Kamis, November 03, 2011

"Legal Standing", Sisi Lain Pengujian UU di MK

Prof. DR. H.M. Laica Marzuki, S.H.


MENCERMATI putusan-putusan yang telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi, akan terpampang beberapa fakta menarik tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam merumuskan putusannya. Dari keputusan "kontroversial" berupa pembatalan keberlakuan klausul Pasal 60 huruf g maupun putusan yang menyatakan NO (niet ontvankelijke verklaard) hingga beberapa jenis putusan lain akan memperlihatkan betapa krusial masalah pemenuhan legal standing pemohon. Suatu pokok persoalan yang menjadi inti karena dengan legal standing yang benar, akan mengesahkan seorang pemohon untuk mengajukan permohonannya.

DALAM perkara pengujian undang- undang (UU), legal standing (lazim dibahasakan "kedudukan hukum") merupakan hal yang mendasari pembenaran subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian UU ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK). Legal standing adalah suatu entitle atau dasar hak subyektum hukum untuk mengajukan permohonan pengujian UU.

Menurut Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara. Sedangkan pada Ayat (2) digariskan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Adapun penjelasan Pasal 51 Ayat (1) UU ini mengemukakan, yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Dengan demikian, legal standing ini punya titik berangkat yang jelas, yakni adanya pemberlakuan UU yang karena pemberlakuan itu mengakibatkan orang perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dan karena ia dirugikan, ia berkepentingan. Karena itu, untuk legal standing, berlaku adagium hukum dalam bahasa Perancis, yakni point d’etre point d’action, artinya tanpa kepentingan, tidak ada suatu tindakan.

"Legal standing"

Redaksional Pasal 51 UU tentang Mahkamah Konstitusi akan memetakan beberapa unsur penting legal standing. Pertama, unsur "hak dan/atau kewenangan konstitusional". Hak dan kewenangan konstitusional adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi sehingga harus merupakan hak yang diatur dalam UUD. Hal ini hampir secara aklamasi diterima oleh setiap pemikir hukum. Hanya saja, hal yang sering dipersoalkan adalah apakah "ruh" dari pasal ini dapat digunakan dan bukan sekadar susunan tekstual. Saya sendiri berpendapat, "ruh" pasal itu juga dapat digunakan sebagai landasan mendalilkan suatu hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan.

Kedua, unsur kata "menganggap". Kata ini melahirkan dua jenis arti yang berangkat dari ranah pemikiran yang juga berbeda. Dari sisi gramatikal, kata ini beraliran subyektif. Karena itu, tiap orang yang menganggap dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan permohonan oleh perasaan yang dirugikan itu sehingga dapat mengajukan permohonan. Sementara dari penafsiran hukum, kata ini bukan diartikan dalam bingkai subyektivitas, tetapi include di dalamnya keharusan untuk membuktikannya sehingga kata-kata yang lebih tepat adalah "mendalilkan".

Pilihan menggunakan kata-kata "menganggap" pada proses legal drafting UU (menurut saya) tidak lebih dari sekadar ketergesa-gesaan legislator yang dibatasi untuk menyelesaikan UU Mahkamah Konstitusi sebelum 17 Agustus 2003 sehingga ada kesan terburu-buru dan tidak berhati-hati dalam merumuskan kata "menganggap" ini.

Ketiga, unsur kata "dirugikan". Ini unsur penting karena merasa dirugikan, subyek hukum merasa berkepentingan. Zonder belang, het is geen rechtsingang. Kepentingan ini lahir karena adanya kerugian tadi sehingga ia harus merupakan kerugian yang telah aktual dan bukan sekadar potensial. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengajukan permohonan perkara jika hanya bersandarkan pada adanya peluang untuk dirugikan.

Namun, dari hal ini muncul peluang perbedaan pendapat tentang batasan peluang dirugikan. Ada perbedaan dalam memahami manakah yang merupakan kerugian potensial dan manakah yang merupakan kerugian aktual. Misalnya, terhadap pemberlakuan Pasal 60 huruf g UU No 12/2003 mengenai Pemilu, ada yang berpendapat hanya bekas anggota PKI atau partai terlarang yang telah lebih dulu mengajukan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg), barulah ia dianggap memiliki legal standing.

Menurut saya, tidak perlu bekas anggota PKI atau partai terlarang itu mengajukan diri sebagai caleg baru dapat dikatakan dirugikan, berkepentingan, lalu memiliki legal standing. Namun, dengan berlakunya UU tersebut, sudah tertutup jalan baginya untuk menjadi caleg dan itu sudah merupakan wujud kerugian yang nyata dan bukan sekadar peluang kerugian.

Keempat, harus ada causal verband, hubungan sebab akibat yang jelas untuk memperlihatkan hubungan antara keberlakuan UU dan kerugian yang pemohon derita.

Bukan menghindari tumpukan perkara

Ada "guyonan", kewajiban memenuhi legal standing hanya sekadar bentuk apologia dari para hakim konstitusi dengan tujuan untuk menghindari tumpukan perkara. Saya pikir hal ini tidak tepat dan cenderung menyesatkan. Meski jika ditambahkan dengan ketentuan bahwa berperkara di MK secara "gratis", bukan tidak mungkin dapat menjadi pemicu bagi termassalkannya permohonan perkara ke MK. Akan tetapi, bukan hal itu yang paling penting. Sudah jelas, ada asas yang menentukan hakim tidak boleh menolak suatu perkara. Karena itu, ada semacam kewajiban bagi hakim untuk membantu dengan memberi saran kepada pemohon untuk dapat memenuhi legal standing-nya dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan menjadi bukti "otentik" ketidaktepatan guyonan tersebut.

Adalah benar, hakim harus tetap dalam posisi netral ketika melakukan pemeriksaan perkara, tetapi pemberian saran-saran untuk melengkapi beberapa hal urgen yang dibutuhkan seorang pemohon sama sekali tidak akan mengurangi netralitas hakim dalam menilai perkara itu. Pemberian saran-saran perbaikan harus dilihat dalam kerangka bagaimana hakim "membantu" urusan prosedural bagi pemohon yang mendalilkan kerugian hak konstitusionalnya. Suatu hal yang seharusnya dipandang sebagai penegakan konstitusi itu sendiri.

Terakhir, haruslah dilihat, MK juga merupakan ijtihad bangsa dan merupakan salah satu dari upaya penegakan konstitusi. Karena itu, menutup amela kelemahan harus diperankan MK dalam memperkaya dan "meluruskan" pasal-pasal yang masih dianggap lemah dalam UU No 24/2003, termasuk terhadap aturan legal standing ini. Pelaksanaan tugas ini dapat dilakukan oleh hakim melalui yurisprudensi-yurisprudensi karena MK adalah lembaga penafsir konstitusi. MK adalah the guardian of constitution. Harapan saya, MK harus mampu menciptakan hukum. Judges makes law! Selaku salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MK merupakan the last bastion of justice, het laatste bolwerk, yang menjadi tumpuan terakhir dari rakyat banyak selaku justiciabelen. Dengan hal ini, semoga peran MK dapat menjadi lebih baik dan bernilai di kemudian hari.

HM Laica Marzuki Guru Besar Hukum Tata Negara; Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/08/opini/1369103.htm