Sabtu, Juli 19, 2008
Surat Kuasa: Antara Kelemahan Hukum Acara, Strategi Pengacara dan Keberanian Hakim
Meski bukan tergolong pokok perkara, keabsahan surat kuasa biasanya ditentukan dalam putusan akhir. Sinkronkah dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah?
Gembira sekaligus gregetan. Itulah yang terjadi pada Panji Prasetyo ketika mewakili PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) bersengketa melawan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia gembira karena Telkomsel sanggup meraup kemenangan. Ketika itu majelis hakim menyatakan gugatan YKCI tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard alias NO) lantaran surat kuasa yang dikantongi pengacara YKCI cacat hukum.
Yang membikin Panji geregetan, ia mesti sibuk beradu bukti dan memboyong beberapa saksi serta ahli sebelum hakim mengetukkan palu terakhirnya. Sebetulnya, kemenangan itu bisa saja diraih dengan sederhana, jika saja hakim berkenan melakukannya di putusan sela. Nyatanya, dalam putusan akhir, majelis hakim hanya mempertimbangkan keabsahan surat kuasa YKCI. "Kenapa harus menunggu sampai putusan akhir?" gerutu advokat dari Kantor Hukum Adnan Buyung Nasution & Partners itu, usai sidang. Seharusnya, kata dia, majelis sudah dapat memutuskan hasil sengketa ini dalam putusan sela di awal-awal persidangan.
Di Pengadilan Negeri (PN) Padang, 24 April lalu, hal semacam ini juga terjadi mesti dengan keunikan tersendiri. Kasus ini sebenarnya terbilang ruwet. Mulanya, pengacara bernama Manatap Ambarita ditahan oleh Kejaksaaan Negeri. Ia dinilai telah menyembunyikan kliennya, Afner Ambarata, yang tersandung kasus korupsi.
Penahanan ini diprotes keras oleh pihak Manatap. Ia pun mengajukan permohonan praperadilan. Tapi majelis hakim mengkandaskan upaya itu. Permohonan dinyatakan tidak dapat diterima. Majelis beralasan, surat kuasa yang diberikan Manatap kepada para kuasa hukumnya tidak sah lantaran yang membubuhkan tanda tangan hanya Manatap. Paraf para penerima kuasa juga tidak ada dalam surat itu.
"Dalam surat kuasa khusus, hal yang paling esensial adalah tanda tangan. Namun dalam surat kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, hanya ada tanda tangan pemberi kuasa. Dengan ini, hakim berketetapan permohonan pra peradilan yang diajukan penerima kuasa tidak dapat diterima. Sehingga, hal-hal yang terungkap selama persidangan dikesampingkan," demikian Zulkifli, ketua majelis hakim yang menangani perkara tersebut.
Metra Akmal, salah satu pengacara Manatap, kecewa berat terhadap putusan itu. "Kalau dianggap tidak sah, kenapa sidang praperadilan ini berlanjut sampai putusan. Kenapa pula, kita dibiarkan bertindak sebagai penasehat hukum pemohon?" tanyanya.
Meski sekedar persyaratan formil, surat kuasa memang tak boleh disepelekan. Tidak sedikit gugatan yang akhirnya kandas hanya karena tersandung masalah surat kuasa. Jika hakim menilai surat kuasa tidak sah, biasanya argumen hukum beserta bukti-bukti selama persidangan dikesampingkan begitu saja.
Idealnya Putusan Sela
Tidak sahnya surat kuasa berakibat sebuah perkara diputus NO alias tidak dapat diterima. "Putusan NO artinya ada syarat formal yang tidak terpenuhi," kata Sudikno Mertokusumo, dosen hukum acara perdata pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Dari persepektif hukum acara, putusan NO sekaligus menunjukkan bahwa belum ada pembuktian atau belum masuk ke pokok perkara.
Jika demikian konsepnya, menjadi janggal. Pasalnya, mengapa persidangan yang berbulan-bulan itu akhirnya hanya menyentuh masalah surat kuasa saja padahal jelas-jelas kedua belah pihak sudah menapaki babak pembuktian? Tidakkah lebih baik persoalan surat kuasa diputus saja di putusan sela sebelum persidangan memasuki pokok perkara?
Surat kuasa, di mata hakim, ternyata bukan sekedar persyaratan formil. Ia juga bagian tak terpisahkan dari pokok perkara. Hakim tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Mereka menunggu keberatan yang disampaikan salah satu pihak.
Sewaktu sidang perdana, majelis hakim selalu memeriksa kelengkapan persyaratan formil para kuasa hukum. Namun hakim tidak sampai menggelar pembuktian untuk mengetahui sah tidaknya surat kuasa itu. "Kalau ada pihak yang merasa keberatan mengenai surat kuasa, hakim mempersilahkan memasukkannya di eksepsi," kata Efran Basuning, hakim PN Jakarta Selatan.
Usai penyampaian eksepsi, biasanya hakim memberi putusan sela. Putusan itu pada intinya menyatakan gugatan bisa dilanjutkan ke pokok perkara, atau sebaliknya gugatan tidak bisa dilanjutkan ke pokok perkara. Jika kemungkinan kedua yang terjadi, putusan sela sekaligus dapat menjadi putusan akhir.
Kebanyakan hakim menilai putusan sela hanya bersangkutan dengan kewenangan pengadilan. Penilaian mereka tidak keliru, setidaknya jika merujuk kepada Het Herziende Indische Reglement (HIR). "Berdasarkan HIR, memang hanya eksepsi yang berkaitan dengan kompetensi absolut saja yang harus diputus terlebih dulu. Selebihnya harus diputus bersamaan dengan pokok perkara," ungkap Irianto Subiakto, seorang pengacara di Jakarta. Dengan demikian, masalah keabsahan surat kuasa tidak bisa diputus di putusan sela.
Namun Sudikno berpendirian, masalah surat kuasa bisa diputus di putusan sela maupun di putusan akhir. Bisa diputus dalam putusan sela lantaran surat kuasa memang bukan bagian dari pokok perkara. "Karena itu, kalau surat kuasa dianggap cacat, putusannya bukan gugatan ditolak, tapi tidak dapat diterima," ujarnya menjabarkan.
Tidak Sesuai Zaman
Berdasarkan Undang-undang No 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), asas peradilan di negeri ini adalah cepat, sederhana dan berbiaya murah. Kalau masalah keabsahan surat kuasa yang sejatinya tergolong persyaratan formil diputus pada putusan akhir, asas peradilan itu seolah tiada arti.
Dari sinilah bolong hukum acara itu mulai terlihat menganga. "Harusnya semua yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat formal diselesaikan di awal," cetus Irianto. Tujuannya, tentu agar pemeriksaan dan pembuktian pokok perkara tidak sia-sia hanya karena masalah formalitas gugatan saja.
Berdasarkan penelusuran Irianto, bolongnya hukum acara itu disebabkan adanya kesenjangan waktu antara perumusan HIR dengan UU Kekuasaan Kehakiman. HIR, yang eksis sejak jaman Belanda, tak mengenal asas peradilan yang cepat, sederhana dan berbiaya murah. "HIR hanya mengenal perdamaian," ungkapnya.
Keberanian Hakim
Hukum acara yang bolong tentu saja ditambal. Bukan hanya pembentuk UU yang bisa melakukannya, hakim pun sebenarnya diberi kecakapan untuk itu. "Dibutuhkan keberanian hakim untuk melakukan interpretasi hukum," cetus Irianto. Ia yakin, putusan hakim yang mengandung penemuan hukum ini berpotensi menjadi yurisprudensi.
Tentu tidak gampang mendobrak HIR. Namun, "Hakim yang baik, meskipun bukan mengenai kompetensi absolut, kalau memang esensial, diputus di putusan sela," ujar Efran. Menurutnya, di pengadilan, surat kuasa itu ibarat Surat Ijin Mengemudi (SIM). Keduanya sama-sama esensial.
Tapi, Efran mengakui betapa sulitnya melakukan hal itu. Ia pernah menyidangkan perkara yang berujung pada perdebatan soal keabsahan surat kuasa. Perkara itu melibatkan perusahaan asuransi PT Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo). Terkuak di persidangan, pengacara Jasindo datang ke pengadilan tidak bermodal surat kuasa khusus. Bekal yang ia bawa adalah surat kuasa umum untuk pendataan asset.
Efran dan dua hakim lainnya menyatakan bahwa gugatan Jasindo tidak dapat diterima. Tapi hal itu baru terungkap di ujung persidangan alias di putusan akhir. "Karena pihak lawan Jasindo tidak mempermasalahkannya di eksepsi, sehingga pemeriksaannya bersamaan dengan pokok perkara," ungkap Efran.
Dalam perkara perdata, pada dasarnya hakim memang pasif. Ia tidak mungkin membuat keputusan tentang sesuatu yang tidak ada dalam petitum gugatan. Dalam hal surat kuasa, kalau tidak ada pihak yang mempermasalahkannya, hakim tidak bisa berbuat apa-apa.
Strategi Berperkara
Di sisi lain, seorang kuasa hukum terkadang sengaja menjadikan surat kuasa sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan perkara. Hal ini lazimnya dilakukan oleh pengacara tergugat dengan mempermasalahkan surat kuasa yang dimiliki pengacara penggugat. Tujuannya tentu agar gugatan tidak diterima majelis hakim.
Yang rada janggal, ada juga fakta bahwa pengacara penggugat sengaja mencacatkan surat kuasanya sendiri. "Dia sengaja tidak menyempurnakan surat kuasa. Dia berharap supaya dapat melihat bukti yang dikeluarkan lawan dulu," ungkap Irianto. "Jadi, jika gugatannya di-NO, dia akan mengajukan gugatan baru karena sudah tahu bukti-bukti lawan."
Entah strategi itu bisa diendus lawan atau tidak, yang jelas hakim tidak ambil pusing dengan strategi itu. "Kadang-kadang memang ada lawyer yang memang teledor," kata Efran. Tak jarang ia menjumpai pengacara yang kurang serius mengurus surat kuasa dari kliennya. Ujung-ujungnya, gugatan itu menguap begitu saja di persidangan.
Gugatan Baru
Lumrahnya, jika sebuah gugatan diputus NO, ada dua opsi yang bisa ditempuh oleh pihak yang kalah, mengajukan banding atau mendaftarkan gugatan baru. "Seperti halnya kalau kurang pihak, kalau surat kuasa cacat, bisa saja diajukan banding," Efran menerangkan. Tapi ia yakin sepenuhnya, pengadilan tinggi hanya akan memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama. "Kalau ada pengacara yang banding, itu namanya overconfidence".
Irianto menguatkan pendapat Efran. Baginya, gugatan diajukan untuk menyelesaikan pokok perkara. Percuma jika hanya muter-muter di wilayah formil. "Lebih baik mengajukan gugatan baru. Jangan banding," ujarnya. Toh di tingkat banding nanti yang diperiksa juga masalah surat kuasa. Bukan pokok perkaranya.
Sudikno juga berpikiran sama. Menurutnya, hanya pengacara yang pengetahuannya kurang yang akan mengajukan banding. "Kalau syarat formalnya tidak terpenuhi, mestinya mengajukan gugatan baru dengan memperbaiki syarat formal itu," tandasnya. "Kalau mengajukan banding, itu lucu".***
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19277&cl=Berita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Salam, artikel ini sangat menarik.
Posting Komentar