Rabu, Desember 24, 2008

Kalau Negara yang Utang, Mana Tanggung Jawabnya?

Author: Hukum Online http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20012&cl=Berita

Menkeu dan Gubernur BI digugat oleh ahli waris pemegang surat pengakuan utang negara tahun 1946. Para ahli waris gundah lantaran pemerintah tak kunjung membayar utang sebesar Rp300 plus bunga 4% kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Menkeu berdalih perkara itu sudah kadaluarsa.

Gara-gara punya utang 300 perak, Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Indonesia (BI) harus berurusan di pengadilan. Keduanya digugat oleh nasabah pemegang surat pengakuan utang negara (sekarang semacam Obligasi Ritel Indonesia -ORI). 

 Adalah Artip dan Arsih, suami istri asal Banten yang menggugat kedua pejabat negara itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Artip dan Arsih memang sudah meninggal, tapi kelima anaknya yang kini memperkarakan kasus utang piutang ini. Mereka adalah Apsah, Arpinah, Sarnah, Omo Sumarmo, dan Hadijah. Kelimanya gundah lantaran tagihan piutang milik orang tuanya kepada pemerintah tak kunjung dibayar.

Kejadian itu sendiri sudah sangat lama. Tepatnya 62 tahun silam. Kala itu, di bulan Mei 1946 atau menjelang satu tahun Indonesia merdeka, pemerintah pimpinan Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional 1946. Ketika itu pemerintah berniat melakukan pembangunan terutama di bidang pertahanan, ekonomi dan sosial. Namun, terjadi krisis multi dimensi. Pemerintah pun tidak punya dana untuk menggerakan roda pemerintahan. Penerimaan negara tidak mencukupi untuk biaya pembangunan. Karena itu pemerintah mengadakan pinjaman dalam negeri atas tanggungan negara. 

Artip selaku pangreh peraja (demang) di kawasan Banten saat itu tergerak untuk membantu pemerintah. Ia pun menjual kerbau peliharaannya dan barang-barang dagangannya untuk menyumbang negara. Dalam gugatan ahli warisnya disebutkan, Artip tercatat membeli pinjaman nasional 1946 sebanyak tiga kupon. Setiap kupon bernilai f100 atau setara dengan Rp100, dengan bunga pinjaman sebesar 4%. Kupon tersebut tercatat dalam Resipis Oentoek Soerat Pengakoean Oetang pada tanggal 1 Mei 1946 No. A. 92756 yang ditandatangani oleh Soerachman, Menkeu waktu itu. 

Rencananya pemerintah akan mengembalikan pinjaman itu plus bunganya delapan tahun mendatang. Upaya itu ditandai dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 1954 tentang Pembayaran kembali Pinjaman Nasional 1946. Pasal 3 UU itu menyatakan, Menkeu diberi kuasa untuk melunasi pinjaman nasional 1946 selambat-lambatnya dalam waktu lima tahun anggaran terhitung sejak 1954. Dengan catatan 5% utang akan dibayar sekaligus, sedang sisanya akan diatur oleh Menkeu.

 

Tak lama berselang muncul Keputusan Menkeu tanggal 1 Agustus 1955 tentang Pelaksanaan Pembayaran. Setahun kemudian, tepatnya 6 Agustus 1956, Menkeu kembali mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang perpanjangan batas waktu pendaftaran kembali pinjaman nasional 1946. 

Ternyata Artip tidak mengetahui adanya peraturan-peraturan tersebut. Karena tempat tinggalnya yang berada di pelosok Banten, Artip praktis tidak mengetahui adanya informasi dari Jakarta soal pengembalian pinjaman dari pemerintah itu. Boro-boro informasi soal utang, pergantian jajaran kabinet pun mungkin Artip juga tidak tahu.

Hingga akhir hayatnya Artip tidak berhasil mencairkan piutangnya kepada negara. Anak-anaknya pun tidak berdaya untuk menagih haknya selaku ahli waris. Mereka tidak memiliki biaya untuk menempuh jalur hukum. Apalagi jenjang pendidikan anak-anaknya yang tidak tamat SMP, membuat mereka tidak “melek” hukum. 

Tanpa disengaja, di pertengahan 2008, salah satu anak Artip curhat kepada seorang pengusaha kripik nangka. Namanya M. Ramli. Ternyata selain juragan kripik, Ramli juga berprofesi sebagai advokat yang berkantor di Kota Batu, Jawa Timur. Kebetulan anak Artip itu bekerja sebagai sales pada usaha sampingan Ramli tersebut. Mendengar cerita yang dialami keluarganya, Ramli tergugah untuk membantunya. “Kalau kita yang punya utang, negara bisa melakukan apa saja untuk menagih, seperti menyita harta. Kalau negara yang utang mana tanggung jawabnya?” ujar Ramli.

 Sudah kadaluarsa

Ramli lantas mencari keabsahan dari surat pengakuan utang yang masih dipegang oleh ahli waris Artip. Setelah dicek di Balai Perpustakaan Nasional, ternyata tanda tangan Menkeu yang ada dalam surat itu sesuai dengan tanda tangan Menkeu Soerachman. Yakin dengan keabsahan bukti tersebut, Ramli lantas menawarkan diri sebagai kuasa hukum ahli waris, meskipun dilakoni secara pro bono. Ia lalu menyurati surat penagihan ke Menkeu. 

Dalam surat balasannya, Menkeu menyatakan penagihan sudah kadaluarsa. Sebab sejak 1954 pemerintah telah mengumumkan pembayaran utang lewat UU 26/1954 dan Keputusan Menkeu. Hal senada juga disampaikan Menkeu dalam jawaban atas gugatan ahli waris Artip. 

Meski ditolak, Ramli dan anak-anak Artip tidak patah arang. Menurut Ramli, surat itu justru memperkuat keabsahan tagihan atas piutang Artip. “Berarti Menkeu mengakui adanya tagihan,” katanya. 

Menurut Ramli, UU 26/1954 dan peraturan pelaksanaannya tidak pro kepada masyarakat. “Pada waktu itu kan orang tidak bisa membaca dan menulis, jadi tidak tahu soal pengumuman itu,” jelasnya. Ia menuturkan seharusnya pemerintah pro aktif mencari kreditur yang berhak atas pembayaran utang. 

Sekarang nilainya Rp1,185 miliar

Berbekal keyakinan itu, pada 19 Agutus 2008 lalu, Ramli mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Menkeu dan Gubernur BI ke PN Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, kuasa hukum penggugat menampik dalih Menkeu. Menurut mereka, utang piutang tidak mengenal kadaluarsa. “Menkeu tetap harus membayar utang. Lantaran utang tidak dibayar, ahli waris Artip tidak saja mengalami kerugian ekonomis, secara moril mereka juga dirugikan. Mereka tidak bisa mengenyam pendidikan karena tidak ada biaya. Penggugat menuntut ganti rugi moril sebesar Rp10 miliar,” papar Ramli. 

Perhitungan kerugian ekonomis diperkirakan sebesar Rp1,185 miliar dengan asumsi bahwa harga emas pada tahun 1946 sebesar Rp2 per gram. Uang Rp100 berarti setara dengan 50 gram emas. Jika di konversi dengan nilai emas sekarang yaitu Rp250 ribu per gram, maka 50 gram emas nilainya menjadi Rp12,5 juta. Jika ditambah bunga 4%, jumlahnya mencapai Rp384,5 juta. Berhubung, Artip memiliki tiga kupon obligasi maka total keseluruhannya adalah Rp1,185 miliar. Nilai itulah yang harus dibayar Menkeu. 

Sedangkan Gubernur BI selaku pemegang kas pemerintah (Tergugat II) –sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI– dituntut mencairkan dana tersebut.

 Setelah tidak menemui titik temu pada mediasi, kasus ini kemudian berlanjut ke tahap jawaban dari Tergugat. Dalam sidang lanjutan, Rabu (27/8), Gubernur BI selaku tergugat II, melalui kuasa hukumnya dari Direktorat Hukum BI, membantah telah melakukan perbuatan melawan hukum. Alasannya, tidak ada ketentuan yang mewajibkan BI untuk melakukan pembayaran atas nama Menkeu. “BI tidak bisa mencairkan kas pemerintah tanpa perintah Menkeu,” demikian salah satu petikan jawaban dari gubernur bank sentral tersebut. 

Hingga kini, BI juga tidak pernah menerima perintah dan sarana penarikan rekening giro milik pemerintah. Karena itu BI tidak mungkin dan tidak berkewajiban melakukan pendebetan rekening pemerintah. Dengan dalih itu, kuasa hukum BI meminta agar majelis hakim menolak gugatan. 

(Mon)

Senin, November 10, 2008

Kepada Ridwan H. Mukhtar

Mengenang 100 hari kawan ketua Alm. Ridwan H Mukhtar
Info AcaraJenis: Pertemuan - Pertemuan Informal
Jaringan: Global

Waktu dan TempatTanggal: 12 November 2008
Waktu: 19:30 - 22:00
Tempat: Episentrum Ulee Kareng
Nama Jalan: JL. Lamreung no 20 Banda Aceh
Kota/Daerah: Banda Aceh, Indonesia
Lihat peta


Info KontakTelepon: 628126997198



Lelaki penuh kejutan

Yang hidup dengan kekuatan jiwa dan tulisan

Dikirim melalui getar-getar angin yang bergelombang dan bermagnet

Sehingga jelas bumi tempatnya berpijak seolah ada di depan mata


Ia mengobarkan semangat

Layaknya kisah yang ia tulis dalam Hikayat Tari Guel

Itulah yang membuatnya hidup dan terus ada

Meliuk-liuk bagai gerak tarian dalam hikayat tersebut

Mengirim percakapan-percakapan magis

Yang terus terngiang-ngiang dalam keterkejutanku, ketidak percayaan

Membuatku ingin kembali ke sore itu, saat ia mengenalkan putri kecilnya

Namanya Azizah, katanya waktu itu


Sungguh, ini perdebatan batin yang luar biasa

Ketika semalam aku masih mengenangnya

Sore ini ada pesan yang meliuk-liuk dari lelaki penuh kejutan


5 – 10 Agustus 2008

pernah dimuat di Harian Aceh Independen, http://ihansunrise.blogspot.com/2008/09/kepada-ridwan-h-mukhtar.html

Selasa, Oktober 28, 2008

Roy Suryo Diadukan ke Polisi


Senin, 27 Oktober 2008 | 19:45 WIB

BANDA ACEH, SENIN - Pakar telematika dan calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat KRMT Roy Suryo Notodiprojo, Senin (27/10) petang, dilaporkan ke Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam atas kasus pencemaran nama baik. Roy Suryo dilaporkan oleh kuasa hukum Bupati Aceh Barat Daya, Akmal Ibrahim, karena dinilai telah memberikan penjelasan di luar kapasitasnya sebagai seorang ahli telematika.

Kuasa hukum Akmal Ibrahim, T Kamal Farza, ditemui di markas Polda NAD, Senin petang, menyatakan, kliennya merasa telah dicemarkan nama baiknya karena Roy Suryo berbicara berdasarkan fakta-fakta yang sumir. Dalam rilis yang diterima dari pengacara tersebut, dinyatakan, Roy Suryo mengaku bahwa perempuan yang bersama dengan Akmal Ibrahim bukan merupakan istri pelapor. Pernyataan Roy, kata Kamal Farza, didasarkan atas dua foto pembanding yang dimiliki Roy Suryo.

Menurut Kamal Farza, Roy Suryo telah melakukan penyederhanaan masalah dan langsung pada kesimpulan akhir yang sangat merugikan kliennya sebagai pejabat publik di Aceh Barat Daya. Di samping itu, Kamal Farza juga menilai, seharusnya analisis Roy hanya sebatas pada asli atau tidaknya foto yang beredar tersebut. Bukan pada benar atau tidaknya perempuan yang berada pada foto tersebut.

Kasus foto ini mencuat sejak beberapa waktu lalu. Dalam foto yang sudah beredar luas di masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, Akmal Ibrahim, yang merupakan mantan wartawan salah satu koran lokal di Aceh, berpose mesra dengan seorang perempuan. Akmal sendiri, salam salah satu layanan pesan singkatnya menyatakan, perempuan yang ada dalam foto tersebut adalah istrinya, Ida.

Mahdi Muhammad

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/27/19451254/Roy.Suryo.Diadukan.ke.Polisi

Rabu, Oktober 08, 2008

PENGUMUMAN DAN FORMULIR UJIAN PROFESI ADVOKAT 2008

PENGUMUMAN DAN FORMULIR UJIAN PROFESI ADVOKAT 2008

Info detail, dapat diakses via: http://www.peradi.or.id/in/detail.viewer.php?catid=03736f5707c15402e6a9d091c99ccbf0&cgyid=3dfb4c55b245a8366c6d5a32b7bdf784

Minggu, September 28, 2008



SETIAP KITA PERNAH
SALAH, KHILAF DAN LUPA.
SETIAP KITA PERNAH
BERBUAT DOSA!

SADAR AKAN HAL ITU,
DI HARI YANG FITRI INI:

PIMPINAN, STAF &
SELURUH KARYAWAN
FARZA LAWFIRM
MENGUCAPKAN
SELAMAT IDIL FITRI 1429H
MOHON MAAF
LAHIR DAN BATIN.


--------
KAMI LIBUR DAN KANTOR KAMI TUTUP 27 SEPT 2008 DAN BUKA KEMBALI 6 OKT 2008.

Rabu, September 24, 2008

DIBUTUHKAN LAWYER DAN MANAJER


FARZA LAWFIRM, BANDA ACEH
Firma hukum terkemuka di Banda Aceh, membutuhkan tenaga professional untuk posisi:

Lawyer (2 Orang) Kualifikasi:
1. Usia maksimal 35 tahun
2. Pendidikan minimal S1 hukum dan memiliki izin Advokat/Pengacara
3. Pengalaman min. 2 tahun prioritas dalam hukum bisnis, corporate lawyer, kontrak dan perburuhan.
4. Terbiasa menangani perusahaan/lembaga dan mampu bekerja di bawah tekanan
5. Diutamakan menguasai bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan
6. Mampu mengoperasikan Mocrosoft Office dengan baik, biasa menggunakan email.
7. Mampu bekerja keras, jujur, bermotivasi tinggi dan bekerjasama dengan tim
8. Bersedia bekerja overtime, dibawah tekanan, dan melaksanakan perjalanan dinas ke luar kota.

Manajer Operasional (1 Orang) Kualifikasi:
1. Perempuan, umur max. 27 tahun
2. Punya kemampuan manajerial, mampu bekerja di bawah tekanan
3. Single / belum menikah
4. Pendidikan min. D3 Sekretaris/Administrasi/AKuntansi/Manajemen;
5. Dapat mengoperasikan computer
6. Dapat melakukan korespondensi surat menyurat, biasa menggunakan email
7. Dapat berbahasa Inggris lisan dan tulisan.
8. Dapat berkomunikasi dengan baik
9. Bersih, sehat dan berpenampilan menarik.

Kirim aplikasi dan lamaran (Curriculum Vitae dan pasphoto) paling lambat sebelum 30 Oktober 2008 ke info@farzalawfirm.com Pelamar yang memenuhi syarat akan dihubungi via telepon dan email.

--------------------
FARZA LAWFIRM
Lambhuk Town Square #4
Jl. Panglima Nyak Makam,
Banda Aceh 23125
Tel. (0651) 33969, Fax 32969
www.farzalawfirm.com
--------------------

Sabtu, September 20, 2008

DEKLARASI PENDIRIAN PERADI




PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA
(INDONESIAN ADVOCATES ASSOCIATION)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Dengan semangat untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat yang bebas dan mandiri dalam menjalankan segala kewenangan dan tugas yang ditentukan oleh UndangUndang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ("Undang-Undang Advokat"), kami yang bertanda tangan di bawah ini mewakili para Advokat Indonesia yang bergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), dengan ini menyatakan sepakat mendirikan Organisasi Advokat Indonesia dengan nama PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Advokat.

Hal-hal lain yang berkenaan dengan susunan, tugas dan wewenang PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA akan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.


Jakarta, 21 Desember 2004

Ikatan Advokat Indonesia,

Otto Hasibuan. S.H., M.M.
Ketua Umum

DR. H. Teguh Samudera. S.H., M.H.
Sekretaris Jenderal


Asosiasi Advokat Indonesia,
Denny Kailimang, S.H., M.H.
Ketua Umum

Teddy Soemantry, S.H.
Sekretaris Jenderal

Ikatan Penasihat Hukum Indonesia,
H. Indra Sahnun Lubis, S.H.
Ketua Umum

H.M. Luthfie Hakim, S.H.
Sekretaris Jenderal

Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia,
Drs. J. B. Haryanto, S.H., M.B.A.
Ketua Umum

Hj. Elza Syarief, S.H., M.H.
Sekretaris Jenderal

Serikat Pengacara Indonesia,
Trimedya Panjaitan. S.H.
Ketua Umum

Sugeng Teguh Santoso, S.H.
Sekretaris Jenderal

Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia,
Fred B.G. Tumbuan, S.H., L.Ph.
Sekretaris/Caretaker
Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.
Ketua Bendahara/Caretaker Ketua

Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal,
Soemarjono S.. S.H.
Ketua Umum

Harry Ponto, S.H., LL.M.
Sekretaris Jenderal

Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia,

Drs. Taufik, CH.. M.H.
Ketua Umum

Drs. Nur Khoirin Yd., M.Ag.
Sekretaris Jenderal

Kebebasan Pers dalam Perspektif Pidana Ditinjau dari RUU KUHP



Oleh: Frans Hendra Winarta

Transformasi Indonesia ke dalam suatu sistem bernegara yang lebih demokratis telah banyak membuahkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan rakyat Indonesia. Adapun, perubahan-perubahan tersebut bukan berarti tanpa ada pergesekan antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru, yang kadang kala tereskalasi menjadi suatu masalah sosial dan hukum. Namun bagaimanapun juga halangan dan masalah yang terjadi dalam proses perubahan biarlah tetap menjadi suatu bagian dari proses alamiah perjalanan suatu sistem bernegara menuju ke arah yang lebih baik.
Berbicara mengenai perubahan dalam dunia pers menjadi suatu hal yang pada saat ini berada dalam suatu persimpangan dan dikotomi, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni sebagaimana di negara-negara industri atau barat, ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan hukum, yang dalam hal ini adalah batasan hukum pidana. Belum lama ini, kasus Tempo vs Tommy Winata telah mengguncang dunia pers Indonesia, dimana wartawan telah diputus bersalah oleh Pengadilan karena pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Fakta tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat dipidana ketika ia menjalankan profesinya? Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari hukum pidana ketika ia menjalankan profesinya? Hal tersebut menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelaah karena hal tersebut merupakan bagian dari “masalah” transformasi Indonesia menuju negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hukum.


Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawananya. Hal ini penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman, sebagaimana pada masa Orde Baru berkuasa dengan istilah self-censorship.


Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia.


Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh undang-undang. Justru, konsep berpikir yang harus dikembangkan adalah perangkat perundang-undangan tersebut dibuat dan diberlakukan dengan tujuan untuk membentuk pers yang seimbang, transparan dan profesional.
Bagaimanapun juga harus diakui bahwa pers di Indonesia belum seluruhnya telah menerapkan suatu kualitas pers yang profesional dan bertanggung jawab dalam membuat pemberitaan. Hal ini patut diwaspadai mengingat belum seluruhnya rakyat Indonesia memiliki pendidikan dan tingkat intelegensia yang memadai. Jika, pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik. Oleh karena itu kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab.


Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana.


Contohnya adalah, berita Newsweek tentang pelecehan Qur’an di Guantanamo yang ternyata merupakan kesalahan nara sumber dan Newsweek meminta maaf atas kesalahan tersebut dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam pemberitaan. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (“UU Pers”) sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawab dan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah. Hal inilah yang sebenarnya yang untuk sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namun dalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah adalah UU Pers yang tidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yang dapat timbul dalam pemberitaan pers.


UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan. Apakah itu pemimpin redaksi atau wartawan? UU pers tidak mengatur secara jelas. Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.


Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak bagi proses demokratisasi suatu negara. Hanya saja, kebebasan tersebut bukanlah kebabasan yang mutlak dan tanpa batas. Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai media penghinaan, fitnah, dan penghasutan diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk mengekang kebebasan pers namun membuat pers Indonesia menjadi lebih profesional dan bertanggung jawab serta menghormati hukum dan hak asasi manusia seusai dengan perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu:
1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan;
3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.


Jika melihat dari sudut pandang rancangan undang-undang KUHP (“RUU KUHP”) yang baru saat ini, maka Pasal 511 sampai dengan Pasal 515 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan Pers.
Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. setiap orang;
2. dengan lisan;
3. menghina menyerang;
4. kehormatan atau nama baik orang lain;
5. menuduhkan suatu hal;
6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.


Untuk Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-). Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum. Dengan demikian jika tindak pidana penghinaan dilakukan melalui pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 511 Ayat (3) RUU KUHP diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) dan (2) RUU KUHP, yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Untuk Pasal 511 Ayat (2) RUU kUHP ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-).
Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 512 RUU KUHP. Tindak pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak pidana penghinaan baik yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) maupun Ayat (2) RUU KUHP. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP.


Untuk tindak pidana fitnah (Pasal 512 RUU KUHP) ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Kategori III (Rp. 30.000.000,-) dan paling banyak Kategori IV (Rp.75.000.000,-). Dengan demikian RUU KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP, dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang dilakukan tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal:
1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri;
2. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan tugas jabatannya.


Selanjutnya Pasal 513 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf bagi pelaku penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si pelaku tersebut terbukti kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka, si pelaku tidak dapat dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku juga terhadap tindak pidana fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam hal ini benar-benar diperlukan hakim atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan memahami seluk-beluk penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan fitnah.


Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan terdakwa penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim memutuskan untuk membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut (Pasal 513 Ayat 3 RUU KUHP) yang dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis (termasuk media pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian kebenaran tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan. Hal tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah.


Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah merupakan delik aduan (Pasal 518 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana penghinaan dan fitnah tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang yang berhak mengadu, kecuali jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (Pasal 515 RUU KUHP).


Berdasarkan pemaparan diatas dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam mengemukakan berita tetap dijaga, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi dalam pers tidak dimungkinkan. Dalam hal media pers telah menjadi alat untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja oknum tersebut harus dapat dipidana. Jadi bukan pers sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi tetapi pelaku, oknum yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan pers untuk kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan dikriminalisasi. Jadi yang diadili adalah si pelaku dan bukan pers.


Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui media pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat opzet atau kesengajaan pelaku untuk melakukan tindak pidana, dan juga adanya schuld atau kesalahan dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang dipidana.


Harus diakui bahwa belum semua pers Indonesia dikelola secara profesional dan mampu melakukan pemberitaan yang bertanggung jawab, banyak perusahaan pers yang mengeluarkan berita-berita gosip dan pernyataan-pernyataan yang tidak benar atau bias. Di lihat dari sisi lain kepentingan masyarakat, tentu saja pers yang tidak berkualitas akan sangat merugikan karena tidak mendidik masyarakat dan sebagai pembentuk opini publik, pers akan sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang memiliki tujuan-tujuan yang melanggar hukum.


Oleh karena itu jika dipandang dari sudut pandang hukum pidana khususnya dalam RUU KUHP, hukum secara seimbang telah mengatur antara kebebasan pers dan pertanggung jawaban isi dari beritanya, dan perlu diingat bahwa pasal-pasal penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai tindak pidana penghinaan dan fitnah secara umum (general) jadi tidak hanya mengacu pada pemberitaan pers saja. Justru dengan adanya pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah dalam RUU KUHP maka pers Indonesia didorong untuk menjadi lebih profesional dan lebih bertanggung jawab dalam menerbitkan pemberitaan. Hal tersebut karena pers selain mempunyai tugas untuk memberikan informasi secara terbuka dan transparan terhadap masyarakat, pers juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan untuk menjaga opini publik, yang rentan terhadap situasi sosial politik di negara seperti Indonesia.


Akan tetapi ada yang perlu dikritisi dalam pasal-pasal mengenai penghinaan dan fitnah RUU KUHP yaitu mengenai pembuktian akan kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah yang didasarkan atas kepentingan umum atau pembelaan diri. Berdasarkan Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP pembuktian kebenaran tuduhan yang dibuat oleh terdakwa penghinaan atau fitnah sepenuhnya tergantung pada keputusan hakim, sedangkan seharusnya pembuktian mengenai apa yang dituduhkan sebagai penghinaan atau fitnah harus dilakukan tanpa kecuali karena hal tersebut merupakan bukti apakah si terdakwa benar melakukan tindak pidana atau tidak.


Hal lain yang perlu dikritisi adalah tidak efisiennya persidangan, karena sidang pembuktian akan kebenaran tuduhan fitnah atau penghinaan pasti akan memakan waktu yang lama sehingga asas peradilan yang cepat, dan biaya murah sulit untuk diterapkan dalam kasus penghinaan dan fitnah.
Sebagai penutup, kebebasan pers merupakan hal yang mutlak untuk dijaga dan dijamin secara hukum. Namun demikian pers sebagai bagian dari demokrasi harus memiliki profesionalisme dan tanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu hukum berada ditengah masyarakat guna untuk menciptakan keseimbangan antara demokrasi, kebebasan, dan tanggung jawab. Pers tidak kebal hukum tetapi kebebasan pers tidak pernah terancam karena kebebasan pers bukan merupakan kejahatan.




Sumber: Komisi Hukum Nasional dan http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/hukum/hukum2.htm

Rabu, September 10, 2008

RISDIANA, S.Pd.I


Dian, begitu alumnus Bahasa Inggris IAIN Ar-Raniry (2007) ini disapa. Lahir di Meulaboh 14 Maret 1985, Dian besar di 3 Kota, Meulaboh, Langsa dan Banda Aceh. Sebelum bergabung sebagai Sekretaris di Farza Lawfirm, Dian bekerja sebagai dosen Universitas Teuku Umar Meulaboh. Gadis yang jago cas cis cus, ini juga mengajar di beberapa kursus Bahasa Inggris mulai tahun 2001.

Pernah menjadi penyiar Radio Flamboyan 105,2 FM Banda Aceh (2002-2004), Guru Relawan Solidaritas Anak Bangsa (SAB) dan sekretaris dan Admin konsultan Arkonon Engineering Manggala Pratama.

Dian bisa dihubungi lewat email: dian@farzalawfirm.com.***

Selasa, September 09, 2008

CUT SALWA ZUBAIRA ALMUDJAHID, S.H



Lahir di Lhokseumawe, 17 Februari 1979, menyelesaikan pada bidang studi keperdataan Kuala Fakultas Hukum Unsyiah (2002). Sejumlah pendidikan pendek diikuti Salwa, antara lain Pelatihan Akuntansi, Pelatihan Program Pemberdayaan Koperasi dan UKM, pelatihan manajemen koperasi Aceh International Society of Microfinance.

Sebelum bergabung dengan Farza Lawfirm, Salwa pernah bekerja sebagai sebagai sekretaris dan instruktur bahasa Inggris di AL-Fath, staf administrasi di Institute Teknologi Terapan, Banda Aceh, staf MOESLIM AID CENTER, dan legal advisor di CV. Bara Sakti, Samarinda, Kalimantan Timur. Menjadi manager di Koperasi Terpadu Aneuk Nanggroe, Peureulak, Aceh Timur dan konsultan pendamping PT. Bennatin Surya Cipta, Banda Aceh. Salwa juga pernah menjadi pendamping lapangan Monitoring dan Evaluasi Deputi Pengembangan Ekonomi dan Usaha BRR NAD-Nias dan Inspektor Satuan Pengawasan danAnti Korupsi (SPAK) Project Management Unit (PMU) Aceh Micro Finance Center.

Ia berpengalaman menangani masalah keperdataan, terutama berkenaan dengan hukum perbankan dan keuangan. Menghubungi Cut Salwa Zubaira, kirim email ke: salwazubaira@farzalawfirm.com ***

EDDY SYAHPUTRA


Lahir di Idi, 03 Juli 1981. Usianya sebagian besar dihabiskan sebagai pekerja kemanusiaan. Tahun 1998, anak muda Eddi menjadi pengelola Childrens Newsletter “Suara Anak Bangsa, lalu jadi Volunteer KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu, 2000), dan volunteer KIPD (Komite Independent Pengembangan Demokrasi, 2001). Ia juga pernah menjadi staf dokumentasi PT. Regina, dan Anak Bangsa Foundation (2002-2006), antaralain sebagai staf lapangan, Program Coordinator dan manager.

Puluhan pendidikan singkat sudah dijalanani Eddy, baik di Aceh, Medan, Jakarta dan Yogyakarta. Sebelum bergabung menjadi staf database dan komunikasi di Farza Lawfirm, ia sempat “mondok” di BRR NAD-Nias sebagai fasilitator Community.

Eddy bisa dihubungi di eddiputra@farzalawfirm.com***

SAFARIAH, SH


Safariah lahir di Lhokseumawe, 15 Agustus 1972. Ibu dua anak ini menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya, dan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (lulus1997).

Sejumlah posisi pernah dipegang Ibu Vaiz, antaralain staf admin PT. Tirta Mekatama Indomandiri dan kepala bagian hukum dan humas PT. Berkat Usaha Geutanyoe Banda Aceh. Sebelum berbagung dengan Farza Lawfirm, ia menjadi konsultan di Law Office Syahruzar Yusuf & Associates, Medan.

Kontak Ibu Vaiz di: safariah@farzalawfirm.com***

KAMARUDIN AMIN, SH.


Kamarudin menjalani pekerjaan dengan banyak bidang. Sejak lulus Fakultas Hukum Unsyiah 1999, ayah dua putrid kelahiran Banda Aceh 15 Januari 1973, pernah menjadi fasilitator refuji pada Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI), yang tugasnya antara lain mengadvokasi refuji terutama yang butuh pembelaan. Ia juga pernah menjadi fasilitator Program Pengembangan Kecamatan (PPK) World Bank, dan sekretaris Unit Penanganan Keluhan (UPK) BRR NAD-Nias.

Mantan Wakil Sekretaris Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah ini, menjalani sejumlah pendidikan pendek, antaralain Basic Leadership Training HMI, Banda Aceh, 1996, kursus kepempinan, kursus jurnalistik, dan training penguatan anak-anak jalanan. Dia juga pernah menjadi fasilitator untuk Program Makmu Gampong Kareuna Dame (MGKD) dengan IOM Lhoksemawe.

Kamarudin bisa dikontak via: kamarudin@farzalawfirm.com***

ALAMAT-ALAMAT ORGANISASI HUKUM

PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA (PERADI)
Plaza Kebon Sirih, Lantai 2 Fl., P2-14
Jl. Kebon Sirih No. 17-19
Jakarta 10340 – Indonesia
T : + 62 21 391 5584
F : + 62 21 392 7944
E : info@peradi.or.id

ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)
Menara Kuningan Lt. 2 / J-K
Jl. HR. Rasuna Said Blok X-7 Kav. 5
Jakarta Selatan 12940
T : (6221) 3001 2440
F : (6221) 3001 2441
E : sekretariat@aai-dpp.com
W : www.aai-dpp.com

IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)
Alamat:
Jl. Duta Merlin Blok B No.30 Jakarta Pusat
T: (021)6331636
HIMPUNAN ADVOKAT DAN PENGACARA INDONESIA (HAPI)
Gedung Golden Centrum Jl. Majapahit
No. 26 AF Jakarta Pusat
T : (021) 3453601

IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)
Apartemen Brawijaya, Jl. Brawijaya XII No. 1 Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan
T : (021) 722 6405
F : (021) 725 4592
E : sahnun@centrin.net.id

ASOSIASI KURATOR DAN PENGURUS INDONESIA (AKPI)
HHP, The Jakarta Stock Exchange Bld. Tower II, 21 Fl.,
Sudirman BCD Jl. Jend. Sudirman Kav. 52 - 53
T : (021) 515 5090
F : (021)515 4845/50/40

IKATAN KURATOR PENGURUS INDONESIA (IKPI)
Ruko Sentra Menteng, blok MN No. 88 M
Sektor VII, Bintaro Jaya
T : (021) 7453258/ (021) 745757550
F : (021) 74863940

HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM)
D.a. ABNR, Graha Niaga Lantai. 24 jalan. Jendral.
Sudirman Kav. 58 Jakarta 12190
T : (021) 7208172
F : (021) 2505001

ASOSIASI KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (AKHKI)
Ongko Sidharta & Partners
Wisma Kyoei Prince Lantai 19 Jakarta 10220
T : (021) 5723125

IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI)
Komp. Perkantoran Roxy Mas
Blok E No32
Jl. Hasyim Ashari, Jakarta Pusat
T: 63851329
F: 63861233

SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)
Jl. Bungur Besar 18, Senen
Jakarta Pusat 10410
T : (021) 4203500
F : (021) 42870140. (021) 3511501

ASOSIASI PENGACARA SYARIAH INDONESIA (APSI)
Jl. Pertogokan I No. 34 Gandaria Utara
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
T : (021) 7201959

ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)
D.a Tumbuan Pane, Jl. Gandaria Tengah III/18
Kebayoran Baru, Jakarta 12190
T : (021) 7202516
F : (021) 7244579

PENGUMUMAN PERADI



Merujuk pada Pengumuman dari mereka yang menamakan dirinya Panitia Kongres Advokat Indonesia di Harian Kompas tanggal 12 Mei 2008, diketahui bahwa terdapat beberapa Advokat yang bermaksud menyelenggarakan Kongres Advokat dengan maksud untuk menciderai, menentang dan atau menolak eksistensi Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”). Padahal, mereka adalah anggota PERADI dan bahkan ada yang sangat aktif dalam proses pendirian PERADI dan sekarang menjadi pengurus PERADI.

Sehubungan dengan rencana penyelenggaraan Kongres Advokat tersebut, PERADI dengan ini menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan Kongres Advokat tersebut adalah tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), bahkan akan merugikan dan menafikan eksistensi sekitar 19.000 Advokat anggota PERADI, termasuk sekitar 1.500 Advokat baru yang diangkat oleh PERADI di tahun 2007.

2. PERADI didirikan pada 21 Desember 2004 oleh seluruh Advokat Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

3. Kedelapan organisasi profesi advokat tersebut yang mendapat amanat dari Pasal 32 ayat (3) UU Advokat untuk menjalankan tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebelum PERADI terbentuk. Pasal 32 ayat (4) UU Advokat mensyaratkan Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak UU Advokat diundangkan. Kenyataannya, PERADI terbentuk sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat.

4. Sebelum membentuk PERADI, seluruh Advokat Indonesia melalui organisasi masing-masing sudah melakukan musyawarah nasional, atau musyawarah nasional luar biasa, atau tindakan lainnya sesuai dengan anggaran dasar masing-masing dan memberikan mandat kepada Dewan Pimpinan Pusat mereka untuk membentuk Organisasi Advokat yang dimaksud oleh UU Advokat. Para Pimpinan delapan organisasi profesi Advokat dimaksud oleh Pasal 32 ayat (3) UU Advokat yang telah mendapat mandat tersebut kemudian bermusyawarah dan membentuk PERADI. Pembentukan PERADI tersebut kemudian juga telah dipertanggung-jawabkan oleh Para Pimpinan tersebut kepada anggota mereka di akhir masa kepengurusan masing-masing.

5. Mahkamah Konstitusi dalam halaman 57 putusannya No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 secara tegas menyatakan bahwa, “Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.”

6. Dalam halaman yang sama Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa “… organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.”

7. Dengan telah terbentuknya PERADI, tidak ada seorang Advokat pun atau kelompok Advokat manapun yang berhak menyatakan diri sebagai pelaksana UU Advokat untuk membentuk organisasi advokat yang dimaksud oleh UU Advokat.

8. PERADI telah melakukan verifikasi Advokat Indonesia dan telah mengeluarkan KARTU TANDA PENGENAL ADVOKAT (KTPA) dan Nomor Induk Advokat (NIA) bagi seluruh Advokat Indonesia. Sesuai dengan Ketentuan UU Advokat, BUKU DAFTAR ANGGOTA PERADI telah disampaikan/dilaporkan setiap tahun kepada Mahkamah Agung RI dan Menteri Hukum dan HAM RI.

9. Mahkamah Agung RI sudah menerbitkan edaran nomor 07/SEK/01/I/2007 tanggal 11 Januari 2007 tentang kewajiban penggunaan Kartu Tanda Pengenal Advokat PERADI untuk berpraktik di Pengadilan.

10. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, demi menjaga kehormatan PERADI dan kehormatan para anggota PERADI umumnya, dengan ini DIPERINGATKAN kepada seluruh anggota PERADI dan pengurus PERADI untuk tidak melaksanakan Kongres Advokat tersebut dan atau tidak berpartisipasi dalam Kongres Advokat tersebut.

11. Apabila dalam Kongres tersebut ada anggota PERADI atau pengurus PERADI yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, baik sebagai panitia atau peserta atau pemberi kuasa sebagai peserta, maka sesuai dengan Keputusan Dewan Pimpinan Nasional PERADI akan diambil tindakan tegas, termasuk melakukan pencabutan Kartu Tanda Pengenal Advokat PERADI sesuai dengan UU Advokat, Anggaran Dasar, dan Peraturan/Keputusan PERADI.

12. Musyawarah nasional Anggota PERADI sendiri, sesuai dengan Anggaran Dasar, akan dilaksanakan pada tahun 2010.

Demikian Pengumuman ini dibuat untuk dijalankan oleh Anggota PERADI, dan untuk diketahui oleh sesama Penegak Hukum (Mahkamah Agung RI, Mahkamah Konstitusi RI, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian Negara RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) serta khalayak ramai.


Jakarta, 15 Mei 2008

Hormat Kami,

Dewan Pimpinan Nasional


Ttd.


Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M.
Ketua Umum


Ttd.


Harry Ponto, S.H., LL.M.
Sekretaris Jenderal





Sumber : www.peradi.or.id

SURAT PERADI KEPADA ADVOKAT INDONESIA

Jakarta, 10 Juni 2008

Nomor: 241/PERADI/DPN/EKS/VI/08

Kepada
Yth. Rekan-rekan Advokat
di seluruh Indonesia

Perihal: Hasil Pertemuan PERADI dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Dengan hormat,

Baru-baru ini, pada Rabu 4 Juni 2008, Dewan Pimpinan Nasional (“DPN”) Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”) bertemu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden. Mendampingi Ketua Umum, hadir beberapa orang Pengurus DPN PERADI lainnya, diantaranya Denny Kailimang dan Fred B.G. Tumbuan, keduanya adalah Ketua PERADI, Wakil Sekretaris Jenderal Hasanuddin Nasution dan Hoesein Wiriadinata, Bendahara Umum M. Lufthie Hakim, serta Wakil Bendahara Umum Julius Rizaldi dan Sugeng Teguh Santoso.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata. Pertemuan antara PERADI dengan Presiden Yudhoyono dimulai sekitar pukul 14.00 wib dan berlangsung selama kurang lebih dua jam.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden menyampaikan sejumlah pernyataan penting yang semakin menegaskan kedudukan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). Pernyataan-pernyataan Presiden Yudhoyono tersebut antara lain sebagai berikut:

1) Presiden hanya mengakui PERADI sebagai satu-satunya organisasi Advokat sesuai UU Advokat.

2) Presiden tidak akan menerima kedatangan organisasi Advokat selain PERADI, kecuali bila selaku pribadi atau profesi Advokat.

3) Presiden meminta Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti kalau ada fasilitas yang perlu disediakan bagi PERADI selaku salah satu pilar penegak hukum di Indonesia.

4) Ketidakhadiran Presiden dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI) diputuskan setelah menerima masukan dari Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Kabinet, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, bahwa Kongres tidak sesuai dengan UU Advokat yang mensyaratkan adanya satu Organisasi Advokat.

5) PERADI diharapkan untuk tidak menurunkan standar kelulusan ujian Advokat karena standar itu terkait dengan perlunya menjaga kualitas kelulusan Advokat. Jika ada daerah yang tingkat kelulusannya rendah, PERADI diharapkan bisa membantu agar calon Advokat di daerah dimaksud dapat memenuhi standar kelulusan yang ditetapkan PERADI.

6) PERADI diharapkan juga dapat membantu pemerintah dalam pelaksanaan good governance.

7) Presiden mengharapkan agar PERADI maju terus dan tetap berusaha merangkul mereka yang ikut kongres untuk bisa kembali bergabung dengan PERADI.



Pertemuan PERADI dengan Presiden Yudhoyono tersebut adalah yang kedua kalinya. Pertemuan pertama PERADI dengan Presiden Yudhoyono di Kantor Presiden adalah pada 15 Mei 2006.

PERADI berharap penegasan serta dorongan Presiden dan pemerintah terhadap kedudukan dan perjuangan PERADI dapat semakin memacu kita semua dalam usaha meningkatkan kualitas profesi Advokat. PERADI juga berharap agar kita dapat merangkul rekan-rekan kita yang mungkin belum memahami kedudukan, serta tugas dan wewenang PERADI sebagaimana diatur dalam UU Advokat.

Akhir kata, PERADI mengajak kepada Rekan-rekan Advokat di seluruh Indonesia untuk terus aktif dalam menjalankan tugas dan profesi kita sebagai Advokat demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat luas.

Terima kasih atas perhatian dan kerja sama baik Rekan-rekan.

Hormat Kami,
Dewan Pimpinan Nasional

ttd ttd
Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. Harry Ponto, S.H., LL.M.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

Senin, September 08, 2008

PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM


Oleh: Jimly Asshiddiqie


A. CITA NEGARA HUKUM DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun¬ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon¬se um, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se-ba¬gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele¬men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu¬kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene¬rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per¬adil¬an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene¬gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa¬an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat¬kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor-mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke¬lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung¬si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial . Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese¬mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah, tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo¬nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti¬nen¬tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah¬kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di¬akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku ter¬pencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara.
Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta¬huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikan¬nya seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum ke¬pada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan pe¬negakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasya¬rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di-anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang me¬nyadari hak dan kewajibannya seca¬ra hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre¬hen¬sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen¬daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.

B. PENEGAKAN HUKUM
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng¬keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu-tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak¬sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang¬kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per¬adil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan¬nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu¬kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe¬ne¬gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso¬alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja¬bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga¬nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca¬mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti¬tusio¬na¬lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio¬na¬lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi) , (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na¬sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen¬didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang¬an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi¬naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi¬nambung¬an. Di samping itu, pem¬bi¬naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila¬kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi¬nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me¬mer¬lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me¬menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim¬pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling¬kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri-tas kepri¬badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da¬pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem¬bu¬dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega¬¬ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de¬ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis¬tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek¬nologi informasi (information technology); (b) pening¬katan Upaya Publikasi, Ko¬munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi-dang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro¬nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain¬nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me¬nge¬nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke¬mung¬kinan terjadinya si arus informasi sepihak dari peme¬rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung¬kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera-gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa¬da ma¬sya¬rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe¬ma¬sya¬¬rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem¬ba¬ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di¬perlu¬kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter¬ma¬suk me¬ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.

C. PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab , sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhada um, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

D. INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK ADVOKAT
Untuk menunjang ber¬fungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor ke¬negaraan dan pemerintahan selalu terda¬pat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organi¬sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi¬sasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perang¬kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh di¬jadikan pedoman peri-laku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen per¬aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse¬but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong¬res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber-sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha¬nya biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.

DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional And Administrative Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.

Rabu, Agustus 27, 2008

Investasi Membutuhkan Revitalisasi Peran Advokat


* Aceh Miliki Kantor Lawfirm

BANDA ACEH - Untuk menjawab dinamika hukum dan sosial yang berkembang begitu cepat dan pesat di Aceh, seiring dengan pembangunan kembali daerah ini pascatsunami dan konflik, sangat dibutuhkan revitalisasi peran advokat.

“Pembangunan kembali Aceh menyebabkan roda ekonomi dan iklim investasi semakin baik. Jasa advokat dan konsultan hukum bagi percepatan roda ekonomi dan investasi merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda,” kata Dekan Fakultas Hukum Unsyiah, Mawardi Ismail SH MHum dalam orasi ilmiahnya pada acara peresmian Kantor JK Farza Lawfirm, Banda Aceh, Senin (25/8) malam.

Menurut Mawardi, kebutuhan terhadap jasa advokat dan konsultan hukum di segala sektor semakin dirasakan, terutama oleh para pelaku bisnis dan investor yang ingin membangun Aceh. Seorang investor yang ingin menamamkan modal di Aceh, baik investasi bisnis maupun sosial dalam konteks bantuan kemanusiaan, berdasarkan pengalamannya, membutuhkan legal opinion (pendapat hukum) agar investasi mereka aman. “Di sinilah perlu peran seorang advokat,” ujarnya.

Selain itu, tambah Mawardi, para investor membutuhkan perlindungan dalam menjalankan investasinya di Aceh, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Seorang lawyer, adalah punya otoritas dan kapasitas untuk memberikan perlindungan bagi investasi dan bisnis.

Mawardi lebih jauh menyebutkan, berdasarkan pengalaman empiris dirinya selaku akademisi dan praktisi hukum. Kualitas advokat Aceh tidak kalah jika dibandingkan dengan advokat dari luar negeri dan nasional. “Yang harus dilakukan adalah, bagaimana kualitas itu ditingkatkan, diikuti dengan peningkatan capacity building, sehingga perannya lebih maju dari apa yang selama ini ada,” harapnya.

Sementara itu, J Kamal Farza (Managing Partners Farza Lawfirm) menyebutkan, kantornya dibangun adalah dengan semangat “pengabdian tanpa akhir”, sebagai wujud tanggung jawab pada keberlangsungan peradaban sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial. “Inisiasi mendirikan kantor ini tidak lain merupakan interpretasi utuh kami terhadap tanggung jawab profesi dan wujud pengabdian advokat terhadap keberlangsungan peradaban ini,” ujarnya.

“Di mana sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia kita diamanahkan untuk mengawal paradaban ini menuju masyarakat yang khusnul khatimah,” tambah Kamal Farza.

Dalam pemahaman kontekstual hari ini, menurut Kamal, advokat sebagai pilar penegakan hukum dan keadilan, sudah saatnya mengarahkan diri pada pengembangan kapasatis dan terus-menerus melakukuan evolusi diri seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat yang berkeadilan.

“Sudah saatnya para pegiat profesi advokat tampil dengan perfoma yang utama, bukan sebagai pelengkap-tradisional dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Firma Hukum Farza, merupakan kantor pertama di Aceh yang didirikan dengan strategi nonlitigasi menjadi prioritas. Biasanya, sebuah kantor advokat banyak berkiprah di dalam pengadilan, sebagai salah satu strategi dalam memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang membutuhkan pembelaan.

Kamal mengatakan, perlindungan hukum yang maksimal akan dapat dilakukan dengan sepenuhnya membangun kesadaran hukum sebagai instrumen menuju keadilan. Oleh karena itu, imbuhnya, dalam praktik perlindungan hukum, kantornya akan mengedepankan penyelesaian permasalahan hukum secara musyawarah atau alternative dispuite resolution (ADR).

“Penyelesaian lewat jalur peradilan, meskipun menjadi concern kantor ini, tetapi bukan menjadi prioritas kami. Kami akan lebih fokus pada upaya memberikan proteksi agar klien kami tidak mengalami masalah, baik dalam urusan bisnis, maupun dalam tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan,” demikian J Kamal Farza yang tidak lagi bekerja di BRR NAD-Nias. (sup)

Sumber: http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaberita&beritaid=54034&rubrik=7&kategori=1&topik=22

Sabtu, Agustus 23, 2008

UNDANGAN PERESMIAN KANTOR

Assalamualaikum Wr. Wb,

Kami mengundang Bapak/Ibu, mohon berkenan hadir pada:

PERESMIAN KANTOR FARZA LAWFIRM

SENIN, 25 Agustus 2008
Waktu: Jam 20.00 s/d 23.00
Tempat: Lambhuk Town Square #4,
Jl. Panglima Nyak Makam,
Banda Aceh

Kehadiran Bapak/Ibu merupakan kehormatan, kemuliaan & semangan kami dalam membantu penegakan hokum di bumi Aceh (khususnya) dan Indonesia (umumnya).

Terimakasih, dan salam.
FARZA LAWFIRM

Jumat, Agustus 08, 2008

SEKOLAH UNTUK CALON ADVOKAT

MAGISTER PROFESI ADVOKAT

Latar Belakang  

Meningkatnya kesadaran hukum pada masyarakat yang dibarengi dengan semakin pesatnya perkembangan dunia bisnis, dan ketatnya pembagian spesialisasi kerja, menuntut tersedianya pelayanan jasa hukum di bidang Advokasi yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah-masalah hukum (The power legal problem solving) secara profesioanal demi tegaknya keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan supremasi hukum. 

Pasal 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menentukan bahwa "Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat". Dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa : Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelaran akademik dan profesi; 

Maka Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata telah melakukan kerjasama dengan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), sebagai organisasi Advokat tertua di Indonesia, dan dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Katolik Soegijapranata No E.2/0003/Kep/2003 sejak tahun akademik 2003/2004 menyelenggarakan PENDIDIKAN PROFESI ADVOKAT (PPA), yang dapat memberikan gelaran Profesi, sebagai mana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (3) yang UU No 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa : Gelaran akademik dan profesi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi. 

Akhir-akhir ini, banyak pihak yang menyelenggarakan pendidikan profesi advokat, yang penyelenggaraannya belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sehingga hasilnya juga belum memenuhi standart dan harapan masyarakat untuk terwujudnya Advokat yang profesional. 

Guna memenuhi kualifikasi dan standartisasi, Pendidikan Profesi Advokat mulai tahun akademik 2004/2005, maka berdasarkan Surat Dirjen Dikti No. 3144/D/T/2004, Perihal Ijin Penyelenggaran Program Studi Magister Hukum (S2) pada Universitas Katolik Soegijaparanata tertanggal 12 Agustus 2004, maka pada tahun akademik 2004/2005 , Fakultas Hukum Unika Soegijapranata meningkatkan dari status Pendidikan Profesi Advokat (PPA) menjadi Program Studi Magister Hukum (S2), dengan Konsentrasi Profesi Advokat. Lulusan Program Studi Magister Hukum dengan konsentrasi Profesi Advokat, akan memperoleh ijazah Magister Hukum Profesi Advokat dengan gelar MH. Adv, sebagai gelaran dalam pendidikan akademik Strata 2 dan sertifikat Profesi Advokat sebagai syarat untuk menjadi advokat litigasi. 
 
Tujuan Program
1. Kurikulum Program Studi Magister Hukum Profesi Advokat didesain untuk menghasilkan Magister Profesi Advokat yang memiliki pengetahuan, dan ketrampilan profesional di bidang keadvokatan. 
2. Mampu mengembangkan ilmu hukum untuk mencapai derajat akademik yang lebih tinggi (tingkat doktoral). 

Kompetensi Program
Lulusan pendidikan Program Magister Professi Advokat Universitas Katolik Soegijapranata harus: 
a. mampu menguasai teknik-teknik penanganan kasus/perkara; 
b. mampu mengatur strategi penanganan kasus/perkara untuk memperoleh solusi yang logis dan realistis serta berhasil guna tinggi; 
c. mampu menanggapi berbagai perkembangan baru di bidang ilmu hukum pada khususnya dengan mengutamakan segi kemanusiaan; 
d. mampu mengkomunikasikan ide-ide/argumen-argumen baik secara lisan maupun tulisan. 
e. menjadi insan yang bermoral tinggi, jujur, mandiri, kreatif dan inovatif. 

Peserta Program
Program ini dapat diikuti oleh Sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi Hukum, seperti lulusan Fakultas Hukum, Fakultas Syariah, perguruan tinggi Hukum Militer, dan perguruan tinggi Ilmu Kepolisian, maupun bagi para purnakarya (pensiunan hakim, jaksa, polisi dan akademisi), yang berminat untuk menjadi Advokat. 
 
Gelar Akademik
Peserta Program yang dinyatakan Lulus Program ini akan memperoleh Ijazah dengan gelar akademik Magister Hukum Profesi Advokat (MH.Adv) sebagai gelaran dalam pendidikan akademik strata 2 dan Sertifikat Pendidikan Profesi Advokat sebagai pengakuan atas kompetensi yang telah dilisensi untuk dapat menjadi Profesi Advokat. 
 
Kerjasama
Guna memenuhi standart sebagai pendidikan profesi maka program ini diselenggarakan atas kerjasama dengan Dewan Pimpinan Pusat Ikadin (DPP IKADIN), yang MoU nya ditandatangani oleh Rektor UNIKA Soegijapranata dan DPP IKADIN pada tanggal 14 September 2002; dan MoU tersebut ditindaklanjuti dengan penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara Dekan Fakultas Hukum UNIKA Soegijapranata dengan DPP IKADIN, pada tanggal 13 Agustus 2003. Sebagai konsekuensi dari penandatanganan tersebut maka otomatis Magister Hukum konsentrasi Profesi Advokat mempunyai jaringan kerjasama dengan kantor-kantor Advokat yang bernaung di bawah organisasi Profesi IKADIN sebagi tempat penyaluran magang bagi para peserta didik. 
 
Struktur Organisasi
Direktur Program Pascasarjana : Dr. A. Rudyanto Soesilo, MSA
Asisten Direktur Pascasarjana : Y. Budi Sarwo, SH, MH
Ketua Program Magister Hukum : Prof. Dr. Agnes Widanti S., SH CN
Sekretaris Program Magister Hukum : Y. Endang Wahyati, SH, MH
Sekretaris Program Magister Profesi Advokat : Y. Budi Sarwo, SH, MH

Hubungi: 
 
Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur Semarang 50234
Telp 62-24-8441555 ext 115 Fax : 62-24-8415429
email : humas@unika.ac.id

Sabtu, Agustus 02, 2008

Tips Memilih Pengacara

Pengertian Pengacara dalam Bahasa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai istilah seperti pengacara, advokat atau konsultan hukum, yang saat ini memang telah banyak di Indonesia (dalam tulisan kami lebih cenderung untuk menggunakan istilah 'Pengacara'). Saat ini, masyarakat sudah tidak sukar untuk menemukan Pengacara terutama di kota besar yang banyak memiliki aktifitas bisnis. Masyarakat saat ini berjalan dan berkembang sangat aktif. Sehingga tidak jarang, masyarakat justru merasa "sangat tidak mudah' memilih Pengacara. Sebab sebenarnya, yang kita inginkan tentu bukan Pengacara yang memiliki papan nama paling mentereng, atau paling sering muncul di televisi dan media massa lainnya, yang dibutuhkan adalah Pengacara yang berkualitas dan memiliki reputasi baik serta sesuai dengan kepentingan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat umum dan/atau masyarakat bisnis lainnya. 

Sebenarnya, proses memilih Pengacara hampir sama dengan cara untuk memilih dan menentukan Dokter, Akuntan, Konsultan Arsitek dan Sipil atau para pekerja profesional lainnya. Tentu saja dalam menjamin profesionalisme dalam profesi / pekerjaan mereka, seorang Pengacara harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat/klien, agar klien bisa MEMPERCAYAI kualitas kerja dari profesi Pengacara yang mereka geluti. Hal tidak bisa dilakukan hanya dengan sambil lalu saja, dengan kata lain kita tidak bisa memilih dengan tergesa-gesa, harus tetap melalui proses dan memerlukan waktu. Hal ini memang perlu kehati-hatian dan ketelitian walau dalam hal memilih/menunjuk seorang Pengacara. Hal lain yang terpenting & perlu kita sadari adalah, kita harus yakin & percaya bahwa Pengacara yang pilih sesuai dengan kebutuhan kita. Bila tidak, kita akan kehilangan waktu berharga dan tentu saja uang, apalagi jika kita hanya menemukan "Pengacara baru" dan mesti memperkenalkan diri dari awal lagi mengenai kegiatan bisnis/usaha kita dan kebutuhan-kebutuhan hukum kita atas pelayanan jasa hukum dari seorang Pengacara. 

Tips singkat bagaimana memilih Pengacara berkualitas

Observasi atau Penjajakan. Aktifitas yang pertama harus dilakukan adalah melakukan obesrvasi atau penjajakan. Banyak sekali sumber untuk dijajaki, antara lain, diskusikan keinginan kita dengan rekan atau relasi bisnis, siapa tahu diantara mereka bisa mereferensikan Pengacara yang sudah mereka kenal dan bermutu. Periksa surat kabar lokal dan terbitan lainnya khususnya mengenai artikel atau hal yang menjadi perhatian Pengacara lokal di masyarakat setempat. Pengacara yang banyak menulis soal bisnis leasing dan franchising, belum tentu Pengacara yang memahami soal-soal bisnis sederhana dalaam bidang kehidupan lain. Hubungi asosiasi Pengacara (Ikadin, Peradin, Asosiasi Advokat Indonesia, Jakarta Pengacara's Club dan organisasi profesi Pengacara yang ada di lokasi masyarakat setempat ). Bicarakan dengan masyarakat Pekerja / Profesional lainnya seperti Akuntan, Agen Asuransi dan Bankir Masyarakat, sebab setiap profesi sangat terkait erat dengan bidang profesi lainnya, dan tidak tertutup kemungkinan mereka pernah atau sering bekerja sama dalam suatu proyek atau tugas tertentu. Carilah website atau homepage yang memuat alamat Kantor Pengacara atau Persekutuan Hukum lokal lainnya yang memuat profile sebuah law firm, law offices, kantor advokat, Pengacara atau Konsultan Hukum. 

Konsultasikan Langsung dengan Kandidat Pengacara. Setelah kita melakukan beberapa penjajakan, lakukanlah Konsultasi / Pembicaraan langsung semaksimal mungkin dari beberapa Pengacara yang menurut kita adalah "kumpulan Pengacara terbaik" (dari hasil obervasi). Rancanglah pembicaraan seperti mengajukan pertanyaan atas permasalahan kita, sebagaimana diharapkan dengan beberapa calon Pengacara yang memiliki prospek. Usahakanlah selalu untuk memiliki Pengacara yang tahu betul mengenai akan bisnis/usaha kita, memiliki waktu yang cukup untuk melayani, dan yang tidak kalah utamanya adalah bahwa gaya dan kepribadian Pengacara tersebut sesuai dengan keinginan kita. Verifikasi pula apakah Pengacara yang kita pilih tidak memiliki "konflik kepentingan". Konflik kepentingan ini akan muncul kalau Pengacara tersebut mewakili klien lain yang kepentingannya berseberangan atau berlawanan dengan kepentingan kita. Misalnya, Pengacara tersebut mewakili klien yang terlibat suatu sengketa pengadilan dengan kita secara langsung, atau Pengacara tesebut mewakili pesaing atau perusahaan pesaing kita. Hal lain yang mungkin merugikan kita apabila seseorang Pengacara yang filosofi bisnisnya tidak sesuai dengan filosofi atau cara kita melakukan bisnis. Semakin cepat "konflik kepentingan" ditemukan akan semakin baik. Etika Profesi Pengacara mengharuskan bahwa jika Seorang Pengacara Mewakili dua pihak/klien yang memiliki kepentingan yang saling bertolak belakang atau berseberangan secara diametral, maka dia harus memilih salah satu dari kliennya atau melepaskan kedua kliennya, dan tidak dibenarkan Pengacara ini menjadi mewakili kepentingan dari kedua pihak yang kepentingannya telah saling bersinggungan dan bertolak belakang. Untuk singkatnya kita harus yakin bahwa Pengacara yang kita pilih secara moral etika harus dapat diminta untuk mewakili Kepentingan Hukum Kita secara bebas (independent). 

Soal Lawyer Fee (Pembayaran) Masyarakat perlu mengetahui bagaimana fee (pembayaran) yang harus kita berikan atas jasa Pengacara. Setidaknya ada 4 (empat) metode pembayaran dalam memanfaatkan jasa Pengacara, antara lain : 


Pembayaran Perjam (Hourly Rate), cara pembayaran ini biasanya dilakukan oleh Pengacara untuk jasa dalam lingkup bisnis kecil. Penting diketahui bahwa setiap aktifitas seorang Pengacara dalam mewakili kepentingan klien termasuk dalam jasa Telepon untuk konsultasi, dan hal-hal lain seperti surat menyurat untuk kepentingan legal advise, mempersiapkan dan menyusun suatu rancangan kontrak juga termasuk dalam perhitungan "jam" jasa yang harus dibayarkan. Jika metode ini yang digunakan, maka saat kita mengadakan pembicaraan dengan calon Pengacara yang kita pilih tanyakan juga waktu minimun pemakaian jasa. Kebanyakan Pengacara menggunakan waktu minimum untuk pemakaian jasanya adalah 15 (lima belas) menit. Dalam suatu contoh, apabila seorang klien menelpon selama tujuh menit maka akan dibebankan biaya atas pemakaian jasa 15 (lima belas) menit. 

Pembayaran Ditetapkan (Fixed Rate), Pengacara yang akan menangani suatu tugas atau proyek biasanya menentukan sistem pembayaran tetap (fixed rate). Namun sistem ini tidak dipakai pelayanan jasa dalam lingkup litigasi (sengketa yang penyelesaiannya melalui proses di pengadilan). Sistem ini biasanya diterapkan pada pemanfaatan jasa oleh bisnis skala kecil. Contohnya, seorang Pengacara menetapkan fixed rate untuk menghasilkan suatu kontrak atau dokumen. 

Pembayaran Berdasarkan Porsi (Contingent Fees) Pada sistem ini Pengacara menerima bagian dari hasil yang diperoleh dari klien yang dimenangkan dalam suatu sengketa hukum. Namun Pengacara disini hanya akan menerima bagian (Fee) jika ia berhasil memenangkan perkara tersebut. Jika tidak, maka dia hanya akan menerima penggantian untuk biaya-biaya operasional yang telah dikeluarkannya. Pembayaran berdasarkan porsi seperti ini tidak dilakukan dalam masalah-masalah bisnis rutin. Sistem seperti ini umumnya dipergunakan dalam hal Pengacara bekerja dan mewakili klien untuk kasus sengketa melalui proses pengadilan, mediasi atau arbitrase seperti dalam suatu peristiwa dimana terjadinya tuntutan (gugatan) atas kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak lain yang klien alami. 

Pembayaran Berkala (Retainer). Jika seorang Pengacara menggunakan sistem pembayaran berkala, maka Masyarakat sebagai klien membayar secara bulanan atau bisa juga dirancang untuk pembayaran secara tahunan. Sebelumnya berbagai jasa Pengacara yang akan diterima klien harus telah didefinisikan (dirinci) untuk disepakati bersama. Sebenarnya Sistem ini akan sangat menguntungkan jika klien tahu bahwa klien ini akan sering membutuhkan Pengacara dalam suatu periode tertentu. 

Komunikasi, setelah kita memilih Pengacara dan menentukan cara pembayarannya, yakinkan bahwa kita harus menghindari masalah yang mungkin muncul di kemudian hari. Untuk itu sebaiknya kita senantiasa meminta salinan (copy) dari dokumen penting sehingga kita dapat secara langsung menilai dan mengarahkannya dengan tetap memperhatikan nasihat dan pertimbangan hukum dari Pengacara ini. Pastikan juga bahwa Pengacara menyerahkan semua salinan dari berbagai dokumen surat-menyurat dan dokumen akhir yang dibuat dalam kapasitasnya sebagai Pengacara kita. Oleh karena kita telah memilih, dan tentunya juga telah membayar seorang Pengacara, tentu saja kita memiliki hak untuk mengarahkan secara rasional bagaimana sebaiknya jasa Pengacara itu diberikan atau kita peroleh. Tanyakan sesuatu kepada Pengacara kita dan binalah jalur komunikasi secara terbuka untuk menghindari permasalahan yang mungkin muncul di kemudian hari.

SUMBER: http://apdn.blog.m3-access.com/posts/22408_Tips-memilih-Pengacara.html