The Atjeh Post http://www.atjehpost.com/saleuem/opini/740-tentang-iklan-antikorupsi-partai-aceh.html
Sebuah iklan kelihatan menonjol di halaman pertama sebuah surat kabar lokal. Iklan tersebut sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi menjadi luar biasa ketika, iklan tersebut dipasang oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Aceh – sebuah partai yang saat ini mendominasi penguasaan kursi legislatif baik di level provinsi, DPRA maupun di level kabupaten/kota, DPRK.
Iklan yang dibuat Muzakir Manaf dan Muhammad Yahya masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Aceh tersebut isinya,
“Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh menyatakan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan mendukung sepenuhnya kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik di tingkat nasional secara umum, maupun di tingkat Aceh secara khusus.
Partai Aceh juga berkomitmen dan akan menindak tegas siapapun kader-kader partai yang terlibat melakukan korupsi.
Partai Aceh juga bersedia melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan pegiat –pegiat antikorupsi baik tingkat Aceh, nasional maupun internasional.”
Iklan itu dibaca luas dan kemudian disebarkan secara luas kepada publik melalui jaringan sosial Facebook. Ada pro dan kontra tentang isi iklan, ada yang memuji tetapi banyak pula yang mencemooh. Bahkan sebagian orang menganggap, itu kampanye menjelang pemilihan kepala daerah.
Saya bisa memahami mereka yang kontra. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir, mereka melihat korupsi terjadi di Aceh dan sepertinya terbiarkan tanpa ada tindak lanjut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misanya, hingga Juni 2010 telah menerima 800 pengaduan tindak pidana korupsi di Aceh. Dari jumlah itu, “KPK telah menindaklanjuti 155 pengaduan. 25 pengaduan ditangani oleh kepolisian, 28 pengaduan ditangani oleh Kejagung," kata Lutfi Ganda Supriadi, staf Litbang KPK.
Dengan 800 kasus yang dilaporkan dan belum ada satu pun yang ditangani, mengesankan, KPK takut masuk ke Aceh, karena Aceh dikawal oleh Partai Aceh – selaku partai dominan yang menguasai pemerintahan dan legislatif. Karena itu, komitmen terbuka yang disampaikan oleh dua petinggi Partai Aceh menjadi signal yang sangat positif bagi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi untuk segera melakukan action, menggebuki para koruptor.
Yang ingin disampaikan oleh Partai Aceh dalam iklan publik itu adalah,
Pertama, Partai Aceh (PA) bukanlah partai korup, dan karna itu, PA komit dan siap membantu kerja-kerja pemberantasan korupsi oleh siapa pun termasuk oleh KPK.
Kedua, Partai Aceh (PA) bukanlah partai korup, dan karna itu, PA komit menyingkirkan kader-kader korup di tubuh partai, di legislatif, dan di eksekutif, dan menyerahkannya kepada aparat penegak hukum.
Ketiga, Partai Aceh membuka diri untuk menerima siapa pun dan kerjasama dengan lembaga-lembaga mana pun, dalam rangka membersihkan Aceh dari korupsi.
Kita tahu, bahwa kejahatan korupsi adalah salah satu dari lima kejahatan besar yang dimusuhi bangsa-bangsa dunia: kejahatan terhadap kemanusiaan (humanrights), perdagangan dan penjualan orang (human trafficking), terorisme, dan narkotika.
Komitmen Partai Aceh itu, merupakan kabar gembira bagi semua kita, seluruh rakyat Aceh, masyarakat Indonesia dan juga masyarakat dunia. Aceh tak mungkin dibangun dengan baik, jika dikelilingi oleh pejabat-pejabat dan parlemen bermental korup. Aceh tak mungkin dikunjungi para investor bila investasi mereka berbiaya tinggi karena harus menyetor miliaran rupiah ke kantong pejabat korup.
Tinggal sekarang, kita tunggu dan lihat, apakah iklan ini akan mendatangkan keberanian bagi penegak hukum untuk menangkap para koruptor?
Saya percaya komitmen Partai Aceh adalah komitmen yang tulus. Dan saya mendukung itu!
| J. Kamal Farza | Praktisi Hukum
Senin, April 04, 2011
Spirit Teungku Lah
J. Kamal Farza - Opini
Serambi Indonesia, Sat, Jan 22nd 2011, 08:25 (http://aceh.tribunnews.com/news/view/47687/spirit-teungku-lah)
KETIKA saya mengunjungi Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, di Gampong Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, dalam liputan persiapan milad Gerakan Aceh Merdeka, awal Desember 2000, saya sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat personal kepada almarhum, “Apa maksud dan tujuan perjuangan yang sedang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka”? Teungku Lah, begitu sapaan akrab Abdullah Syafi’e, menjawab, “Hai nyak, hana lee that yang tapeureulee lam perjuangan nyoe, kecuali lhee boh peukara. Peukara nyang phon, Bansa Aceh beucarong, jeut bek ditipee lee gop. Keudua, Bansa Aceh beukong, supaya bek dipoh lee gop, dan keu lhe, Bansa Aceh beukaya, jeut bek meugadee bak gop” (“Tidak banyak yang kita perlukan dalam perjuangan ini. Pertama, bangsa Aceh harus pintar, supaya tidak ditipu orang lain, Bangsa Aceh harus kuat supaya tidak dilecehkan orang lain, dan Bangsa Aceh harus kaya, supaya tidak mengemis pada orang lain”).
Apa yang disampaikan secara singkat oleh Tgk Lah tersebut, sangat visioner. Siapa pun yang berpikir bagi kemajuan Aceh, dapat menjabarkan lhee boh peukara itu ke dalam bahasa visi yang amat sangat mendasar untuk membuat Aceh lebih baik. Pertama, harus pintar (beucarong). Orang Aceh harus memiliki pengetahuan luas untuk menguasai ilmu dan teknologi, agar mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya dan masyarakat internasional. Harus ada orang Aceh yang cakap menjadi guru, bukan sekadar guru karena tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Orang Aceh harus ada yang menjadi dokter yang hebat, dengan sepesialisasi khusus jantung, bedah, tulang, atau lainnya. Harus ada orang Aceh yang menjadi dokter hewan yang memiliki kemampuan mengembangkan vaksin-vaksin baru guna menyembuhkan ternak-ternak Aceh yang handal, membuat dan mengembangkan sistem peternakan, sehingga kita tidak mengonsumsi lagi daging dan telor impor dari luar Aceh.
Harus ada sarjana atau ahli agama kita yang bukan saja memiliki kehebatan dalam berdebat soal syariah, tetapi bisa diandalkan membuat sistem hukum syariah yang memiliki kekuatan pemberdayaan ekonomi Islam, perbankan Islam, yang membuat si miskin menjadi kaya. Ahli syariah yang berani mengatakan, bahwa sistem syariah yang cilet-cilet, akan membentuk masyarakat dan pemimpin munafik dan hal ini justru merusak dan melecehkan Islam untuk jangka waktu yang lama. Aceh harus memiliki insinyur-insinyur yang handal dalam teknologi, dan universitas tidak hanya bisa menghasilkan insinyur yang hanya berani menjadi pegawai negeri, untuk kemudian menjadi pimpinan proyek, kepala dinas, koruptor, dan akhirnya pensiun atau masuk penjara karena korupsi. Singkatnya, orang Aceh harus carong dan mampu menjadi pengelola sumberdaya yang luar biasa hebatnya di tanah Aceh, dan tentunya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.
Sedangkan bagi kalangan yang memerintah, visi Abdullah Syafi’e ini semakin memperkuat kemauan memajukan pendidikan Aceh. Jika orang yang sekarang memimpin masih teringat pesan ini, pastilah dia malu ketika kualitas pendidikan kita sedemikian buruknya, dari kualitas pendidikan daerah-daerah lain yang kemampuan keuangan daerahnya miskin dan mereka bukanlah daerah otonomi khusus seperti Aceh. Kedua, harus kuat (beukong), ini sangat jelas, bahwa kita disuruh menambah kemampuan menjaga, memperkuat dan mempertahankan diri baik setiap orang maupun secara komunal. Kita harus memiliki waktu untuk berolahraga, dan handal dalam memenej tubuh supaya kuat. Gizi kita harus baik. Dan kita harus menghapus pantangan makan ikan di kalangan anak-anak kita, supaya otak mereka berisi dan mereka tidak mengantuk di sekolah.
Untuk yang lebih luas, kita memiliki kemampuan mengatur kekuatan gampong kita. Memiliki sistem yang kuat dalam menghadapi serangan provokator, dan kita memiliki kemampuan mengelola bencana, baik bencana alam maupun bencana dari para penjahat. Bagi orang yang memerintah, tentunya, sejak awal dilantik langsung berpikir, bagaimana mengelola warganya supaya kuat. Bagaimana membuat dan merancang standard etika baru, sehingga potensi-potensi yang ada bisa dihandalkan, bukan untuk bertinju di luar arena, tetapi memenangkan tinju di ring tinju. Bukan memenangkan debat kusir di warung kopi, tetapi debat ilmiah di forum-forum lobi, sidang parlemen atau sidang di ruang pengadilan.
Ketiga, orang Aceh harus kaya. Dengan kepintaran, dengan kekuatan, kita mampu memperkuat ekonomi kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Aceh, secara eksplisit dalam pesan Teungku Lah, mengharamkan diri menjadi masyarakat pengemis, peminta-minta, tangan di bawah, dan menjadi hina di hadapan orang yang korup dan bertindak bagai dermawan yang memandang pengemis dengan sinis dan jijik. Oleh karena itu, orang Aceh harus lebih keras bekerja, mengelola semua potensi yang ada untuk kemudian mengolahnya secara bertanggungjawab dan berkesinambungan. Setiap dalam diri orang Aceh, harus berpikir, bagaimana ia membangun rumah dengan tidak menebang pohon dan mengunduli hutan. Bagaimana ia membangun pelabuhan tetapi bukan dengan menghancurkan gunung, karena hal ini akan berdampak baik untuk ekonomi jangka pendek tetapi bencana bagi masa depan anak cucu kita.
Andai Pemerintah (orang) Aceh ingat pesan-pesan yang saya sebut sebagai visi Teungku Abdullah Syafi’e, saya memiliki keyakinan, dalam lima tahun pasca-Undang-undang Pemerintah Aceh, atau tiga tahun pasca-pilkada 2006, rakyat Aceh sudah terlihat memiliki kehidupan lebih baik, karena MoU Helsinki dan UU-PA dibuat dengan misi itu. Andai almarhum Teungku Lah masih hidup, tentu kita masih bisa melihat raut wajahnya. Apakah bahagia atau kecewa melihat situasi ini. 22 Januari 2011, Teungku Lah genap 9 tahun sudah meninggalkan kita. Beliau wafat di Gampông Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, bersama istri dan lima pengawalnya. Kita doakan Allah swt menerima segala amal kebajikan almarhum.
Wasiat almarhum yang masih saya ingat adalah, “Meunyo bak saboh uroe ka tadeungo lé gata nyang bahwa lôn ka syahid, bèk tapeuseudéh dan putôh asa. Lantaran jeueb-jeueb watee lôn meulakee bak Po teuh Allah Beuneubri lôn syahid watèë Nanggroë geutanyoë ka toë bak mardéhka, meuseubab hana peurelèë sipeuë jabatan pih meunyo Nanggroë ka mardeka, nyang lon peureulee pemimpin beuamanah rakyat beuseujahtra” (“Jika suatu hari nanti kau dengar aku telah tiada, jangan bersedih dan putus asa, sebab setiap waktu aku berdoa semoga Allah memanggilku saat negeri ini belum merdeka. Aku tak butuh jabatan saat negeri ini merdeka, yang kubutuhkan, para pemimpin menjaga amanah agar rakyat sejahtera”).
Pertanyaannya, siapa yang masih ingat wasiat Teungku Lah. Seberapa tergetarkah kita mendengar wasiat ini, sehingga berjuang keras agar Aceh menjadi lumbung orang carong, orang kuat, dan orang kaya. Merasakan kenyataan sekarang, sungguh saya merasa sedih. Sayup-sayup, dipojok warung kopi saya mendengarkan sindirin sekelompok anak muda yang resah dengan masa depan Aceh, seolah menyindir realita yang ada: “Ureung Aceh beubangai/beu jeut dipropaganda sabe/Ureung Aceh beuleumoh/beu jeut dipeutakot le ureung bangai/ Ureung Aceh beugasim/beujeut dipeulemoh ngen peng grik.”
* J. Kamal Farza adalah Lawyer pada Farza Lawfirm, Banda Aceh. Founder Tengku Hasan Tiro Institute.
Serambi Indonesia, Sat, Jan 22nd 2011, 08:25 (http://aceh.tribunnews.com/news/view/47687/spirit-teungku-lah)
KETIKA saya mengunjungi Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, di Gampong Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, dalam liputan persiapan milad Gerakan Aceh Merdeka, awal Desember 2000, saya sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat personal kepada almarhum, “Apa maksud dan tujuan perjuangan yang sedang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka”? Teungku Lah, begitu sapaan akrab Abdullah Syafi’e, menjawab, “Hai nyak, hana lee that yang tapeureulee lam perjuangan nyoe, kecuali lhee boh peukara. Peukara nyang phon, Bansa Aceh beucarong, jeut bek ditipee lee gop. Keudua, Bansa Aceh beukong, supaya bek dipoh lee gop, dan keu lhe, Bansa Aceh beukaya, jeut bek meugadee bak gop” (“Tidak banyak yang kita perlukan dalam perjuangan ini. Pertama, bangsa Aceh harus pintar, supaya tidak ditipu orang lain, Bangsa Aceh harus kuat supaya tidak dilecehkan orang lain, dan Bangsa Aceh harus kaya, supaya tidak mengemis pada orang lain”).
Apa yang disampaikan secara singkat oleh Tgk Lah tersebut, sangat visioner. Siapa pun yang berpikir bagi kemajuan Aceh, dapat menjabarkan lhee boh peukara itu ke dalam bahasa visi yang amat sangat mendasar untuk membuat Aceh lebih baik. Pertama, harus pintar (beucarong). Orang Aceh harus memiliki pengetahuan luas untuk menguasai ilmu dan teknologi, agar mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya dan masyarakat internasional. Harus ada orang Aceh yang cakap menjadi guru, bukan sekadar guru karena tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Orang Aceh harus ada yang menjadi dokter yang hebat, dengan sepesialisasi khusus jantung, bedah, tulang, atau lainnya. Harus ada orang Aceh yang menjadi dokter hewan yang memiliki kemampuan mengembangkan vaksin-vaksin baru guna menyembuhkan ternak-ternak Aceh yang handal, membuat dan mengembangkan sistem peternakan, sehingga kita tidak mengonsumsi lagi daging dan telor impor dari luar Aceh.
Harus ada sarjana atau ahli agama kita yang bukan saja memiliki kehebatan dalam berdebat soal syariah, tetapi bisa diandalkan membuat sistem hukum syariah yang memiliki kekuatan pemberdayaan ekonomi Islam, perbankan Islam, yang membuat si miskin menjadi kaya. Ahli syariah yang berani mengatakan, bahwa sistem syariah yang cilet-cilet, akan membentuk masyarakat dan pemimpin munafik dan hal ini justru merusak dan melecehkan Islam untuk jangka waktu yang lama. Aceh harus memiliki insinyur-insinyur yang handal dalam teknologi, dan universitas tidak hanya bisa menghasilkan insinyur yang hanya berani menjadi pegawai negeri, untuk kemudian menjadi pimpinan proyek, kepala dinas, koruptor, dan akhirnya pensiun atau masuk penjara karena korupsi. Singkatnya, orang Aceh harus carong dan mampu menjadi pengelola sumberdaya yang luar biasa hebatnya di tanah Aceh, dan tentunya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.
Sedangkan bagi kalangan yang memerintah, visi Abdullah Syafi’e ini semakin memperkuat kemauan memajukan pendidikan Aceh. Jika orang yang sekarang memimpin masih teringat pesan ini, pastilah dia malu ketika kualitas pendidikan kita sedemikian buruknya, dari kualitas pendidikan daerah-daerah lain yang kemampuan keuangan daerahnya miskin dan mereka bukanlah daerah otonomi khusus seperti Aceh. Kedua, harus kuat (beukong), ini sangat jelas, bahwa kita disuruh menambah kemampuan menjaga, memperkuat dan mempertahankan diri baik setiap orang maupun secara komunal. Kita harus memiliki waktu untuk berolahraga, dan handal dalam memenej tubuh supaya kuat. Gizi kita harus baik. Dan kita harus menghapus pantangan makan ikan di kalangan anak-anak kita, supaya otak mereka berisi dan mereka tidak mengantuk di sekolah.
Untuk yang lebih luas, kita memiliki kemampuan mengatur kekuatan gampong kita. Memiliki sistem yang kuat dalam menghadapi serangan provokator, dan kita memiliki kemampuan mengelola bencana, baik bencana alam maupun bencana dari para penjahat. Bagi orang yang memerintah, tentunya, sejak awal dilantik langsung berpikir, bagaimana mengelola warganya supaya kuat. Bagaimana membuat dan merancang standard etika baru, sehingga potensi-potensi yang ada bisa dihandalkan, bukan untuk bertinju di luar arena, tetapi memenangkan tinju di ring tinju. Bukan memenangkan debat kusir di warung kopi, tetapi debat ilmiah di forum-forum lobi, sidang parlemen atau sidang di ruang pengadilan.
Ketiga, orang Aceh harus kaya. Dengan kepintaran, dengan kekuatan, kita mampu memperkuat ekonomi kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Aceh, secara eksplisit dalam pesan Teungku Lah, mengharamkan diri menjadi masyarakat pengemis, peminta-minta, tangan di bawah, dan menjadi hina di hadapan orang yang korup dan bertindak bagai dermawan yang memandang pengemis dengan sinis dan jijik. Oleh karena itu, orang Aceh harus lebih keras bekerja, mengelola semua potensi yang ada untuk kemudian mengolahnya secara bertanggungjawab dan berkesinambungan. Setiap dalam diri orang Aceh, harus berpikir, bagaimana ia membangun rumah dengan tidak menebang pohon dan mengunduli hutan. Bagaimana ia membangun pelabuhan tetapi bukan dengan menghancurkan gunung, karena hal ini akan berdampak baik untuk ekonomi jangka pendek tetapi bencana bagi masa depan anak cucu kita.
Andai Pemerintah (orang) Aceh ingat pesan-pesan yang saya sebut sebagai visi Teungku Abdullah Syafi’e, saya memiliki keyakinan, dalam lima tahun pasca-Undang-undang Pemerintah Aceh, atau tiga tahun pasca-pilkada 2006, rakyat Aceh sudah terlihat memiliki kehidupan lebih baik, karena MoU Helsinki dan UU-PA dibuat dengan misi itu. Andai almarhum Teungku Lah masih hidup, tentu kita masih bisa melihat raut wajahnya. Apakah bahagia atau kecewa melihat situasi ini. 22 Januari 2011, Teungku Lah genap 9 tahun sudah meninggalkan kita. Beliau wafat di Gampông Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, bersama istri dan lima pengawalnya. Kita doakan Allah swt menerima segala amal kebajikan almarhum.
Wasiat almarhum yang masih saya ingat adalah, “Meunyo bak saboh uroe ka tadeungo lé gata nyang bahwa lôn ka syahid, bèk tapeuseudéh dan putôh asa. Lantaran jeueb-jeueb watee lôn meulakee bak Po teuh Allah Beuneubri lôn syahid watèë Nanggroë geutanyoë ka toë bak mardéhka, meuseubab hana peurelèë sipeuë jabatan pih meunyo Nanggroë ka mardeka, nyang lon peureulee pemimpin beuamanah rakyat beuseujahtra” (“Jika suatu hari nanti kau dengar aku telah tiada, jangan bersedih dan putus asa, sebab setiap waktu aku berdoa semoga Allah memanggilku saat negeri ini belum merdeka. Aku tak butuh jabatan saat negeri ini merdeka, yang kubutuhkan, para pemimpin menjaga amanah agar rakyat sejahtera”).
Pertanyaannya, siapa yang masih ingat wasiat Teungku Lah. Seberapa tergetarkah kita mendengar wasiat ini, sehingga berjuang keras agar Aceh menjadi lumbung orang carong, orang kuat, dan orang kaya. Merasakan kenyataan sekarang, sungguh saya merasa sedih. Sayup-sayup, dipojok warung kopi saya mendengarkan sindirin sekelompok anak muda yang resah dengan masa depan Aceh, seolah menyindir realita yang ada: “Ureung Aceh beubangai/beu jeut dipropaganda sabe/Ureung Aceh beuleumoh/beu jeut dipeutakot le ureung bangai/ Ureung Aceh beugasim/beujeut dipeulemoh ngen peng grik.”
* J. Kamal Farza adalah Lawyer pada Farza Lawfirm, Banda Aceh. Founder Tengku Hasan Tiro Institute.
Langganan:
Postingan (Atom)