Jumat, Juli 18, 2008

Pemerintah Terbitkan PP Tata Cara Pemberhentian Jaksa



[24/3/08]
Beleid ini diteken Presiden dua hari sebelum jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan penyidik KPK.
Efek bola salju penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan masih terus menggelinding. Jaksa-jaksa yang ikut menyelidiki perkara BLBI turut diperiksa oleh bidang pengawasan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun hingga kini baru Urip Tri Gunawan (UTG) yang diberhentikan sementara.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung BD Nainggolan menjelaskan bahwa UTG diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil melalui Keputusan Jaksa Agung tertanggal 6 Maret 2008. “Berdasarkan keputusan Jaksa Agung, jaksa UTG diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil,” ujarnya kepada pers 12 Maret lalu.

Ditambahkan Nainggolan, status Urip sebagai PNS akan ditinjau ulang setelah sidang perkara dugaan suap selesai digelar. Normatifnya, jika hakim menjatuhkan vonis bersalah dan putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka seorang jaksa bisa diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya.

Kalau dugaan perkara pidana yang melibatkan jaksa baru masuk tahap penuntutan, si jaksa bisa diberhentikan sementara. Tindakan yang sama bisa dikenakan jika diperoleh cukup bukti untuk diberhentikan tidak dengan hormat. Norma lain mengatur bahwa Jaksa Agung dapat secara otomatis memberhentikan sementara seorang jaksa dari jabatannya jika terdapat perintah penangkapan yang diikuti penahanan secara sah oleh pejabat yang berwenang.

UTG tertangkap tangan menerima uang AS$660 ribu dari tersangka lain Artalyta Suryani di rumah pengusaha Sjamsul Nursalim, pada Minggu sore 2 Maret lalu. Ternyata, dua hari sebelum penangkapan UTG, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008. Beleid ini mengatur tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara, Serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.

Berdasarkan beleid ini, jaksa yang diberhentikan sementara atau dibebaskan sementara dari jabatannya tidak berwenang melaksanakan tugas fungsional jaksa. Ia juga tidak berhak memperoleh tunjangan fungsional jaksa. Sebaliknya, ia masih berhak mendapatkan gaji sebagai PNS. Lain halnya kalau seorang jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, maka ia tidak berhak lagi memperoleh hak-hak kepegawaian.

Dalam kasus UTG, ia justru diberhentikan sementara sebagai PNS. Menurut BD Nainggolan, dengan status diberhentikan sementara, UTG hanya akan menerima 50 persen dari gaji pokok yang dia terima terakhir sebelum ditangkap KPK. Sebelum diberhentikan sementara UTG menjabat sebagai Kasubdit Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Lain pada Jampidsus, dengan Golongan IV A. Lantaran jabatannya itu pula ia menetuai tim penyelidik BLBI II untuk kasus Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

PP tersebut mulai berlaku sejak 28 Februari 2008. Jadi, sebenarnya sudah bisa diterapkan kepada UTG. Namun dalam penjelasannya kepada wartawan tempo hari Nainggolan tak menyinggung sama sekali PP ini. UTG justru diberhentikan berdasarkan PP No. 4/1966. Menurut Nainggolan, itu karena UTG diberhentikan sebagai PNS, sedangkan PP 20/2008 secara khusus mengatur pemberhentian sebagai jaksa. “Makanya, kepada UTG diberlakukan ketentuan lama,” ujarnya kepada hukumonline.

Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto berpendapat belum ada terobosan berarti dalam PP ini dibanding ketentuan pemberhentian yang diatur dalam UU No. 16/2005 tentang Kejaksaan. Kebijakan pemberhentian jaksa bisa disebut terobosan kalau Jaksa Agung memberhentikan seorang jaksa karena pelanggaran etika profesi dan melakukan tindak pidana tanpa alur yang berbelit-belit.
http://hukumonline.com/detail.asp?id=18816&cl=Berita

Tidak ada komentar: