Rabu, Desember 24, 2008

Kalau Negara yang Utang, Mana Tanggung Jawabnya?

Author: Hukum Online http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20012&cl=Berita

Menkeu dan Gubernur BI digugat oleh ahli waris pemegang surat pengakuan utang negara tahun 1946. Para ahli waris gundah lantaran pemerintah tak kunjung membayar utang sebesar Rp300 plus bunga 4% kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Menkeu berdalih perkara itu sudah kadaluarsa.

Gara-gara punya utang 300 perak, Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Indonesia (BI) harus berurusan di pengadilan. Keduanya digugat oleh nasabah pemegang surat pengakuan utang negara (sekarang semacam Obligasi Ritel Indonesia -ORI). 

 Adalah Artip dan Arsih, suami istri asal Banten yang menggugat kedua pejabat negara itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Artip dan Arsih memang sudah meninggal, tapi kelima anaknya yang kini memperkarakan kasus utang piutang ini. Mereka adalah Apsah, Arpinah, Sarnah, Omo Sumarmo, dan Hadijah. Kelimanya gundah lantaran tagihan piutang milik orang tuanya kepada pemerintah tak kunjung dibayar.

Kejadian itu sendiri sudah sangat lama. Tepatnya 62 tahun silam. Kala itu, di bulan Mei 1946 atau menjelang satu tahun Indonesia merdeka, pemerintah pimpinan Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional 1946. Ketika itu pemerintah berniat melakukan pembangunan terutama di bidang pertahanan, ekonomi dan sosial. Namun, terjadi krisis multi dimensi. Pemerintah pun tidak punya dana untuk menggerakan roda pemerintahan. Penerimaan negara tidak mencukupi untuk biaya pembangunan. Karena itu pemerintah mengadakan pinjaman dalam negeri atas tanggungan negara. 

Artip selaku pangreh peraja (demang) di kawasan Banten saat itu tergerak untuk membantu pemerintah. Ia pun menjual kerbau peliharaannya dan barang-barang dagangannya untuk menyumbang negara. Dalam gugatan ahli warisnya disebutkan, Artip tercatat membeli pinjaman nasional 1946 sebanyak tiga kupon. Setiap kupon bernilai f100 atau setara dengan Rp100, dengan bunga pinjaman sebesar 4%. Kupon tersebut tercatat dalam Resipis Oentoek Soerat Pengakoean Oetang pada tanggal 1 Mei 1946 No. A. 92756 yang ditandatangani oleh Soerachman, Menkeu waktu itu. 

Rencananya pemerintah akan mengembalikan pinjaman itu plus bunganya delapan tahun mendatang. Upaya itu ditandai dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 1954 tentang Pembayaran kembali Pinjaman Nasional 1946. Pasal 3 UU itu menyatakan, Menkeu diberi kuasa untuk melunasi pinjaman nasional 1946 selambat-lambatnya dalam waktu lima tahun anggaran terhitung sejak 1954. Dengan catatan 5% utang akan dibayar sekaligus, sedang sisanya akan diatur oleh Menkeu.

 

Tak lama berselang muncul Keputusan Menkeu tanggal 1 Agustus 1955 tentang Pelaksanaan Pembayaran. Setahun kemudian, tepatnya 6 Agustus 1956, Menkeu kembali mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang perpanjangan batas waktu pendaftaran kembali pinjaman nasional 1946. 

Ternyata Artip tidak mengetahui adanya peraturan-peraturan tersebut. Karena tempat tinggalnya yang berada di pelosok Banten, Artip praktis tidak mengetahui adanya informasi dari Jakarta soal pengembalian pinjaman dari pemerintah itu. Boro-boro informasi soal utang, pergantian jajaran kabinet pun mungkin Artip juga tidak tahu.

Hingga akhir hayatnya Artip tidak berhasil mencairkan piutangnya kepada negara. Anak-anaknya pun tidak berdaya untuk menagih haknya selaku ahli waris. Mereka tidak memiliki biaya untuk menempuh jalur hukum. Apalagi jenjang pendidikan anak-anaknya yang tidak tamat SMP, membuat mereka tidak “melek” hukum. 

Tanpa disengaja, di pertengahan 2008, salah satu anak Artip curhat kepada seorang pengusaha kripik nangka. Namanya M. Ramli. Ternyata selain juragan kripik, Ramli juga berprofesi sebagai advokat yang berkantor di Kota Batu, Jawa Timur. Kebetulan anak Artip itu bekerja sebagai sales pada usaha sampingan Ramli tersebut. Mendengar cerita yang dialami keluarganya, Ramli tergugah untuk membantunya. “Kalau kita yang punya utang, negara bisa melakukan apa saja untuk menagih, seperti menyita harta. Kalau negara yang utang mana tanggung jawabnya?” ujar Ramli.

 Sudah kadaluarsa

Ramli lantas mencari keabsahan dari surat pengakuan utang yang masih dipegang oleh ahli waris Artip. Setelah dicek di Balai Perpustakaan Nasional, ternyata tanda tangan Menkeu yang ada dalam surat itu sesuai dengan tanda tangan Menkeu Soerachman. Yakin dengan keabsahan bukti tersebut, Ramli lantas menawarkan diri sebagai kuasa hukum ahli waris, meskipun dilakoni secara pro bono. Ia lalu menyurati surat penagihan ke Menkeu. 

Dalam surat balasannya, Menkeu menyatakan penagihan sudah kadaluarsa. Sebab sejak 1954 pemerintah telah mengumumkan pembayaran utang lewat UU 26/1954 dan Keputusan Menkeu. Hal senada juga disampaikan Menkeu dalam jawaban atas gugatan ahli waris Artip. 

Meski ditolak, Ramli dan anak-anak Artip tidak patah arang. Menurut Ramli, surat itu justru memperkuat keabsahan tagihan atas piutang Artip. “Berarti Menkeu mengakui adanya tagihan,” katanya. 

Menurut Ramli, UU 26/1954 dan peraturan pelaksanaannya tidak pro kepada masyarakat. “Pada waktu itu kan orang tidak bisa membaca dan menulis, jadi tidak tahu soal pengumuman itu,” jelasnya. Ia menuturkan seharusnya pemerintah pro aktif mencari kreditur yang berhak atas pembayaran utang. 

Sekarang nilainya Rp1,185 miliar

Berbekal keyakinan itu, pada 19 Agutus 2008 lalu, Ramli mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Menkeu dan Gubernur BI ke PN Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, kuasa hukum penggugat menampik dalih Menkeu. Menurut mereka, utang piutang tidak mengenal kadaluarsa. “Menkeu tetap harus membayar utang. Lantaran utang tidak dibayar, ahli waris Artip tidak saja mengalami kerugian ekonomis, secara moril mereka juga dirugikan. Mereka tidak bisa mengenyam pendidikan karena tidak ada biaya. Penggugat menuntut ganti rugi moril sebesar Rp10 miliar,” papar Ramli. 

Perhitungan kerugian ekonomis diperkirakan sebesar Rp1,185 miliar dengan asumsi bahwa harga emas pada tahun 1946 sebesar Rp2 per gram. Uang Rp100 berarti setara dengan 50 gram emas. Jika di konversi dengan nilai emas sekarang yaitu Rp250 ribu per gram, maka 50 gram emas nilainya menjadi Rp12,5 juta. Jika ditambah bunga 4%, jumlahnya mencapai Rp384,5 juta. Berhubung, Artip memiliki tiga kupon obligasi maka total keseluruhannya adalah Rp1,185 miliar. Nilai itulah yang harus dibayar Menkeu. 

Sedangkan Gubernur BI selaku pemegang kas pemerintah (Tergugat II) –sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI– dituntut mencairkan dana tersebut.

 Setelah tidak menemui titik temu pada mediasi, kasus ini kemudian berlanjut ke tahap jawaban dari Tergugat. Dalam sidang lanjutan, Rabu (27/8), Gubernur BI selaku tergugat II, melalui kuasa hukumnya dari Direktorat Hukum BI, membantah telah melakukan perbuatan melawan hukum. Alasannya, tidak ada ketentuan yang mewajibkan BI untuk melakukan pembayaran atas nama Menkeu. “BI tidak bisa mencairkan kas pemerintah tanpa perintah Menkeu,” demikian salah satu petikan jawaban dari gubernur bank sentral tersebut. 

Hingga kini, BI juga tidak pernah menerima perintah dan sarana penarikan rekening giro milik pemerintah. Karena itu BI tidak mungkin dan tidak berkewajiban melakukan pendebetan rekening pemerintah. Dengan dalih itu, kuasa hukum BI meminta agar majelis hakim menolak gugatan. 

(Mon)