Sabtu, Juli 19, 2008

Surat Kuasa: Antara Kelemahan Hukum Acara, Strategi Pengacara dan Keberanian Hakim


Meski bukan tergolong pokok perkara, keabsahan surat kuasa biasanya ditentukan dalam putusan akhir. Sinkronkah dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah?

Gembira sekaligus gregetan. Itulah yang terjadi pada Panji Prasetyo ketika mewakili PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) bersengketa melawan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia gembira karena Telkomsel sanggup meraup kemenangan. Ketika itu majelis hakim menyatakan gugatan YKCI tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard alias NO) lantaran surat kuasa yang dikantongi pengacara YKCI cacat hukum.

Yang membikin Panji geregetan, ia mesti sibuk beradu bukti dan memboyong beberapa saksi serta ahli sebelum hakim mengetukkan palu terakhirnya. Sebetulnya, kemenangan itu bisa saja diraih dengan sederhana, jika saja hakim berkenan melakukannya di putusan sela. Nyatanya, dalam putusan akhir, majelis hakim hanya mempertimbangkan keabsahan surat kuasa YKCI. "Kenapa harus menunggu sampai putusan akhir?" gerutu advokat dari Kantor Hukum Adnan Buyung Nasution & Partners itu, usai sidang. Seharusnya, kata dia, majelis sudah dapat memutuskan hasil sengketa ini dalam putusan sela di awal-awal persidangan.

Di Pengadilan Negeri (PN) Padang, 24 April lalu, hal semacam ini juga terjadi mesti dengan keunikan tersendiri. Kasus ini sebenarnya terbilang ruwet. Mulanya, pengacara bernama Manatap Ambarita ditahan oleh Kejaksaaan Negeri. Ia dinilai telah menyembunyikan kliennya, Afner Ambarata, yang tersandung kasus korupsi.

Penahanan ini diprotes keras oleh pihak Manatap. Ia pun mengajukan permohonan praperadilan. Tapi majelis hakim mengkandaskan upaya itu. Permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Majelis beralasan, surat kuasa yang diberikan Manatap kepada para kuasa hukumnya tidak sah lantaran yang membubuhkan tanda tangan hanya Manatap. Paraf para penerima kuasa juga tidak ada dalam surat itu.

"Dalam surat kuasa khusus, hal yang paling esensial adalah tanda tangan. Namun dalam surat kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, hanya ada tanda tangan pemberi kuasa. Dengan ini, hakim berketetapan permohonan pra peradilan yang diajukan penerima kuasa tidak dapat diterima. Sehingga, hal-hal yang terungkap selama persidangan dikesampingkan," demikian Zulkifli, ketua majelis hakim yang menangani perkara tersebut.

Metra Akmal, salah satu pengacara Manatap, kecewa berat terhadap putusan itu. "Kalau dianggap tidak sah, kenapa sidang praperadilan ini berlanjut sampai putusan. Kenapa pula, kita dibiarkan bertindak sebagai penasehat hukum pemohon?" tanyanya.

Meski sekedar persyaratan formil, surat kuasa memang tak boleh disepelekan. Tidak sedikit gugatan yang akhirnya kandas hanya karena tersandung masalah surat kuasa. Jika hakim menilai surat kuasa tidak sah, biasanya argumen hukum beserta bukti-bukti selama persidangan dikesampingkan begitu saja.

Idealnya Putusan Sela

Tidak sahnya surat kuasa berakibat sebuah perkara diputus NO alias tidak dapat diterima. "Putusan NO artinya ada syarat formal yang tidak terpenuhi," kata Sudikno Mertokusumo, dosen hukum acara perdata pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Dari persepektif hukum acara, putusan NO sekaligus menunjukkan bahwa belum ada pembuktian atau belum masuk ke pokok perkara.

Jika demikian konsepnya, menjadi janggal. Pasalnya, mengapa persidangan yang berbulan-bulan itu akhirnya hanya menyentuh masalah surat kuasa saja padahal jelas-jelas kedua belah pihak sudah menapaki babak pembuktian? Tidakkah lebih baik persoalan surat kuasa diputus saja di putusan sela sebelum persidangan memasuki pokok perkara?

Surat kuasa, di mata hakim, ternyata bukan sekedar persyaratan formil. Ia juga bagian tak terpisahkan dari pokok perkara. Hakim tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Mereka menunggu keberatan yang disampaikan salah satu pihak.

Sewaktu sidang perdana, majelis hakim selalu memeriksa kelengkapan persyaratan formil para kuasa hukum. Namun hakim tidak sampai menggelar pembuktian untuk mengetahui sah tidaknya surat kuasa itu. "Kalau ada pihak yang merasa keberatan mengenai surat kuasa, hakim mempersilahkan memasukkannya di eksepsi," kata Efran Basuning, hakim PN Jakarta Selatan.

Usai penyampaian eksepsi, biasanya hakim memberi putusan sela. Putusan itu pada intinya menyatakan gugatan bisa dilanjutkan ke pokok perkara, atau sebaliknya gugatan tidak bisa dilanjutkan ke pokok perkara. Jika kemungkinan kedua yang terjadi, putusan sela sekaligus dapat menjadi putusan akhir.

Kebanyakan hakim menilai putusan sela hanya bersangkutan dengan kewenangan pengadilan. Penilaian mereka tidak keliru, setidaknya jika merujuk kepada Het Herziende Indische Reglement (HIR). "Berdasarkan HIR, memang hanya eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi absolut saja yang harus diputus terlebih dulu. Selebihnya harus diputus bersamaan dengan pokok perkara," ungkap Irianto Subiakto, seorang pengacara di Jakarta. Dengan demikian, masalah keabsahan surat kuasa tidak bisa diputus di putusan sela.

Namun Sudikno berpendirian, masalah surat kuasa bisa diputus di putusan sela maupun di putusan akhir. Bisa diputus dalam putusan sela lantaran surat kuasa memang bukan bagian dari pokok perkara. "Karena itu, kalau surat kuasa dianggap cacat, putusannya bukan gugatan ditolak, tapi tidak dapat diterima," ujarnya menjabarkan.

Tidak Sesuai Zaman

Berdasarkan Undang-undang No 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), asas peradilan di negeri ini adalah cepat, sederhana dan berbiaya murah. Kalau masalah keabsahan surat kuasa yang sejatinya tergolong persyaratan formil diputus pada putusan akhir, asas peradilan itu seolah tiada arti.

Dari sinilah bolong hukum acara itu mulai terlihat menganga. "Harusnya semua yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat formal diselesaikan di awal," cetus Irianto. Tujuannya, tentu agar pemeriksaan dan pembuktian pokok perkara tidak sia-sia hanya karena masalah formalitas gugatan saja.

Berdasarkan penelusuran Irianto, bolongnya hukum acara itu disebabkan adanya kesenjangan waktu antara perumusan HIR dengan UU Kekuasaan Kehakiman. HIR, yang eksis sejak jaman Belanda, tak mengenal asas peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya murah. "HIR hanya mengenal perdamaian," ungkapnya.

Keberanian Hakim

Hukum acara yang bolong tentu saja ditambal. Bukan hanya pembentuk UU yang bisa melakukannya, hakim pun sebenarnya diberi kecakapan untuk itu. "Dibutuhkan keberanian hakim untuk melakukan interpretasi hukum," cetus Irianto. Ia yakin, putusan hakim yang mengandung penemuan hukum ini berpotensi menjadi yurisprudensi.

Tentu tidak gampang mendobrak HIR. Namun, "Hakim yang baik, meskipun bukan mengenai kompetensi absolut, kalau memang esensial, diputus di putusan sela," ujar Efran. Menurutnya, di pengadilan, surat kuasa itu ibarat Surat Ijin Mengemudi (SIM). Keduanya sama-sama esensial.

Tapi, Efran mengakui betapa sulitnya melakukan hal itu. Ia pernah menyidangkan perkara yang berujung pada perdebatan soal keabsahan surat kuasa. Perkara itu melibatkan perusahaan asuransi PT Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo). Terkuak di persidangan, pengacara Jasindo datang ke pengadilan tidak bermodal surat kuasa khusus. Bekal yang ia bawa adalah surat kuasa umum untuk pendataan asset.

Efran dan dua hakim lainnya menyatakan bahwa gugatan Jasindo tidak dapat diterima. Tapi hal itu baru terungkap di ujung persidangan alias di putusan akhir. "Karena pihak lawan Jasindo tidak mempermasalahkannya di eksepsi, sehingga pemeriksaannya bersamaan dengan pokok perkara," ungkap Efran.

Dalam perkara perdata, pada dasarnya hakim memang pasif. Ia tidak mungkin membuat keputusan tentang sesuatu yang tidak ada dalam petitum gugatan. Dalam hal surat kuasa, kalau tidak ada pihak yang mempermasalahkannya, hakim tidak bisa berbuat apa-apa.


Strategi Berperkara

Di sisi lain, seorang kuasa hukum terkadang sengaja menjadikan surat kuasa sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan perkara. Hal ini lazimnya dilakukan oleh pengacara tergugat dengan mempermasalahkan surat kuasa yang dimiliki pengacara penggugat. Tujuannya tentu agar gugatan tidak diterima majelis hakim.

Yang rada janggal, ada juga fakta bahwa pengacara penggugat sengaja mencacatkan surat kuasanya sendiri. "Dia sengaja tidak menyempurnakan surat kuasa. Dia berharap supaya dapat melihat bukti yang dikeluarkan lawan dulu," ungkap Irianto. "Jadi, jika gugatannya di-NO, dia akan mengajukan gugatan baru karena sudah tahu bukti-bukti lawan."

Entah strategi itu bisa diendus lawan atau tidak, yang jelas hakim tidak ambil pusing dengan strategi itu. "Kadang-kadang memang ada lawyer yang memang teledor," kata Efran. Tak jarang ia menjumpai pengacara yang kurang serius mengurus surat kuasa dari kliennya. Ujung-ujungnya, gugatan itu menguap begitu saja di persidangan.

Gugatan Baru

Lumrahnya, jika sebuah gugatan diputus NO, ada dua opsi yang bisa ditempuh oleh pihak yang kalah, mengajukan banding atau mendaftarkan gugatan baru. "Seperti halnya kalau kurang pihak, kalau surat kuasa cacat, bisa saja diajukan banding," Efran menerangkan. Tapi ia yakin sepenuhnya, pengadilan tinggi hanya akan memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama. "Kalau ada pengacara yang banding, itu namanya overconfidence".

Irianto menguatkan pendapat Efran. Baginya, gugatan diajukan untuk menyelesaikan pokok perkara. Percuma jika hanya muter-muter di wilayah formil. "Lebih baik mengajukan gugatan baru. Jangan banding," ujarnya. Toh di tingkat banding nanti yang diperiksa juga masalah surat kuasa. Bukan pokok perkaranya.

Sudikno juga berpikiran sama. Menurutnya, hanya pengacara yang pengetahuannya kurang yang akan mengajukan banding. "Kalau syarat formalnya tidak terpenuhi, mestinya mengajukan gugatan baru dengan memperbaiki syarat formal itu," tandasnya. "Kalau mengajukan banding, itu lucu".***

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19277&cl=Berita

Jumat, Juli 18, 2008

NIATARI MUKHTAR, SH.



Dara kelahiran Bireuen, 22 September 1984 ini menamatkan S-1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (2007),.

Sebelumnya, Tari aktif di berbagai organisasi mahasiswa dan kepanitiaan, antara lain dalam seminar ”Perdamaian RI dan GAM (Sekretariat Wakil Presiden RI 2005). Pernah bekerja sebagai fieldstaff pada kantor UNDP (2005), Tim Pemantau Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur NAD Kabupaten Aceh Tamiang (2006) dan terakhir bekerja pada Kantor Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif BRR NAD-NIAS.

Sebelum bergabung dengan Farza Lawfirm, Tari bekerja sebagai Staf Administrasi Bagian Validasi dan Sertifikasi Komite Verifikasi dan Penertiban BRR NAD-Nias.***

Pemerintah Terbitkan PP Tata Cara Pemberhentian Jaksa



[24/3/08]
Beleid ini diteken Presiden dua hari sebelum jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan penyidik KPK.
Efek bola salju penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan masih terus menggelinding. Jaksa-jaksa yang ikut menyelidiki perkara BLBI turut diperiksa oleh bidang pengawasan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hingga kini baru Urip Tri Gunawan (UTG) yang diberhentikan sementara.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung BD Nainggolan menjelaskan bahwa UTG diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil melalui Keputusan Jaksa Agung tertanggal 6 Maret 2008. “Berdasarkan keputusan Jaksa Agung, jaksa UTG diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil,” ujarnya kepada pers 12 Maret lalu.

Ditambahkan Nainggolan, status Urip sebagai PNS akan ditinjau ulang setelah sidang perkara dugaan suap selesai digelar. Normatifnya, jika hakim menjatuhkan vonis bersalah dan putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka seorang jaksa bisa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya.

Kalau dugaan perkara pidana yang melibatkan jaksa baru masuk tahap penuntutan, si jaksa bisa diberhentikan sementara. Tindakan yang sama bisa dikenakan jika diperoleh cukup bukti untuk diberhentikan tidak dengan hormat. Norma lain mengatur bahwa Jaksa Agung dapat secara otomatis memberhentikan sementara seorang jaksa dari jabatannya jika terdapat perintah penangkapan yang diikuti penahanan secara sah oleh pejabat yang berwenang.

UTG tertangkap tangan menerima uang AS$660 ribu dari tersangka lain Artalyta Suryani di rumah pengusaha Sjamsul Nursalim, pada Minggu sore 2 Maret lalu. Ternyata, dua hari sebelum penangkapan UTG, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008. Beleid ini mengatur tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.

Berdasarkan beleid ini, jaksa yang diberhentikan sementara atau dibebaskan sementara dari jabatannya tidak berwenang melaksanakan tugas fungsional jaksa. Ia juga tidak berhak memperoleh tunjangan fungsional jaksa. Sebaliknya, ia masih berhak mendapatkan gaji sebagai PNS. Lain halnya kalau seorang jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, maka ia tidak berhak lagi memperoleh hak-hak kepegawaian.

Dalam kasus UTG, ia justru diberhentikan sementara sebagai PNS. Menurut BD Nainggolan, dengan status diberhentikan sementara, UTG hanya akan menerima 50 persen dari gaji pokok yang dia terima terakhir sebelum ditangkap KPK. Sebelum diberhentikan sementara UTG menjabat sebagai Kasubdit Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Lain pada Jampidsus, dengan Golongan IV A. Lantaran jabatannya itu pula ia menetuai tim penyelidik BLBI II untuk kasus Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

PP tersebut mulai berlaku sejak 28 Februari 2008. Jadi, sebenarnya sudah bisa diterapkan kepada UTG. Namun dalam penjelasannya kepada wartawan tempo hari Nainggolan tak menyinggung sama sekali PP ini. UTG justru diberhentikan berdasarkan PP No. 4/1966. Menurut Nainggolan, itu karena UTG diberhentikan sebagai PNS, sedangkan PP 20/2008 secara khusus mengatur pemberhentian sebagai jaksa. “Makanya, kepada UTG diberlakukan ketentuan lama,” ujarnya kepada hukumonline.

Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto berpendapat belum ada terobosan berarti dalam PP ini dibanding ketentuan pemberhentian yang diatur dalam UU No. 16/2005 tentang Kejaksaan. Kebijakan pemberhentian jaksa bisa disebut terobosan kalau Jaksa Agung memberhentikan seorang jaksa karena pelanggaran etika profesi dan melakukan tindak pidana tanpa alur yang berbelit-belit.
http://hukumonline.com/detail.asp?id=18816&cl=Berita

EVI SUSANTI, SH.


EVI SUSANTI lahir di Medan, 16 Juni 1974. Lajang yang sedang menyelesaikan Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini, meniti karier di bidang hukum sejak lulus di Fakultas Hukum Syiah Kuala (2000), dan menjadi Asisten Pengacara pada LBH Gerakan Karya Justisia Indonesia (LBH GKJI) Banda Aceh (2000 s/d 2001).

Sejak lulus sebagai Advokat/Konsultan Hukum (2002), Evi meniti karier di beberapa kantor, antara lain pada Kantor Pengacara Rasminta, SH and Associates Banda Aceh (2002 s/d 2004), Advokat/Konsultan Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh (2004-2005). Tahun 2005, dia dipercaya menjadi Manager Riset dan Kampanye pada Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh (2005).

Pada tahun yang sama , Evi menjadi Advokat/Konsultan Hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anak Banda Aceh, dan setahun kemudian menjadi Advokat/Konsultan Hukum pada Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA) (2006 s/d sekarang).

Sejumlah pendidikan khusus dilalui Evi, sejak ia lulus Fakultas Hukum, antara lain: Pendidikan Kepengacaraan bagi Alumni Fakultas Hukum (LPM-Unsyiah, 2000), Pelatihan Anti Penyiksaan (Lembang, YLHBI 2004), Pelatihan Pendampingan di Wilayah Konflik (LBH APIK – Urgent Action Fund, 2004), Pelatihan Issu Perdagangan Perempuan pada Pemuka Agama dan Pimpinan Dayah di Aceh (MISPI – Asia Foundation, 2005), Workshop Sosialisasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (UNICEF, 2006), Training of Trainer (ToT) Hukum dan Mediasi (International Development Law Organization, 2006), Pelatihan dan Pendidikan Mediator (IDLO – indonesian Institute for Conflict Transformation, 2008)

Ada empat bidang yang menjadi minatnya di dunia hukum, Pidana, Perdata (Pertanahan, Perkawinan, Waris, dll), Bidang Tata Usaha Negara (TUN) dan memediasi Perkara-perkara Perkawinan (Cerai dan Harta Bersama). Karena jam terbang di dunia hukum dan pendidikannya mendukung, maka dia kerap jadi nara sumber dalam beberapa pelatihan dan pendidikan bantuan hukum di Aceh.***

TEKNOLAW: BEBERAPA MASALAH TEKNOLOGI DAN HUKUM

Budi Rahardjo
Pusat Penelitian Antar Universitas Bidang Mikroelektronika (PPAUME)
Institut Teknologi Bandung (ITB)
br@paume.itb.ac.id
September 2000


ABSTRAK
Report singkat ini mencoba mengidentifikasi beberapa masalah hukum dan teknologi.

1 PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi sudah sedemikian cepat sehingga merasuk dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tanpa disadari produk teknologi sudah menjadi kebutuhan manusia di Indonesia. Penggunaan televisi, telepon, fax, cellular phone (handphone), dan sekarang Internet sudah bukan menjadi hal yang aneh dan baru, khususnya di kota-kota besar.

Alangkah anehnya jika anda memerintahkan seseorang untuk menelepon dan dijawab bahwa dia tidak dapat menggunakan telepon. Semua orang harus dapat menggunakan telepon tanpa perduli apakah dia memiliki telepon di rumah atau tidak. Dalam waktu yang tidak lama hal yang serupa akan terjadi dengan email (electronic mail). Setiap orang diharapkan (expected) mampu menggunakan email meskipun dia tidak memiliki komputer. Teknologi mengubah ekspektasi dari seseorang.

Di satu sisi penerapan teknologi mempermudah hidup manusia, di sisi lain dia menimbulkan permasalahan. Ada banyak aspek yang nampaknya membutuhkan bantuan hukum untuk menyelesaikannya.

2 BEBERAPA PERMASALAHAN

2.1 Masalah HaKI
Teknologi digital mempermudah duplikasi materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital (digitalized products). Contoh materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital adalah produk musik, film (video), karya tulis (buku), dan perangkat lunak (software). Teknologi digital dapat digunakan untuk menggandakan atau membuat copy dari materi tersebut dengan kualitas yang sama dengan aslinya tanpa merusak atau mengurangi sumber aslinya.

Pembajakan kaset, CD (baik dalam format aslinya ataupun dalam format MP3 dimana dalam satu CD dapat diisi dengan ratusan lagu), VCD, buku, dan sotfware marak dilakukan di seluruh dunia, meski yang menjadi sorotan adalah Asia (temasuk Indonesia di dalamnya). Teknologi untuk memproteksi seperti watermarking, dongle, enkripsi, dan sebagainya dicoba dikembangkan. Akan tetapi nampaknya pihak yang melakukan proteksi kalah langkah dengan pihak pembuka (code breakers).

Sudut lain dari masalah HaKI adalah adanya kelompok yang tidak setuju dengan proteksi yang berlebihan sehingga mencoba mengambil pendekatan lain seperti dengan menggunakan jalan public domain, copyleft, GNU Public License (GPL), dan sejenisnya. Cara ini tidak memecahkan masalah yang ada, akan tetapi mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang yang lain. (Jika sudah public domain, maka tidak ada masalah pencurian.)

Kasus yang cukup ramai disoroti adalah kasus perusahaan Napster . Perusahaan ini memberikan layanan untuk mempermudah pengguna Internet dalam tukar menukar file MP3 (lagu). Dalam hal ini, Napster sendiri tidak menyediakan koleksi lagu dalam format MP3 akan tetapi hanya memfasilitasi pertukaran MP3. Namun Napster mendapat tuntutan dari perusahaan rekaman.

Dalam waktu yang tidak lama lagi hal yang serupa akan terjadi dengan video. (Hal ini dikemukakan oleh John Gage dari Sun Microsystems.) Saat ini bandwidth (lebar pita) dari Internet masih kecil sehingga pertukaran video masih belum memungkinkan bagi sebagian besar orang. Pengguna Internet umumnya masih menggunakan fasilitas dial-up melalui telepon biasa dengan kecepatan maksimum 56Kbps sehingga untuk mentransfer video dalam format MPEG (yang banyak digunakan di VCD) membutuhkan waktu berjam-jam. Tapi jangan mengabaikan hal ini karena tahun lalu saja orang tidak mengira bahwa saat ini kita sudah dapat bertukar lagu via Internet. Teknologi komputer dan telekomunikasi berkembang dengan pesat.

Teknologi telekomunikasi dan komputer banyak menggunakan patent. Sebagai contoh adalah penggunaan algoritma enkripsi RSA yang umum digunakan untuk mengamankan transaksi atau komunikasi di Internet. Algoritma RSA ini dipatenkan oleh penemunya. Bayangkan bahwa “kehidupan elektronik” manusia bergantung kepada paten seseorang atau sekelompok orang. Untungnya paten tersebut sudah habis dan sekarang sudah menjadi public domain. Hal yang serupa dapat terjadi kembali. (Kasus yang sama juga terjadi dengan algoritma kompresi yang digunakan dalam format GIF yang umum digunakan sebagai format gambar di Internet. Pemilik patent GIF, Unisys, pernah diisyukan meminta bayaran dari setiap gambar yang menggunakan format tersebut.)

2.2 Masalah Nama Domain Internet

Nama domain (misalnya .com) yang digunakan sebagai alamat dan identitas di Internet juga memiliki permasalahan sendiri. Penamaan domain berkaitan erat dengan nama perusahaan dan/atau produk (servis) yang dimilikinya. Seringkali produk / service ini didaftarkan sebagai trademark atau servicemark. Bagaimana aturan pengunaan trademark milik orang lain dalam nama domain?

Masalah nama domain ini cukup pelik dikarenakan di dunia ini ada beberapa pengelola nama domain yang independen. Ada lebih dari dua ratus pengelola domain yang berbasis teritory (yang sering disebut sebagai Country Code Top Level Domain atau ccTLD). Sebagai contoh saya mengelola domain untuk Indonesia (.ID). Bolehkah seseorang mendaftarkan nama domain yang sebetulnya ditrademarkkan di negara lain? Darimana pengelola domain tahu bahwa nama tersebut merupakan trademark yang terdaftar di negara lain?

Kasus pertikaian sudah terjadi seperti contohnya adalah kasus mustika-ratu.com yang diduga didaftarkan oleh kompetitor dari perusahaan Mustika Ratu. Bagaimana juga jika ada yang mendaftarkan dengan nama orang yang terkenal (seperti kasus JuliaRoberts.com dan JohnTesh.com)? Apa landasan hukum yang digunakan? Di Amerika Serikat ada “Anti-Cybersquatting Consumer Protection Act” yang ditandatangani oleh presiden Clinton yang mengatakan:
Any person who registers a domain name that consists of the name of another living person, or a name substantially and confusingly similar thereto, without that person’s consent, with the specific intent to profit from such name by selling the domain name for financial gain to that person or any third party, shall be liable in a civil action by such person.

2.3 Masalah Perijinan

Di Indonesia, untuk layanan Internet membutuhkan ijin khusus. Internet Service Provider (ISP) atau Penyedia Jasa Internet (PJI) harus mendapatkan lisensi dari Dirjen Postel, Departemen Perhubungan. Di negara lain, seperti di Canada, ISP tidak membutuhkan ijin khusus.

Telekomunikasi di Indonesia masih dimonopoli. Pelanggaran monopoli ini melalui teknologi sudah terjadi melalui penyediaan jasa Voice over IP (VoIP) oleh beberapa orang dan perusahaan. Bahkan, sudah ada kasus penangkapan orang yang menyediakan jasa VoIP. (Dalam pemberitaan surat kabar bahkan disebutkan bahwa orang yang memberikan layanan VoIP tersebut seolah-olah mencuri pulsa PT Telkom.) Layanan VoIP pada prinsipnya adalah mengubah suara (voice) menjadi data dan mengirimkan data ini melalui saluran Internet. Penyedia layanan VoIP berargumentasi bahwa yang dia salurkan adalah data bukan voice oleh sebab itu dia tidak melanggar monopoli Telkom dan Indosat. Pihak pemerintah merasa bahwa yang dikirimkan asalnya berupa voice sehingga sebetulnya merupakan layanan suara (voice) juga. Ini merupakan contoh bahwa teknologi mengubah segalanya. Dalam waktu dekat, tidak hanya voice saja yang dapat dikirimkan dengan real-time akan tetapi juga gambar. Maka akan terjadi Multimedia over IP.

VoIP hanya salah satu teknologi saja. Masih ada teknologi lain seperti Voice over ATM dimana protokol ATM digunakan sebagai pengganti protokol IP. Selain IP dan ATM, masih ada protokol lain seperti IPX (yang banyak digunakan oleh Novell) dan Appletalk (yang banyak digunakan oleh Apple). Apakah nanti akan ada hukum yang mangatur VoATM, VoIPX, VoAppletalk? Hukum seharusnya technology neutral sehingga adanya perubahan teknologi tidak harus mengubah hukum yang ada.

Jika nanti seorang pengguna dapat memberikan layanan broadcasting melalui Internet (Radio Internet dan TV Internet), apakah perlu meminta ijin dari pemerintah? Perlu diingat bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi, setiap orang dapat menjadi broadcaster. Lagi-lagi ini masalah perijinan.

Undang-undang anti monopoli diharapkan dapat mengurangi masalah yang timbul. Akan tetapi masih tetap menjadi pertanyaan dalam implementasinya. Monopoli merupakan penghambat kompetisi dan inovasi yang menguntungkan masyarakat (komunitas).

2.4 Masalah privacy

Di Indonesia masalah privacy masih belum menjadi masalah yang besar. Di luar negeri, masalah privacy ini menjadi perhatian utama. Seringkali kita mengisi formulir yang menanyakan data-data pribadi (nama, alamat, tempat tanggal lahir, agama, status, dan sebagainya) tanpa informasi yang jelas mengenai penggunaan data-data ini. Bagaimana jika data-data ini diperjual belikan?

Mengingat perniagaan secara elektronis (e-commerce) mencakup seluruh dunia, maka privacy policy menjadi salah satu kendala perniagaan antar negara. Jika pelaku bisnis di Indonesia tidak menerapkan privacy policy maka mitra bisnis di luar negeri tersebut tidak bersedia melakukan transaksi bisnis. Mereka berkewajiban menjaga privacy dari client atau users mereka.

Masalah lain yang berkaitan akan tetapi mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda adalah masalah confidentiality dan trade secrets.

2.5 Masalah Keamanan
Internet merupakan salah satu produk gabungan teknologi komputer dan telekomunikasi yang sukses. Internet mulai digunakan sebagai media untuk melakukan bisnis dan kegiatan sehari-hari. Yang sering menjadi pertanyaan adalah tingkat keamanan dari teknologi Internet.

Keamanan di Internet sebetulnya sudah pada tahap yang dapat diterima. Hanya hal ini perlu mendapat pengesahan dari pemerintah sehingga pelaku bisnis mendapatkan kepastian hukum.

Identitas seseorang dapat diberikan dengan menggunakan digital signature yang dikelola oleh Certification Authority (CA). Masalahnya tanda tangan digital ini belum dapat dianggap sebagai bukti yang sah meskipun sebetulnya tingkat keamanannya cukup tinggi. Di beberapa negara, hal ini sudah diakomodasi dalam bentuk “Digital Signature Act”.

Kejahatan yang ditimbulkan dengan teknologi komputer dan telekomunikasi perlu diantisipasi. Istilah hacker , cracker, cybercrime mulai sering didengar. Kejahatan yang menyangkut orang Indonesia juga sudah terjadi. Baru-baru ini seorang cracker Indonesia ditangkap di Singapura dan diadili di sana. Ada lagi fraud yang dilakukan oleh pengguna Internet Indonesia dengan tidak mengirimkan barang atau uang yang sudah disepakati dalam transaksi e-commerce.

Kejahatan cyber umunya dapat disusuri (trace) dengan bantuan catatan (logfile) yang ada di server ISP yang digunakan oleh cracker. Akan tetapi seringkali ISP tidak melakukan pencatatan (logging) atau hanya menyimpan log dalam kurun waktu yang singkat (dikarenakan besarnya jumlah data yang harus dicatat). Logfile ini sebetulnya dapat menjadi bukti adanya akses cracker tersebut. Namun logfile ini (jika ada) belum tentu dapat menjadi bukti yang sah di pengadilan.

Penyidikan kejahatan cyber ini juga membutuhkan keahilan khusus. Pihak penegak hukum harus lebih cepat tanggap dalam menguasai teknologi baru ini.

3 PENUTUP
Tulisan singkat ini tentunya belum mencakup seluruh permasalahan hukum yang timbul dengan adanya kemajuan teknologi. Meskipun demikian tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan permasalahan yang ada. Masalah-masalah lain yang belum disentuh dalam tulisan ini adalah Internet Gambling, penggunaan caching, spamming, electronic money / cash, pajak (tax), dan perlindungan konsumen.

Untuk mengatasi dan mengantisipasi masalah yang akan terjadi maka sebaiknya ada dialog yang berkelanjutan antara pihak yang mengerti teknologi dan pihak yang mengerti hukum serta penegak hukum. Dengan demikian, hukum tidak menjadi bumerang bagi komunitas itu sendiri.

4 BAHAN BACAAAN
1. Warwick Ford dan Michael S. Baum, “Secure Electronic Commerce,” Prentice Hall, 1997.
2. Shelley M. Liberto, Esq., “Closing the Celebrity Domain Name Loophole,” wwwiz, vol. 6, April 2000, pp.38-39.
3. Andrew C. L. Ong, et al., “Your Guide to e-commerce Law in Singapore”, Drew & Napier, Estd. 1889, 2000.

Rabu, Juli 16, 2008

NURUL IKHSAN, SH


Nurul Ikhsan lahir di Tapaktuan 22 Desember 1971. Setahun setelah menamatkan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Ikhsan menjadi Advokat (1998), dan konsen untuk pembelaan korban-korban kekerasan Negara dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.


Sejumlah training pernah diikuti ayah 2 putri ini, antara lain: Training of Trainer Civic Education, Organized WALHI (1998), Kursus Pengacara Universitas Syiah Kuala (1998), Human right for Lawyer Training (ELSAM, Jakarta, 1999), Mine Advocacy Training (1999), Training of human right reporting for the UN Provision, Phase I dan II (2000), Training of Investigation (2000), Training of conflict transformation organised (Peace Brigade International, 2001), Training of conflict resolution organised (2001), Facilitator training (INSPIRIT, 2005), Training of Trainer Facilitator, (IDLO Regional Sydney Office, 2006), dan Mediator training, IICT, 2006),

Pekerjaan sebagai advokat sudah dimulainya sejak 1998, sebagai sebagai paralegal LBH Banda Aceh. Setahun kemudian, Ikhsan menjadi direktur Yayasan Gampong Hutan (YGHL, 1999-2000), dan PB-HAM Tapaktuan (2000-2003). Tahun 2003 menjadi anggota Tim Advokasi Masyarakat Sipil Aceh (TAMASYA), Manager Kebijakan Publik dan Advokasi WALHI Aceh (2004), dan Manager Advokasi JKMA-Aceh (2005). Sejak 2006 – 2008 menjadi Legal Officer at the International Development Law Organization (IDLO), dan 2008 – sekarang menjadi konsultan World Bank untuk keadilan masyarakat. ***

Senin, Juli 14, 2008

JUNAIDI DeM, SH.



lahir di Aceh 09 Juli 1976. Lelaki bujangan ini, menamatkan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2002. Selain dalam bidang hukum, anakmuda yang akrab disapa Jun ini sarat dengan pengalaman training; antara lain: Training Capacity Building of School Commite di Jogyakarta, Komunitas Taring Padi (2000); Training Mapping Sosial Masyarakat Pedesaan di Jakarta, PP Muhammadiyah (2000), Training Conflict Disaster Management, MSF Holand and LBH Apik (2001) dan Training of Trainer Petugas Sosialisasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Narkotika di Jakarta, Badan Narkotika Nasional (2003).

Selain itu putra Aceh asli ini menjadi ketua umum Pimpinan Wilayah Ikatan Remaja Muhammadiyah (PW.IRM) Aceh (1997), Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah (1997-1998); Ketua Umum DPD. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh dan periode 2001-2002 menjadi Sekretarus Bidang Advokasi dan Bantuan Hukum Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Aceh.

Lajang berpenampilan kale mini, pernah menjadi Koordinator Program Management IDPs Korban Konflik, People Crisis Centar (PCC) Pidie, Aceh (2001), dan Wakil Koordinator Divisi Advokasi Kontras (Komite untuk Orang Hilang Dan Tindak Kekerasan) Aceh (2001-2002). Pada tahun 2002-2004, ia menjabat sebagai Koordinator Program Penguatan Hak-Hak Sipil, Fordas (Forum Darussalam). Dua tahun berikutnya, dia dipercaya menjadi Sekretaris Pusat Bantuan Hukum dan Hubungan Lintas Instansi, Badan Narkotika Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2003-2004). Salah satu prestasi terakhirnya adalah menjadi Wakil Ketua Tim Perumus Rancangan Qanun Pemberantasan Narkotika Psikotropika Dan Zat Adiktif (NAPZA) , Biro Hukum Setda Prov. NAD. Sebelum bergabung dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, Junaidi pernah menjadi Tenaga Teknis Tata Laksana Hukum Pemerintahan Daerah, Canadian International Development Agency (Cida) Perwakilan Aceh, yang salah satu perannya adalah memberikan nasihat dan bantuan tehnik terhadap aspek hukum Indonesia dan hukum Pemerintahan Daerah.

Pada tahun 2005, dia juga menjadi Ketua Tim Program Mapping Sosial Masyarakat Wilayah Aceh Besar, Kota Banda Aceh dan Pidie, Kerjasama Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan UNDP, dan Koordinator Task Force Perumusan Sistem Fasilitasi, Koordiasi Pemulihan Kehidupan Sosial Masyarakat Dihuntara Dan Sistem Jaring Pengaman Sosial, Direktorat Sosial BRR-Aceh Nias. Menduduki beberapa posisi penting di BRR, antara lain Kepala Monitoring dan Evaluasi Program Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM, Kepala Pengendalian dan Fungsionalisasi Program Kedeputian Kelembagaan dan Pengembangan SDM, membuat Junaidi paham benar seluk-beluk persoalan anggaran, aturan hukum dan kejahatan keuangan.***

IMRAN MAHFUDI, SH



Imran Mahfudi , lahir di Aceh Barat Daya, 04 Oktober 1978. Menjadi Konsultan Hukum sejak 2003, setelah menamatkan studi di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, pada tahun yang sama.

Ayah satu putri yang memiliki konsentrasi masalah Hukum Tata Negara dan HAM ini, mengikuti sejumlah training, antara lain Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa (2000), Pelatihan Jurnalistik (2000), Manajemen Organisasi Sosial (2003), Pemantauan Hak Asasi Manusia KOMNAS HAM (2002), Penguatan Jaringan Pemantauan Pemantauan Hak Asasi Manusia (Yogja 2003), Media Relation (2005) dan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (2008).

Mantan anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh (2003-2006) ini, juga pernah bekerja di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh sebagai Staf Penyelidikan (2002-2003), dan Kepala Divisi Advokasi Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (2003). Jadi Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Bahri, Farza & Partners (2003), dan posisi yang sama (2004-2005) dilakoninya pada Kantor Hukum Ansharullah Ida dan Rekan. Sementara itu, selama empat tahun Imran menjabat sebagai Direktur Lembaga Pengkajian dan Pemantauan Kebijakan Publik (Lappekap) – Banda Aceh, setelah itu dipercaya jadi Manager Koord. Pemda, DPRD dan Instansi Terkait pada Deputi Perumahan dan Permukiman BRR NAD – Nias (2006-Maret 2007); Koordinator Unit Penanganan Keluhan Masyarakat (UPKM, Maret-Desember 2007) serta Direktur Dukungan Kelembagaan Yudikatif (2007) dan Staf Ahli Deputi Kelembagaan dan Pengembangan SDM (2008), jabatan itu dipegangnya sampai ia keluar dari BRR Mei 2008.

Sejumlah jabatan di organisasi mahasia sejak 2001 pernah disandangnya, antara lain Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasisa Fakultas Hukum Unsyiah, Sekretaris BEM, Pimpinan Redaksi Tabloit Mahasiswa meretas demokrasi dan keadilan (merdeka), dan mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa Peduli Narkotika dan Zat Adiktif lainnya (UKM Peduli NAPZA) Unsyiah. Di luar kampus, ia menjadi Koordinator Forum Darussalam (Fordas) – Aceh (2003 – 2006), Wakil ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kota Banda Aceh, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Reformasi Indonesia (PRI) Provinsi NAD, Ketua Dewan Anggota Perhimpunan Pemantau Hak Asasi Manusia (PP HAM) Aceh (2007) dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Anshor Provinsi NAD (2007-2008)***.

Minggu, Juli 13, 2008

Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelayanan Publik

Tatag Wiranto *)

Prolog
Sejak awal 1990-an, Good Governance telah menjadi kredo baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. UNDP, misalnya, memberikan penekanan khusus pada pembangunan manusia yang berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan transformasi administrasi publik (UN Report, 1998). Sementara itu, Bank Dunia lebih memberikan perhatian pada pendayagunaan sumber daya sosial dan ekonomi bagi pembangunan. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation dan Development (OECD) menekankan pada penghargaan hak-hak asasi manusia, demokrasi dan legitimasi pemerintah.
Secara konseptual, Good Governance oleh UNDP dipahami sebagai implementasi otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam proses manajemen berbagai urusan publik pada berbagai level dalam suatu negara. Merujuk pada konsepsi tersebut, Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti efektif, partisipatif, transparan, akuntabel, produktif, dan sejajar serta mampu mempromosikan penegakan hukum. Di atas semua itu, atribut utama Good Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam penyelesaian berbagai persoalan publik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu ditegakkan sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan absolut. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan menegakkan akuntabilitas sistem, struktur, organisasi dan staf atas apa yang menjadi tanggung jawab, fungsi, tugasnya yang antara lain terlihat dari perilaku atau budaya kerjanya.
Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap Good Governance dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik, adalah pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.

Tiga Dimensi Akuntabilitas
Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.
Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan finansial eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau melalui bantuan pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
Secara umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan akuntabilitas pelayan publik dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada atasannya, baik secara politik maupun administratif.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.
Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
 Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
 Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.
 Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.

Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen. Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya


Referensi
OECD Ministerial Symposium on the Future of Public Services, diselenggarakan di Paris, Maret 1996.
Agere, S., Promoting Good Governance. Commonwealth Secretariat Marlborough House Pall Mall, London, 2000.
World Bank, “Strengthening Local Government in Sub-Saharan Africa,” EDI Policy Seminar Report No. 21, Washington DC, 1989.
World Bank, Governance and Development, Washington, D.C., 1992.
Polidano, C., “Why Bureaucrats Can’t Always Do What Ministers Want: Multiple Accountabilities in Westminster Democracies.” Public Policy and Administration 13, No. 1, Spring 1998, p 38.