Budi Rahardjo
Pusat Penelitian Antar Universitas Bidang Mikroelektronika (PPAUME)
Institut Teknologi Bandung (ITB)
br@paume.itb.ac.id
September 2000
ABSTRAK
Report singkat ini mencoba mengidentifikasi beberapa masalah hukum dan teknologi.
1 PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi sudah sedemikian cepat sehingga merasuk dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tanpa disadari produk teknologi sudah menjadi kebutuhan manusia di Indonesia. Penggunaan televisi, telepon, fax, cellular phone (handphone), dan sekarang Internet sudah bukan menjadi hal yang aneh dan baru, khususnya di kota-kota besar.
Alangkah anehnya jika anda memerintahkan seseorang untuk menelepon dan dijawab bahwa dia tidak dapat menggunakan telepon. Semua orang harus dapat menggunakan telepon tanpa perduli apakah dia memiliki telepon di rumah atau tidak. Dalam waktu yang tidak lama hal yang serupa akan terjadi dengan email (electronic mail). Setiap orang diharapkan (expected) mampu menggunakan email meskipun dia tidak memiliki komputer. Teknologi mengubah ekspektasi dari seseorang.
Di satu sisi penerapan teknologi mempermudah hidup manusia, di sisi lain dia menimbulkan permasalahan. Ada banyak aspek yang nampaknya membutuhkan bantuan hukum untuk menyelesaikannya.
2 BEBERAPA PERMASALAHAN
2.1 Masalah HaKI
Teknologi digital mempermudah duplikasi materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital (digitalized products). Contoh materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital adalah produk musik, film (video), karya tulis (buku), dan perangkat lunak (software). Teknologi digital dapat digunakan untuk menggandakan atau membuat copy dari materi tersebut dengan kualitas yang sama dengan aslinya tanpa merusak atau mengurangi sumber aslinya.
Pembajakan kaset, CD (baik dalam format aslinya ataupun dalam format MP3 dimana dalam satu CD dapat diisi dengan ratusan lagu), VCD, buku, dan sotfware marak dilakukan di seluruh dunia, meski yang menjadi sorotan adalah Asia (temasuk Indonesia di dalamnya). Teknologi untuk memproteksi seperti watermarking, dongle, enkripsi, dan sebagainya dicoba dikembangkan. Akan tetapi nampaknya pihak yang melakukan proteksi kalah langkah dengan pihak pembuka (code breakers).
Sudut lain dari masalah HaKI adalah adanya kelompok yang tidak setuju dengan proteksi yang berlebihan sehingga mencoba mengambil pendekatan lain seperti dengan menggunakan jalan public domain, copyleft, GNU Public License (GPL), dan sejenisnya. Cara ini tidak memecahkan masalah yang ada, akan tetapi mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang yang lain. (Jika sudah public domain, maka tidak ada masalah pencurian.)
Kasus yang cukup ramai disoroti adalah kasus perusahaan Napster . Perusahaan ini memberikan layanan untuk mempermudah pengguna Internet dalam tukar menukar file MP3 (lagu). Dalam hal ini, Napster sendiri tidak menyediakan koleksi lagu dalam format MP3 akan tetapi hanya memfasilitasi pertukaran MP3. Namun Napster mendapat tuntutan dari perusahaan rekaman.
Dalam waktu yang tidak lama lagi hal yang serupa akan terjadi dengan video. (Hal ini dikemukakan oleh John Gage dari Sun Microsystems.) Saat ini bandwidth (lebar pita) dari Internet masih kecil sehingga pertukaran video masih belum memungkinkan bagi sebagian besar orang. Pengguna Internet umumnya masih menggunakan fasilitas dial-up melalui telepon biasa dengan kecepatan maksimum 56Kbps sehingga untuk mentransfer video dalam format MPEG (yang banyak digunakan di VCD) membutuhkan waktu berjam-jam. Tapi jangan mengabaikan hal ini karena tahun lalu saja orang tidak mengira bahwa saat ini kita sudah dapat bertukar lagu via Internet. Teknologi komputer dan telekomunikasi berkembang dengan pesat.
Teknologi telekomunikasi dan komputer banyak menggunakan patent. Sebagai contoh adalah penggunaan algoritma enkripsi RSA yang umum digunakan untuk mengamankan transaksi atau komunikasi di Internet. Algoritma RSA ini dipatenkan oleh penemunya. Bayangkan bahwa “kehidupan elektronik” manusia bergantung kepada paten seseorang atau sekelompok orang. Untungnya paten tersebut sudah habis dan sekarang sudah menjadi public domain. Hal yang serupa dapat terjadi kembali. (Kasus yang sama juga terjadi dengan algoritma kompresi yang digunakan dalam format GIF yang umum digunakan sebagai format gambar di Internet. Pemilik patent GIF, Unisys, pernah diisyukan meminta bayaran dari setiap gambar yang menggunakan format tersebut.)
2.2 Masalah Nama Domain Internet
Nama domain (misalnya .com) yang digunakan sebagai alamat dan identitas di Internet juga memiliki permasalahan sendiri. Penamaan domain berkaitan erat dengan nama perusahaan dan/atau produk (servis) yang dimilikinya. Seringkali produk / service ini didaftarkan sebagai trademark atau servicemark. Bagaimana aturan pengunaan trademark milik orang lain dalam nama domain?
Masalah nama domain ini cukup pelik dikarenakan di dunia ini ada beberapa pengelola nama domain yang independen. Ada lebih dari dua ratus pengelola domain yang berbasis teritory (yang sering disebut sebagai Country Code Top Level Domain atau ccTLD). Sebagai contoh saya mengelola domain untuk Indonesia (.ID). Bolehkah seseorang mendaftarkan nama domain yang sebetulnya ditrademarkkan di negara lain? Darimana pengelola domain tahu bahwa nama tersebut merupakan trademark yang terdaftar di negara lain?
Kasus pertikaian sudah terjadi seperti contohnya adalah kasus mustika-ratu.com yang diduga didaftarkan oleh kompetitor dari perusahaan Mustika Ratu. Bagaimana juga jika ada yang mendaftarkan dengan nama orang yang terkenal (seperti kasus JuliaRoberts.com dan JohnTesh.com)? Apa landasan hukum yang digunakan? Di Amerika Serikat ada “Anti-Cybersquatting Consumer Protection Act” yang ditandatangani oleh presiden Clinton yang mengatakan:
Any person who registers a domain name that consists of the name of another living person, or a name substantially and confusingly similar thereto, without that person’s consent, with the specific intent to profit from such name by selling the domain name for financial gain to that person or any third party, shall be liable in a civil action by such person.
2.3 Masalah Perijinan
Di Indonesia, untuk layanan Internet membutuhkan ijin khusus. Internet Service Provider (ISP) atau Penyedia Jasa Internet (PJI) harus mendapatkan lisensi dari Dirjen Postel, Departemen Perhubungan. Di negara lain, seperti di Canada, ISP tidak membutuhkan ijin khusus.
Telekomunikasi di Indonesia masih dimonopoli. Pelanggaran monopoli ini melalui teknologi sudah terjadi melalui penyediaan jasa Voice over IP (VoIP) oleh beberapa orang dan perusahaan. Bahkan, sudah ada kasus penangkapan orang yang menyediakan jasa VoIP. (Dalam pemberitaan surat kabar bahkan disebutkan bahwa orang yang memberikan layanan VoIP tersebut seolah-olah mencuri pulsa PT Telkom.) Layanan VoIP pada prinsipnya adalah mengubah suara (voice) menjadi data dan mengirimkan data ini melalui saluran Internet. Penyedia layanan VoIP berargumentasi bahwa yang dia salurkan adalah data bukan voice oleh sebab itu dia tidak melanggar monopoli Telkom dan Indosat. Pihak pemerintah merasa bahwa yang dikirimkan asalnya berupa voice sehingga sebetulnya merupakan layanan suara (voice) juga. Ini merupakan contoh bahwa teknologi mengubah segalanya. Dalam waktu dekat, tidak hanya voice saja yang dapat dikirimkan dengan real-time akan tetapi juga gambar. Maka akan terjadi Multimedia over IP.
VoIP hanya salah satu teknologi saja. Masih ada teknologi lain seperti Voice over ATM dimana protokol ATM digunakan sebagai pengganti protokol IP. Selain IP dan ATM, masih ada protokol lain seperti IPX (yang banyak digunakan oleh Novell) dan Appletalk (yang banyak digunakan oleh Apple). Apakah nanti akan ada hukum yang mangatur VoATM, VoIPX, VoAppletalk? Hukum seharusnya technology neutral sehingga adanya perubahan teknologi tidak harus mengubah hukum yang ada.
Jika nanti seorang pengguna dapat memberikan layanan broadcasting melalui Internet (Radio Internet dan TV Internet), apakah perlu meminta ijin dari pemerintah? Perlu diingat bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi, setiap orang dapat menjadi broadcaster. Lagi-lagi ini masalah perijinan.
Undang-undang anti monopoli diharapkan dapat mengurangi masalah yang timbul. Akan tetapi masih tetap menjadi pertanyaan dalam implementasinya. Monopoli merupakan penghambat kompetisi dan inovasi yang menguntungkan masyarakat (komunitas).
2.4 Masalah privacy
Di Indonesia masalah privacy masih belum menjadi masalah yang besar. Di luar negeri, masalah privacy ini menjadi perhatian utama. Seringkali kita mengisi formulir yang menanyakan data-data pribadi (nama, alamat, tempat tanggal lahir, agama, status, dan sebagainya) tanpa informasi yang jelas mengenai penggunaan data-data ini. Bagaimana jika data-data ini diperjual belikan?
Mengingat perniagaan secara elektronis (e-commerce) mencakup seluruh dunia, maka privacy policy menjadi salah satu kendala perniagaan antar negara. Jika pelaku bisnis di Indonesia tidak menerapkan privacy policy maka mitra bisnis di luar negeri tersebut tidak bersedia melakukan transaksi bisnis. Mereka berkewajiban menjaga privacy dari client atau users mereka.
Masalah lain yang berkaitan akan tetapi mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda adalah masalah confidentiality dan trade secrets.
2.5 Masalah Keamanan
Internet merupakan salah satu produk gabungan teknologi komputer dan telekomunikasi yang sukses. Internet mulai digunakan sebagai media untuk melakukan bisnis dan kegiatan sehari-hari. Yang sering menjadi pertanyaan adalah tingkat keamanan dari teknologi Internet.
Keamanan di Internet sebetulnya sudah pada tahap yang dapat diterima. Hanya hal ini perlu mendapat pengesahan dari pemerintah sehingga pelaku bisnis mendapatkan kepastian hukum.
Identitas seseorang dapat diberikan dengan menggunakan digital signature yang dikelola oleh Certification Authority (CA). Masalahnya tanda tangan digital ini belum dapat dianggap sebagai bukti yang sah meskipun sebetulnya tingkat keamanannya cukup tinggi. Di beberapa negara, hal ini sudah diakomodasi dalam bentuk “Digital Signature Act”.
Kejahatan yang ditimbulkan dengan teknologi komputer dan telekomunikasi perlu diantisipasi. Istilah hacker , cracker, cybercrime mulai sering didengar. Kejahatan yang menyangkut orang Indonesia juga sudah terjadi. Baru-baru ini seorang cracker Indonesia ditangkap di Singapura dan diadili di sana. Ada lagi fraud yang dilakukan oleh pengguna Internet Indonesia dengan tidak mengirimkan barang atau uang yang sudah disepakati dalam transaksi e-commerce.
Kejahatan cyber umunya dapat disusuri (trace) dengan bantuan catatan (logfile) yang ada di server ISP yang digunakan oleh cracker. Akan tetapi seringkali ISP tidak melakukan pencatatan (logging) atau hanya menyimpan log dalam kurun waktu yang singkat (dikarenakan besarnya jumlah data yang harus dicatat). Logfile ini sebetulnya dapat menjadi bukti adanya akses cracker tersebut. Namun logfile ini (jika ada) belum tentu dapat menjadi bukti yang sah di pengadilan.
Penyidikan kejahatan cyber ini juga membutuhkan keahilan khusus. Pihak penegak hukum harus lebih cepat tanggap dalam menguasai teknologi baru ini.
3 PENUTUP
Tulisan singkat ini tentunya belum mencakup seluruh permasalahan hukum yang timbul dengan adanya kemajuan teknologi. Meskipun demikian tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan permasalahan yang ada. Masalah-masalah lain yang belum disentuh dalam tulisan ini adalah Internet Gambling, penggunaan caching, spamming, electronic money / cash, pajak (tax), dan perlindungan konsumen.
Untuk mengatasi dan mengantisipasi masalah yang akan terjadi maka sebaiknya ada dialog yang berkelanjutan antara pihak yang mengerti teknologi dan pihak yang mengerti hukum serta penegak hukum. Dengan demikian, hukum tidak menjadi bumerang bagi komunitas itu sendiri.
4 BAHAN BACAAAN
1. Warwick Ford dan Michael S. Baum, “Secure Electronic Commerce,” Prentice Hall, 1997.
2. Shelley M. Liberto, Esq., “Closing the Celebrity Domain Name Loophole,” wwwiz, vol. 6, April 2000, pp.38-39.
3. Andrew C. L. Ong, et al., “Your Guide to e-commerce Law in Singapore”, Drew & Napier, Estd. 1889, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar