Senin, Juli 21, 2008

Delik Pers dari Orde Lama Sampai Orde Reformasi

Oleh M Arif BSP Lubis
Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Departemen Iilmu Komunikasi FISIP USU dan staf redaksi Majalah Kajian Media Dictum. Artikel ini dimuat di Harian Global, Rabu, 13 Februari 2008)

Pers merupakan salah satu garda demokrasi. Tingkat demokratisasi suatu bangsa dapat diukur dari kebebasan pers yang dianut sistem sosial kemasyarakatannya. Yang ditentukan antara lain oleh deregulasi pemerintah dalam bentuk produk hukum yang mengatur sistem pers itu sendiri. Setiap negara syah dan jamak melakukan tafsiran dan definisi mengenai kebebasan pers yang ingin dianutnya. Sebab insan pers tetaplah bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Artinya tetap harus tunduk terhadap apa yang menjadi konsensus umum dan menghormati nilai-nilai kultur yang ada ditengah-tengah masyarakatnya. Kalau kemudian ada perubahan nilai maka pers harus mengikuti jika tidak ingin mati atau dimatikan. Sebab dunia pers itu selalu dan harus dinamis. Sedinamis masyarakat penggunanya. Meski begitu, tidak salah jika pers yang menjadi katalisator perubahan masyarakat asalkan insan pers yang berniat menjadi katalisator tersebut punya cukup energi untuk melakukannya.

Penulis pada kesempatan ini akan mengangkat dan membahas mengenai beberapa permasalahan dari segi hukum dan regulasi penguasa politik yang pernah mendera pers Indonesia mulai dari era orde lama, sampai orde sekarang ini yang oleh sebagian kalangan disebut-sebut sebagai orde reformasi.

Pembreidelan BPS Tahun 1965
Merasa tidak nyaman dengan keberadaan dan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di kancah perpolitikan nasional, sejumlah penerbitan pers bergabung dengan gerakan yang dinamai Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Selain penerbitan pers gerakan BPS juga didukung beberapa gelintir elit politik yang setia kepada Pancasila dan konsep NKRI. Salah satu elit politik yang menjadi pelopor sekaligus masuk jajaran pimpinan barisan pendukung Soekarno adalah, H. Adam Malik.

Namun bisa dikatakan bahwa tahun 1965 merupakan puncak kejayaan sekaligus awal kehancuran PKI. Dengan mempergunakan pengaruhnya yang sangat kuat kepada presiden waktu itu. Ir. Soekarno PKI berhasil menggunakan tangan pemerintah untuk membubarkan dan melarang segala kegiatan Barisan Pendukung Soekarno. Setelah menebar fitnah bahwa gerakan ini berusaha mendalangi pembunuhan sang proklamator kemerdekaan RI yang akhirnya terjadi pemberedelan gerakan Barisan Pendukung Soekarno berikut 29 surat kabar nasional, salahsatunya adalah Harian Wapada Medan yang ternyata hanya merupakan salah satu trik politik PKI untuk memuluskan usahanya merampas kekuasaan negara.

Imbas dari peristiwa Malari

Peristiwa Malari bermula dari aksi demonstrasi mahasiswa yang kemudian meluas menjadi kerusuhan massal pada tanggal 15 Januari 1974. Kerusuhan ini merupakan bentuk penentangan atas kunjungan kenegaraan PM Jepang, Tannaka waktu itu lantaran mahasiswa merasa tidak puas atas kondisi perekonomian nasional yang terkesan dimonopoli dan didikte oleh pihak Jepang. Beberapa media cetak yang dianggap vokal yakni Harian Nusantara, Mahasiswa Indonesia, Abadi, KAMI, Indonesia Raya. Mingguan Pemuda Indonesia, Jakarta Times, Abadi, Wenang dan majalah Ekspres dibredel. Bisa dikatakan inilah masa tersuram pers Indonesia di zaman orde baru.

Pada kasus pembredelan media massa sebagai ekses dari peristiwa malaria, tidak banyak yang bisa dilakukan, baik oleh insan pers maupun insan hukum yang cinta akan kebebasan dan kebenaran. Pada masa itu cengkeraman orde baru begitu kuat menghujam segala sendi kehidupan bangsa. Surat izin cetak media yang dianggap menghasut rakyat dicabut. Dengan dalil melanggar ketetapan MPR No. IV/ MPR/1973 tentang ketentuan pokok pers. Jargon-jargon demi stabilitas nasional menjadi acuan bagi pemberantasan sikap kritis terhadap penguasa. Sikap arogansi inilah yang akhirnya menghantarkan rezim orde baru ke gerbang kehancurannya pada tahun 1998. Sekaligus pembuktian kebenaran suara-suara kritis yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan makar.

Penyadapan telepon

Oleh Metta dan Tempo, pihak kepolisian diadukan kepada dewan pers karena ditengarai telah melakukan penyadapan telepon antara wartawan Tempo dengan terpidana 11 tahun penjara dalam kasus pembobolan PT. Asian Agri, Vincentius Amin Susanto. Penyadapan itu dinilai bertentangan dengan semangat kebebasan pers meski pihak kepolisian membantah keras telah melakukan penyadapan.

Pada kasus penyadapan telepon wartawan majalah Tempo, bisa dikaji dari berbagai sisi. Salah satu sisi adalah lemahnya perlindungan terhadap konsumen. Dimana privacy Metta sebagai pengguna layanan komunikasi begitu mudah diinjak-injak oleh operator atas nama perintah yang berwenang. Padahal di negara lain, informasi yang terkait dengan pelanggan kalaupun diperlukan untuk penegakan hukum harus berdasarkan keputusan pengadilan. Lagi pula posisi Metta pada waktu itu adalah wartawan. Dalam kode etik wartawan yang berlaku hampir di seluruh dunia, wartawan mempunyai hak tolak. Yang mengandung pengertian bahwa wartawan berhak bahkan seharusnya melindungi informasi identitas nara sumber apabila dianggap perlu. Bahkan sekalipun jika hal itu diperintahkan oleh pengadilan. Hanya kejahatan yang menyangkut keamanan negara dan bangsa yang bisa dianggap sebagai alasan menggugurkan hak tolak ini. Itupun semuanya tergantung si jurnalis sendiri. Kalaupun ada sangsi hukum, maka sepenuhnya ditanggung oleh si wartawan.

Setiap saat pers selalu saja memiliki kemungkinan berbenturan dengan penguasa maupun hukum. Namun hendaknya hal itu tidak menyurutkan langkah insan pers terutama insan pers Indonesia untuk memperjuangkan keadilan. Karena setiap tindakan pastilah memiliki konsekuensi, baik itu yang akan berdampak positif maupun negatif terhadap si pelaku. Keprofesionalan dan kehati-hatian insan pers harus terus menerus ditingkatkan guna menghindari jerat hukum tanpa harus membuang fungsi sebagai sosial kontrol di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, kalaupun harus tetap berhadapan dengan hukum posisi insan pers adalah sebagai korban kedzaliman bukan pelaku pendzaliman.

Yang tidak kalah penting dibangun dimasyarakat adalah kesadaran dan kecerdasan bermedia. Sehingga masyarakat tahu hak-haknya ketika berinteraksi dengan media massa. Tanpa harus sikap ketakutan ataupun memusuhi. Pihak penguasa politik juga seharusnya menempatkan media massa sebagai mitra. Bukannya oposisi yang harus dibasmi. Dari media, penguasa dapat mengetahui aspirasi masyarakat tanpa harus membuang banyak dana untuk terjun langsung ke lapangan. Media massa juga dapat dijadikan sarana pengukuran yang efektif terhadap suatu kebijakan yang telah dilaksanakan. Dan sebagai sarana menghimpun masukan, kritikan juga pelaporan penyimpangan oleh para pelaksana kebijakan di tingkat bawah. Sinergi yang positif antara pers dan penguasa akan menguntungkan masyarakat. Tidak perlu ada sikap saling memusuhi karena kebenaran tidak dapat dibungkam walaupun harus menghadapi beribu macam ancaman. Paling tidak, kebenaran akan mengakar dan bernyanyi di tiap sanubari seberapapun pengecut dan bejatnya ia. Dan kebenaran hanya menunggu waktu untuk membuktikan kekuatannya. Orde baru dan orde lama telah merasakannya. Semoga tidak terulang lagi di masa depan.

http://dictum4magz.wordpress.com/2008/02/12/delik-pers-dari-orde-lama-sampai-orde-reformasi/

Tidak ada komentar: