Jumat, Juli 11, 2008

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF: POSISI DAN POTENSINYA DI INDONESIA

Adrianus Meliala
Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak

Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan.
Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah.
Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia.


Pendahuluan
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi.
Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (recht staat), dan bukan Negara Kekuasaan (macht staat), maka salahsatu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (citizen who abides the law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (law abiding citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (law enforcement process). Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost) .
Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan atau macht staat tadi, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum formal via litigasi. Dalam kenyataannya, di negara-negara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh terjelas adalah terhadap peradilan), sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil .
Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution .
Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).
Makalah ini untuk selanjutnya menguraikan pertama-tama tentang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif itu sendiri sebagai suatu kajian yang telah berkembang, dilanjutkan dengan pembahasan tentang posisinya dalam sistem hukum Indonesia dan potensi pengembangan masa depan. Dalam sub Penutup, akan diajukan sejumlah rekomendasi terkait aplikasinya di Indonesia.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif
Yang pertama-tama perlu ditekankan adalah bahwa istilah “penyelesaian diluar pengadilan” tidak sama dengan istilah ADR, meskipun terdapat kesamaan dimana suatu perkara pelanggaran pidana tidak diajukan ke pengadilan. Apabila ADR merupakan lembaga yang diakui secara hukum sebagai lembaga penyelesai perkara yang sah dan diatur dalam peraturan perundang-undangan melalui mekanisme mediasi, arbitrase, negosiasi atau rekonsiliasi, tidak demikian halnya dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Untuk yang kedua ini, umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal) dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan utama dari penggunaan ADR dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.
Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut :

1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP)
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda
4. pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat

Sedangkan kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan. Terakhir, juga tidak semua kalangan setuju bahwa ADR dalam konteks pidana pada dasarnya sederajat atau ekuivalen satu sama lain.
Salahsatu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana hubungan antara ADR dan Restorative Justice (selanjutnya disebut dengan RJ). RJ merupakan salahsatu model ADR dimana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/ anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Dalam RJ, pihak-pihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun rekonsiliasi demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Hubungan baik ini berguna untuk, salahsatunya, menekan residivisme . Dalam hal ini, korban memainkan peran yang utama dalam proses penyelesaian masalah dan dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi kepada pelaku . Singkatnya, RJ menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.

Posisi Dalam Sistem Hukum
Pemerintah, khususnya melalui Presiden Megawati Soekarnoputri, menurut Gayus Lumbuun, sesungguhnya telah memperkenalkan ADR dalam sistem hukum pidana, yakni melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri/kepala lembaga pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional .
Dalam diktum pertama angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 tersebut dinyatakan bahwa, “dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masih menurut Gayus Lumbuun, sebagai suatu kebijakan, maka kelemahan dari kebijakan release and discharge (R &D) ini terlihat dari kurang kuatnya landasan hukum pelaksanaan R & D itu sendiri. Seharusnya, kebijakan R & D dituangkan dalam undang-undang dan diatur secara komprehensif menjadi suatu bentuk alternatif penyelesaian perkara-perkara non-pidana. Betapapun demikian, secara substantif, konsep R & D merupakan langkah maju dalam sistem hukum pidana yang mengarah kepada alternative dispute resolution system.
Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salahsatu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salahsatu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan.
Hal ini penting untuk ditekankan mengingat konstruksi hukum pidana Indonesia sebenarnya tidak mengenal model penyelesaian perkara pidana melalui ADR. Sebagaimana dapat terlihat, dalam hal perkara perselisihan yang termasuk bidang hukum non-hukum pidana sekalipun, model ADR ditempatkan sebagai alternatif terakhir.
Selanjutnya, di tingkat peradilan, ADR tidak terlepas dari pasal 130 HIR/154 Rbg yang memberi dasar hukum adanya Court Annexed Mediation (lembaga mediasi di pengadilan). Karena pasal 130 HIR/154 Rbg kurang jelas baik prosedur, tahapan dan acaranya, maka Mahkamah Agung RI pada tanggal 11 September 2003 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma yang terdiri dari 18 pasal itu antara lain berdasarkan pertimbangan bahwa institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) . Maka, hakim dalam hal ini berperan aktif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam waktu 22 hari.
Di Mahkamah Agung dewasa ini, telah sejak beberapa lama dibentuk Pusat Mediasi Nasional yang berfungsi untuk menyebarluaskan kemampuan (skill) khususnya bagi para hakim dalam rangka melakukan mediasi antar para pihak dalam kasus yang memungkinkan hal itu terjadi. Selanjutnya, dorongan melakukan mediasi terkait penyelesaian kasus juga dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai tingkatan kewilayahan. Salahsatunya adalah yang hingga kini ditumbuhkembangkan LP3S melalui program Balai Mediasi Desa di Nusa Tenggara Barat .
Secara yuridis pula, menurut Artidjo Alkostar, ADR diluar pengadilan telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode ADR, antara lain BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang memfokuskan diri pada dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi (UU No. 18 Tahun 1999 jo UU No.m 29 Tahun 2000 jo PP No. 29 Tahun 2000) dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula terdapat ADR-ADR yang lain, seperti menyangkut masalah hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan usaha, konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain.
Di pihak lain, terdapat pula rencana Pemerintah untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Rencana ini telah tertunda sekian lama, yang salahsatu penyebabnya adalah adanya debat tak berkesudahan antara ahli hukum yang berperspektif legal-konvensional dan yang berperspektif legal-sosiologis. Khususnya diantara mereka yang berperspektif legal sosiologis, telah cukup lama terpengaruh oleh model berpikir liberal dalam rangka proses peradilan pidana, yang kemudian banyak dikenal dengan due process liberal model.
Adapun beberapa prinsip utama dari model berpikir ini sebagai berikut :

1. Titik berat adalah pada kualitas kasus, bukan kuantitasnya. Sumber daya perlu dikerahkan guna mengungkap kasus secara tuntas dan, olehkarenanya, tidak perlu mengejar jumlah
2. Amat memelihara hak-hak individual dan juga memperhatikan situasi individual tersangka. Selanjutnya, model ini juga menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak korban.
3. Jika hukum dianggap memperburuk situasi tersangka serta korban, demikian pula diprediksikan tidak akan memperbaiki hubungan dengan korban, maka sebaiknya tidak atau jangan dipergunakan


Potensi Pengembangan
Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kasus-kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut:
Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu, ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya.
Kedua, tindakan pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi .
Dalam kaitan itu, maka tak terhindarkan apabila pemanfaatan ADR dalam perspektif ini lebih dirasakan pentingnya untuk dikembangkan oleh kepolisian ketimbang kejaksaan ataupun pengadilan, mengingat peran kepolisian sebagai gerbang awal dari sistem peradilan pidana. Dapat diperkirakan bahwa suatu kasus yang telah dimulai secara ADR, katakanlah demikian, akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan cara ADR pula ketimbang ADR dimunculkan di tengah (ketika perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir proses peradilan pidana (maksudnya diputus oleh pengadilan).
Dalam konteks kepolisian tersebut, maka isyunya adalah sebagai berikut: Terkait sistem peradilan pidana Indonesia, maka pada dasarnya proses yang harus dilalui dan berkas yang perlu dilengkapi terkait perkara besar atau kecil, sebenarnya sama saja. Dalam kaitan itu, perkara kecil seyogyanya diselesaikan dengan cara lain guna menghindari tumpukan perkara (congestion). Adapun yang dimaksud dengan perkara kecil atau ringan mencakup sebagai berikut:
- Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP
- Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
- Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut:
- Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan
- Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia
- Pasal 364 tentang pencurian ringan
- Pasal 373 tentang penggelapan ringan
- Pasal 379 tentang penipuan ringan
- Pasal 482 tentang penadahan ringan
- Pasal 315 tentang penghinaan ringan

Kembali pada perkara kecil atau ringan tersebut, maka masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana. Kapasitas itulah yang kita kenal dengan sebutan ”peradilan adat” atau village justice (dorpsrechtspraak) yang pada dasarnya merupakan upaya penduduk secara sukarela untuk menyelesaikan permasalahannya kepada suatu badan yang diketuai oleh kepala desa, tetua atau badan lain yang diakui dalam masyarakat. Setiap masyarakat, diyakini bahkan oleh ahli seperti teer Haar (1948) sebagai dimiliki oleh setiap masyarakat lokal dan dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang mereka hadapi . Sayangnya, kapital sosial ini telah sejak beberapa lama tertinggal atau bahkan dilupakan pengembangannya. Salahsatu yang tertinggal adalah lembaga sosial Pecalang di Bali .
Kebijakan untuk tidak lekas-lekas membawa kasus yang kecil ke jalur penyidikan, juga selaras dengan model kegiatan kepolisian ”perpolisian komunitas” (terjemahan bebas dari community policing) yang dalam konteks Polri dikembangkan dengan dua elemen minimal (dari berbagai elemen yang secara teoritik dianjurkan oleh community policing) saja yakni kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving). Hal itu tercermin dalam Surat Keputusan Kapolri no 737/X/2005 . Dengan kata lain, justru dewasa ini hendak dipacu inisiatif maupun kemampuan masyarakat yang dibantu kepolisian setempat guna mengupayakan terjadinya pemecahan masalah terkait kasus-kasus lokal dan bersifat ringan.
Selain diskresi (sebagai suatu pengenyampingan hukum atas masalah hukum) maupun ADR (penggunaan cara lain atas masalah hukum), maka sebenarnya masih terdapat satu lagi mekanisme bernuansa ADR dalam kepolisian. Mekanisme itu sering disebut dengan diversi (atau pembelokan non-penal oleh) polisi atau police diversion . Seperti juga dikresi dan ADR, maka diversi polisi juga sebenarnya telah sering dilakukan namun kerap tidak disadari oleh kepolisian sendiri. Adapun jenis-jenisnya mencakup mulai dari pengabaian pidana atau pelanggaran yang telah terjadi (offence ignored), pemberian peringatan secara informal (informal warning), pemberian peringatan formal (formal warning), pemberitahuan bersifat pembatasan (infringement notice) hingga perintah kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (public address)

Penutup
Telah diperlihatkan berbagai penjelasan maupun perkembangan situasi terkait ADR sebagai suatu mekanisme terobosan dalam hukum dan perkembangannya di Indonesia. Hampir semuanya menjanjikan masa depan yang cerah guna mengatasi problem hukum itu sendiri, terutama dari sisi proses yang belum bisa menjanjikan kecepatan putusan, akurasi penanganan serta biaya yang murah sekaligus.
Ke depan, diharapkan akan ada lebih banyak lagi terobosan yang dilakukan para pimpinan lembaga-lembaga hukum guna memungkinkan hidupnya ADR. ADR tentu saja tidak seyogyanya dilihat sebagai kompetitor, tetapi justru penyaring atau filter agar kasus yang benar-benar kompleks-lah yang kemudian ditangani para profesional di bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan.


===





















Daftar Pustaka

Alkostar, A., “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salahsatu Bentuk Mekanisme
Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta, 2007
Kapolri, Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri, Surat Keputusan, November 2005
LP3ES, Program Penguatan Balai Mediasi Desa, naskah proposal, Jakarta, 2005
Lumbuun, T.G.., ”Alternative Dispute Resolution Di Dalam Sistem Peradilan
Pidana”, makalah, Jakarta, 2007
Meliala, A., ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, 2001
Meliala, A. et. al, Restorative Justice: Sistem Pembinaan Narapidana untuk Pencegahan
Residivisme, laporan, AusAID & Departemen Kriminologi FISIP UI, 2004
Meliala, A., ”Dampak Proses ADR dalam Penegakan Hukum Polri”, makalah, Jakarta,
2007
Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara Pidana Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, makalah, Jakarta, 2007
Nordholt, H.S., Bali: an open fortress, draft buku, KITLV-Leiden
Soedarsono, T., “Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute
Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community
Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, makalah,
Jakarta, 2006
teer Haar, B., Adat Law in Indonesia, New York: Institute of Pacific Relations, 1948
Santosa, M.A & Wiwiek A., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”,
naskah presentasi, Jakarta, tanpa tahun

Bahan Internet
Suffolk University, College of Arts & Sciences, Center for Restorative Justice, Wikipedia


=================================
Adrianus Meliala, Drs. MSi. MSc. Ph.D Prof.
Kriminolog FISIP Universitas Indonesia
Email : adrianus@ui.edu

Sumber: www.adrianusmeliala.com/files/pub2/fpub2_22082007075220

AKTA NOTARIS

Akta notaris
Dari HukumPedia.com
Akta yang dibuat dihadapan notaris. Akta ini memiliki kekuatan pembuktian di hadapan pengadilan yang paling kuat dibandingkan alat bukti surat lainnya. Perbedaan utama dibanding akta lainnya adalah kesaksian notaris terhadap kapan perbuatan hukum dilakukan serta siapa yang melakukannya.
Akta Otentik
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.
Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

Kamis, Juli 10, 2008

Farza law Firm

FARZA LAWFIRM, adalah sebuah Kantor Hukum berpusat di Banda Aceh, Provinsi Aceh, didirikan sejak 1998, dan memberi perhatian untuk menangani berbagai kasus hukum seperti kasus sengketa perdagangan, ketenagakerjaan, perbankan, pendekatan masyarakat, pidana umumnya dan perdata, dalam arti yang luas.

Dipimpin J. Kamal Farza, kantor hukum ini bekerja untuk seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam khususnya, dan seluruh wilayah Republik Indonesia umumnya. Sejumlah Advokat berdedikasi dengan berbagai pengalaman bergabung dengan kantor ini, antara lain Nurul Ikhsan, Ratna Juwita, Evi Susanti, Junaidi dan Imran Mahfudi. Selain itu, sejumlah konsultan hukum dari berbagai perguruan tinggi di Aceh, bekerja untuk memberikan pelayanan dan advis hukum bagi klien yang membutuhkan jasa FARZA LAWFIRM.

Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak Hukum

[Code Of Conduct For Law Enforcement Officials]

Pasal 1

Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan tingkat pertanggungjawaban yang tinggi yang dipersyaratkan oleh profesi mereka.

Penjelasan:

(a) Istilah "petugas penegak hukum" mencakup semua pegawai hukum, apakah yang ditunjuk atau dipilih, yang melaksanakan kekuasaan-kekuasaan polisi, terutama kekuasaan menangkap atau menahan.

(b) Di Negara-negara di mana kekuasaan polisi dilaksanakan oleh para penguasa militer, apakah berseragam ataukah tidak, atau oleh angkatan keamanan Negara, maka batasan petugas penegak hukum akan dianggap mencakup pegawai yang melaksanakan pelayanan-pelayanan semacam itu.

(c) Pelayanan kepada masyarakat dimaksudkan untuk mencakup terutama pemberian pelayanan bantuan kepada anggota masyarakat yang karena alasan pribadi, ekonomi, sosial atau keadaan-keadaan darurat lain membutuhkan bantuan segera.

(d) Ketentuan ini dimaksudkan untuk meliputi tidak hanya semua perbuatan bengis, ganas dan membahayakan, tetapi meluas pada berbagai macam larangan menurut statuta-statuta pidana. Ketentuan ini meluas pada aturan-aturan tingkah laku orang-orang yang tidak mampu melaksanakan pertanggungjawaban pidana.

Pasal 2

Dalam melaksanakan kewajiban mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia, dan menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.

Penjelasan

(a) Hak-hak asasi manusia yang sedang dibicarakan diidentifikasikan dan dilindungi oleh hukum nasional dan hukum internasional. Di antara instrumen-instrumen internasional yang relevan adalah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Polltik, Deklarasi mengenai Perlindungan Semua Orang dari Dijadikan Sasaran Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, Tidak manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi Internasional tentang Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid, Konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, Aturan-aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap Narapidana, dan Konvensi Wina tentang Hubungan-hubungan Konsuler,

(b) Penjelasan-penjelasan Nasional pada ketentuan ini harus menunjuk ketentuan-ketentuan regional atau nasional yang mengidcntifikasi dan melindungi hak-hak ini.

Pasal 3

Para petugas penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya ketika benar-benar diperlukan dan sampai sejauh yang dipersyaratkan untuk pelaksanaan kewajiban mereka.

Penjelasan:

(a) Ketentuan ini menekankan bahwa penggunaan kekerasan oleh para petugas penegak hukum harus merupakan pengecualian; walaupun secara tidak langsung menyatakan bahwa para petugas penegak hukum dapat dikuasakan untuk menggunakan kekerasan seperti yang sepantasnya diperlukan menurut keadaan-keadaan untuk pencegahan kejahatan, atau dalam memberlakukan atau membantu dalam penangkapan yang sah terhadap para pelanggar atau yang diduga sebagai pelanggar, tidak satu pun kekerasan boleh digunakan sampai diluar dari yang boleh digunakan.

(b) Hukum nasional biasanya membatasi penggunaan kekerasan oleh para petugas penegak hukum sesuai dengan suatu asas sebanding. Harus dimengerti bahwa asas-asas sebanding nasional tersebut harus dihormati dalam penafsiran ketentuan ini. Pada kasus apa pun ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan menguasakan penggunaan kekerasan yang tidak sebanding dengan tujuan yang sah yang harus dicapai.

(c) Penggunaan senjata api dianggap sebagai tindakan yang ekstrem. Setiap usaha harus dilakukan untuk mengesampingkan penggunaan senjata api, terutama terhadap anak-anak. Secara umum, senjata api tidak boleh dipergunakan kecuali ketika seorang yang diduga sebagai pelanggar memberikan perlawanan senjata atau sebaliknya membahayakan kehidupan orang-orang lain dan tindakan-tindakan yang kurang ekstrem tidak cukup untuk menahan atau menawan orang yang diduga sebagai pelanggar. Dalam setiap kejadian yang di dalamnya sepucuk senjata api dilepaskan, maka suatu laporan harus segera disampaikan kepada para penguasa yang berwenang.

Pasal 4

Masalah-masalah yang mempunyai sifat rahasia dalam pemilikan para petugas penegak hukum harus dijaga tetap rahasia, kecuali jika pelaksanaan kewajiban atau kebutuhan-kebutuhan peradilan sepenuhnya memerlukan sebaliknya.

Penjelasan:

Dengan sifat kewajiban-kewajiban mereka, maka para petugas penegak hukum memperoleh informasi yang mungkin berkenaan dengan kehidupan-kehidupan pribadi atau yang secara potensial merugikan kepentingan-kcpentingan, dan terutama nama baik, orang lain. Pengawasan yang ketat harus dilaksanakan dalam menjaga dan menggunakan informasi tersebut, yang harus diungkapkan hanya dalam melaksanakan kewajiban atau melayani kebutuhan-kebutuhan peradilan. Pengungkapan apapun mengenai informasi tersebut untuk tujuan-tujuan yang lain secara keseluruhan adalah tidak tepat.

Pasal 5

Tidak seorang pun petugas penegak hukum dapat membebankan, menghasut atau membiarkan perbuatan penganiayaan apapun atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, dan juga tidak dapat menggunakan sebagai sandaran perintah-perintah atasan atau keadaan-keadaan pengecualian seperti keadaan perang, ancaman perang, ancaman terhadap keamanan nasional, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat umum yang lain apa pun sebagai pembenaran terhadap penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.

Penjelasan:

(a) Larangan ini berasal dari Deklarasi mengenai Perlindungan Semua Orang dijadikan Sasaran Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang Lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan, yang disetujui oleh Majelis Umum, yang menurutnya: "[Suatu perbuatan semacam itu adalah] suatu pelanggaran terhadap martabat manusia dan harus dikutuk sebagai pengingkaran terhadap tujuan-tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan dasar yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia [dan instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia internasional yang lain]."

(b) Deklarasi memberi batasan penganiayaan sebagai berikut: "...penganiayaan berarti setiap perbuatan di mana sakit yang berat atau penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan sengaja dibebankan oleh atau atas hasutan seorang pejabat pemerintah pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh darinya atau dari orang ketiga informasi atau pengakuan, menghukum dia karena suatu perbuatan yang telah dia lakukan, atau yang disangka telah melakukan, atau mengintimidasi dia atau orang-orang lain. Penganiayaan tersebut tidak mencakup sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, sanksi-sanksi sah yang melekat atau secara kebetulan sampai sejauh bersesuaian dengan Aturan-aturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana."

(c) Istilah "perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan" belum diberi batasan oleh Majelis Umum tetapi harus ditafsirkan agar supaya memberikan perlindungan yang seluas mungkin terhadap penyalahgunaan, apakah fisik atau mental.
Pasal 6

Para petugas penegak hukum harus menjamin perlindungan penuh untuk kesehatan orang-orang dalam tahanan mereka, dan terutama, harus mengambil tindakan segera untuk menjamin perawatan kesehatan setiap waktu diperlukan.

Penjelasan :

(a) Perawatan kesehatan, yang menunjuk pada pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh personel kesehatan manapun, termasuk para pelaksana kesehatan berijazah dan paramedis, harus dijamin apabila dibutuhkan atau diperlukan.

(b) Sementara personel kesehatan dimungkinkan untuk disertakan pada operasi penegak hukum, maka para petugas penegak hukum harus memperhatikan keputusan personel tersebut apabila mereka merekomendasikan pemberian kepada orang dalam tahanan itu perlakuan yang tepat melalui, atau dalam konsultasi dengan personel kesehatan dari luar operasi penegak hukum.

(c) Dimengerti bahwa para petugas penegak hukum harus juga menjamin perawatan kesehatan bagi para korban pelanggaran hukum atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam pelanggaran-pelanggaran hukum.

Pasal 7

Para petugas penegak hukum tidak dapat melakukan tindak korupsi apa pun. Mereka juga harus dengan keras melawan dan memerangi semua perbuatan semacam itu.

Penjelasan :

(a) Tindak korupsi apa pun, dalam cara yang sama seperti penyalahgunaan kekuasaan yang lain apa pun, adalah bertentangan dengan profesi para petugas penegak hukum. Hukum harus dilaksanakan sepenuhnya berkenaan dengan para petugas penegak hukum mana pun yang melakukan tindak korupsi, karena para pemerintah tidak dapat mengharapkan untuk memberlakukan hukum di antara warga negara mereka kalau mereka tidak dapat atau tidak mau memberlakukan hukum terhadap para pelaksana mereka sendiri dan di dalam perwakilan mereka.

(b) Sementara definisi mengenai korupsi harus tunduk pada hukum nasional, akan diartikan mencakup melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dalam melaksanakan atau dalam kaitannya dengan kewajiban-kewajiban seseorang, dalam menanggapi pemberian-pemberian, janji-janji atau insentif-insentif yang diminta atau yang diterima, atau penerimaan yang tidak sah akan barang-barang ini, sekali perbuatan itu sudah dilakuk an atau tidak dilakukan.

(c) Ungkapan "tindak korupsi" yang ditunjuk di atas akan diartikan mencakup percobaan korupsi.

Pasal 8

Para petugas penegak hukum harus menghormati hukum dan Undang-undang yang sekarang ini. Mereka diharuskan juga, sampai pada kemampuan mereka yang terbaik, mencegah dan dengan keras menentang setiap pelanggaran terhadap mereka.

Para petugas penegak hukum yang mempunyai alasan untuk meyakini bahwa suatu pelanggaran terhadap Undang-undang yang sekarang ini telah terjadi, atau kira-kira terjadi harus melaporkan masalah itu kepada para penguasa atasan mereka dan, bila perlu, kepada para penguasa atau organ lain yang tepat, yang diberi kekuasaan untuk meninjau kembali atau kekuasaan penggantian kerugian. (Judul Asli: Code Of Conduct For Law Enforcement Officials, Diadopsi dari General Assembly Resolution 34/169 Of 17 December 1979)

Rabu, Juli 09, 2008

Tentang Kami

FARZA LAWFIRM, adalah sebuah Kantor Hukum berpusat di Banda Aceh, Provinsi Aceh, didirikan sejak 1998, dan memberi perhatian untuk menangani berbagai kasus hukum seperti kasus sengketa perdagangan, ketenagakerjaan, perbankan, pidana umumnya dan perdata, dalam arti yang luas.

Dipimpin J. Kamal Farza, kantor hukum ini bekerja untuk seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam khususnya, dan seluruh wilayah Republik Indonesia umumnya. Sejumlah Advokat berdedikasi dengan berbagai pengalaman bergabung dengan kantor ini, antara lain Nurul Ikhsan, Ratna Juwita, Evi Susanti, Junaidi dan Imran Mahfudi. Selain itu, sejumlah konsultan hukum dari berbagai perguruan tinggi di Aceh, bekerja untuk memberikan pelayanan dan advis hukum bagi klien yang membutuhkan jasa FARZA LAWFIRM.