Banda Aceh, rakit Alue Mie berada pada posisi ketiga setelah rakit Babah Dua (yang dikenal dengan rakit Honda) dan rakit utama di Lambeusoe yang menyeberangkan mobil.

Berbeda dengan dua rakit lainnya, rakit Alue Mie tidak menggunakan mesin tetapi ditarik dengan tenaga manusia yang bertumpu pada rentangan kabel sling di atas aliran sungai. Rakit itu dikhususkan untuk menyeberangkan orang termasuk pengguna sepeda motor dengan kapasitas terbatas.(nas)

SUMBER: http://www.serambinews.com/news/view/26901/korban-rakit-lamno-bisa-tuntut-pemerintah